Kisah Karomah Kiai Abbas dan Bakiak yang Hancurkan Tentara Sekutu di Perang 10 November

Selasa, 15 Maret 2022 - 05:35 WIB
loading...
Kisah Karomah Kiai Abbas...
Kisah Kiai Abbas dan Bakiak Sakti yang Menghancurkan Pasukan Belanda di Perang 10 November 1945. Foto: Istimewa
A A A
KIAI Abbas bin Abdul Jamil adalah salah satu ulama besar dari Pesantren Buntet, Cirebon , Jawa Barat. Selain itu, dia juga merupakan pejuang dan panglima perang dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Diketahui para pejuang kemerdekaan kala itu hanya menggunakan bambu runcing dalam menghadapi penjajah yang dilengkapi senjata senapan dan meriam, namun tidak dengan Kiai Abbas, dengan karomah dan kesaktian yang dimilikinya dia hanya menggunakan bakiak, surban dan tasbih untuk memukul mundur dan menghancurkan tentara sekutu.

Bakiak, atau sandal yang terbuat dari kayu itu, mungkin terkesan kuno dan ketinggalan jaman. Bakiak lebih banyak dipakai untuk alas kaki di kamar mandi, atau digunakan untuk bersantai di sekitar rumah. Namun Kiai Abbas Abdul Jamil, malah menggunakan bakiak dalam peristiwa-peristiwa penting, seperti saat memimpin pertempuran 10 November 1945.



Bung Tomo yang beberapa kali meminta kepada Kiai Hasyim Asy’ari untuk memulai peperangan, selalu ditolak oleh Kiai Hasyim, dengan alasan, menunggu Singa dari Jawa Barat. Ternyata Sang Singa yang dimaksud tidak lain adalah Kiai Abbas.

Salah seorang pengawal Kiai Abbas, Abdul Wachid menceritakan pengalamannya mengawal Kiai Abbas ke Surabaya. Bersama Detasemen Hizbullah Resimen XII Divisi I Syarif Hidayat, Kiai Abbas berangkat pada 6 November 1945. Pasukan Kiai Abbas meninggalkan Markas Detasemen menuju stasiun Prujakan Cirebon naik Kereta Api Express. Turut serta bersama rombongan Kiai H Achmad Tamin dari Losari yang berperan sebagai pendamping Kiai Abbas.

Pada waktu itu, Kiai Abbas tampak mengenakan jas buka abu-abu, kain sarung plekat bersorban, dan beralas kaki trumpah atau sandal japit dari kulit. Bawaan Kiai Abbas saat itu hanya sebuah kantong plastik berisinya sandal bakyak. Setibanya di Stasiun Rembang, Jawa Tengah, sudah banyak yang menunggunya. Rombongan Kiai Abbas lalu diantar ke Pondok Pesantren Kiai Bisri, di Rembang.

Usai salat subuh, Pondok Pesantren Rembang sudah ramai oleh santri yang siap mati berjuang melawan penjajah. Rombongan lalu berangkat ke Surabaya. Sebelum ke Surabaya, Kiai Abbas memanggil Abdul Wachid dan meminta sandal bakiak yang dititipkan kepadanya saat di Cirebon. Kiai Abbas lalu berangkat dengan menumpang mobil sedang kuno.

Di dalam mobil yang ditumpangi Kiai Abbas juga terdapat Kiai Bisri yang duduk di jok belakang, dan H Achmad Tamin di depan bersama sopir. Sementara para pengawal Kiai Abbas dari Cirebon diminta tinggal berjaga di Pesantren Rembang. Setibanya di Surabaya, rombongan Kiai Abbas disambut dengan gemuruh takbir dan pekik merdeka. Para kiai lalu masuk ke masjid dan melakukan salat sunnah. Kemudian, Kiai Abbas meminta Kiai H Achmad Tamin berdoa di tepi kolam.

Sedangkan kepada Kiai Bisri dari Rembang, Kiai Abbas memohon agar dia memerintahkan para laskar dan pemuda yang akan berjuang melawan penjajah untuk mengambil air wudu dan meminum air yang telah diberi doa. Setelah meminum air yang telah diberi doa, para pemuda yang tergabung dalam Badan Perjuangan Arek-Arek Suroboyo tanpa mengenal takut langsung menyerang tentara Belanda dengan hanya bersenjatakan bambu runcing, dan parang.



Melihat keberanian pemuda Indonesia, para tentara sekutu (Inggris dan NICA) menghamburkan pelurunya ke segala arah. Korban dari kalangan pemuda sangat banyak sekali. Namun banyak juga serdadu Belanda yang tewas di ujung bambu runcing.

Dalam pertempuran itu, Kiai Abbas dan para kiai lainnya berada di tempat yang agak tinggi, hingga bisa memantau jalannya pertempuran. Dengan menggunakan sandal bakiak, Kiai Abbas berdiri tegak di halaman masjid sambil berdoa. Dia mengadahkan kedua tangannya ke langit, dan keajaiban terjadi.

Beribu-ribu talu (penumbuk padi) dan lesung (tempat padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah rakyat berhamburan terbang menerjang serdadu–serdadu Belanda. Suaranya tampak bergemuruh bagaikan air bah, sehingga Belanda kewalahan dan mundur ke kapal induk mereka.

Tidak lama kemudian, pihak sekutu mengirim pesawat bomber Hercules. Akan tetapi pesawat itu tiba-tiba meledak di udara. Beberapa pesawat sekutu berturut-turut datang lagi dengan maksud menjatuhkan bom-bom untuk menghancurkan Kota Surabaya. Tetapi sekali lagi, pesawat-pesawat itu mengalami nasib yang sama, meledak di udara sebelum beraksi. Dalam catatan koran masa perjuangan, apa yang dilakukan Kiai Abbas digambarkan di luar logika. Tetapi bener adanya. Melalui karomahnya, dia meruntuhkan pesawat tentara sekutu hanya dengan mengarahkan tongkatnya ke pesawat.

Dalam berita Kedaulatan Rakjat yang bersumber dari pihak Inggris, disebutkan bahwa sejak terjadinya pertempuran di Surabaya, sampai dengan 17 Desember 1945, tentara Inggris menderita kerugian 7 pesawat Thunderbolt. Dalam kisah yang lain, dalam pertempuran itu Kiai Abbas menaburkan kerikil dan pasir ke arah tentara Inggris, namun seolah-olah menjadi senjata dan bom dimata lawan, hingga membuat pasukan sekutu lari terbirit-birit. Pada tanggal 13 November 1945, Kiai Abbas dan sejumlah rombongan kiai lainnya tiba dengan selamat di Pondok Pesantren Rembang.



Saat akan menuju Surabaya, Kiai Abbas meminta bungkusan bakiak kepada pengawalnya sekaligus memintanya untuk tidak ikut bergabung ke Surabaya dan tetap menunggu di Rembang. Walaupun semangat juang Abdul Wachid cukup menggelora, tetapi dia tidak berani melawan perintah Sang kiai. Ia tetap tinggal di Rembang, hingga pada 13 November 1945, rombongan santri yang ikut berperang di Surabaya tiba di Rembang.

Menurut para santri, Kiai Abbas berperang dengan menggunakan bakiak. Saat Kiai Abbas berdoa, tiba-tiba sejumlah alu dan lesung milik warga yang berukuran besar, berterbangan dan menghantam tentara sekutu. Pesawat yang terbang pun dilumpuhkan hanya dengan lemparan tasbih.

Menurut KH Amiruddin, saat perang 10 November, Kiai Abbas dengan karomahnya, bukan hanya berada di satu tempat, tapi di dua tempat. Di pusat kota dan di pesisir pantai Surabaya. Di pesisir pantai itulah, Kiai Abbas menghancurkan puluhan pesawat milik sekutu dengan hanya mengibaskan sorbannya ke arah langit.

Kesaktian bakiak milik Kiai Abbas tidak hanya terjadi di pertempuran 10 November 1945, tapi juga saat Kiai Abbas bertanding silat. Menurut KH Amiruddin Abkari, Buntet itu memiliki aliran sendiri dengan nama Pencak Silat Buntet. Ia menuturkan tentang sosok Mang Kisom, pendekar silat asal Buntet yang juga pernah menjadi gurunya. Dari Mang Kisom inilah diperoleh kisah kehebatan pencak silat Buntet dan bakiak Kiai Abbas.



Menurut Mang Kisom, Kiai Abbas selalu menjajal kemampuan murid-muridnya terkait kemampuan silat. Kiai Abbas sering meminta murid-muridnya untuk mengeroyoknya, untuk menjajal kemampuan silat yang sudah dikuasai. Sebelum memulai, Kiai Abbas selalu mengganti sandalnya dengan bakiak terlebih dahulu.

“Jadi sebelum bertarung, Kiai Abbas meminta diambilkan bakiak miliknya,” ujar Mang Kisom, seperti yang diceritakan oleh KH. Amiruddin Abkari.

Walaupun dikeroyok oleh lima orang, mereka tersungkur tanpa ada yang bisa menempelkan tangan atau kakinya ke badan Kiai Abbas. Menurut Mang Kisom, kaki Kiai Abbas seperti tidak menempel di tanah. Gerakannya sangat cepat dan pukulannya juga mematikan. “Kalau bertarung dengan Kiai Abbas, tidak ada yang pernah berhasil menyentuh badannya,” kata Mang Kisom.

Cerita lain, Kiai Abbas pernah menerima tamu seorang preman antek Belanda yang mengancamnya dengan sebuah belati. Saat ditodong, posisi tangan kanan Kiai Abbas sedang memegang Al-Qur’an dan tangan kirinya dijepit oleh preman tersebut. Sementara ujung belati yang tajam menempel tepat di leher Kiai Abbas.

Melihat kiainya sedang dalam kondisi bahaya, para santri dan masyarakat Buntet langsung mengelilingi Kiai Abbas. Namun beliau meminta semuanya untuk menyingkir. Kiai Abbas tidak memperlihatkan keraguan sedikit pun saat menjadi tawanan preman itu. Dengan gerakan sangat cepat, hanya dengan sebuah gerakan, dengan Al-Qur’an masih dipegang oleh tangan kanannya, Kiai Abbas bisa menjatuhkan preman tersebut. Saat santri dan masyarakat hendak menghakimi preman itu, Kiai Abbas melarangnya. “Jangan dipukuli, dia orang gila,” ujar Kiai Abbas saat itu.

Merasa nyawanya diselamatkan nyawanya dan takjub dengan sikap Kiai Abbas yang tidak memiliki rasa dendam, preman tersebut akhirnya menjadi salah satu murid dan pengawalnya yang setia.

Kiai Abbas lahir pada Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 1879 M di Desa Pekalangan, Cirebon dan putra sulung KH. Abdul Jamil yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Buntet Cirebon. Sedari usia kecil, Kiai Abbas adalah seorang santri yang mengelana dari satu pesanteen ke pesantren lainnya.

Tercatat pernah menjadi santri di pondok pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon. Kemudian ke pondok pesantren Salaf Jatisari pimpinan kiai Hasan. Setelah itu nyantri di pesantren Kiai Ubaidah Tegal, Jawa Tengah.

Kemudian lanjut ke Tebuireng berguru kepada Hadratussyekh Kiai Hasyim ‘Asy’ari. Setelah itu melanjutkan ngajinya ke Mekkah Mukaramah dan berguru kepada beberapa ulama diantaranya KH. Machfudz Termas asal Pacitan, Jatim. Kiai Abbas wafat pada tahun 1365 H/1946 M, di usia 64 tahun, dan dikebumikan di pemakaman pesantren Buntet. (Sumber: wikipedia-berbagai sumber)
(nic)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1393 seconds (0.1#10.140)