Paranoid Paramedis dalam Pandemi COVID-19

Senin, 15 Juni 2020 - 14:56 WIB
loading...
Paranoid Paramedis dalam Pandemi COVID-19
Situasi pandemi COVID-19 melumpuhkan nyaris semua sendi kehidupan, dampaknya pada kelompok atau komunitas, masing-masing pribadi, masyarakat, bahkan negara. Ilustrasi Ist
A A A
DENPASAR - Situasi pandemi COVID-19 melumpuhkan nyaris semua sendi kehidupan, dampaknya pada kelompok atau komunitas, masing-masing pribadi, masyarakat, bahkan negara. Merasa tak berdaya. Dari sisi kesehatan, ekonomi, bahkan sistem kehidupan.Munculnya new normal , membuat semua tatanan kehidupan menjadi berubah. Semua menjadi tergagap-gagap tapi mau tidak mau harus siap menghadapi perubahan disrupsi yang harus menjadi tatanan new normal.

Ada ketakutan-ketakukan seperti ketakutan pada gentayangan munculnya hantu malam hari, tanpa wujud, tapi dipercayai nyata. Untuk membuktikan bahwa hantu itu nyata, para pakar kesehatan, atau para ahli, mencaba melahirkan bukti , analisa, premis hingga kesimpulan yang juga beragam. (Baca: Sabu Seberat 1 Kg Berhasil Diamankan Ditpolairud Polda Kepri)

Menimbulkan pro dan kantra. Misalnya mati karena sakit biasa, atau mati karena penyakit pandemi. Bukan saja bagi orang awam, tapi kalangan medis juga mengalami ketakutan-ketakutan yang demikian paranoidnya.

Butcher, James N., Susan Mineka, Jill M. Hooley. (2008). Abnormal Psychology.Boston: Pearson, menyebutkan bahwa seseorang dengan gangguan kepribadian paranoid dipenuhi keraguan yang tidak beralasan terhadap kesetiaan orang lain atau bahwa orang lain tersebut dapat dipercaya atau tidak.

Mereka dapat melihat makna negatif atau ancaman pada berbagai kejadian. Diagnosis ini berbeda dari skizofrenia paranoid karena simptom-simptom lain skizofrenia, seperti halusinasi, tidak terjadi dan keberfungsian sosial dan pekerjaan tidak terlalu terpengaruh.

Juga tidak terjadi disorganisasi kognitif yang merupakan karakteristik skizofrenia. Diagnosis ini juga berbeda dari gangguan waham karena tidak terjadi delusi penuh. Orang yang memiliki gangguan kepribadian paranoid bukanlah seorang Psikotik karena mereka memiliki kontak yang jelas dengan realita.

Kejadian di Makassar yang sempat viral matinya seorang ibu yang menjadi rebutan pihak medis dengan keluarga almarhum. Pihak medis menguburkan dengan protokol COVID-19.

Sedangkan keluarganya berkeyakinan ibunya meninggal bukan penyakit COVID untuk berkeras membawa pulang dengan mengurusnya untuk pemakaman secara tata cara Islami. Tapi keluarga pasien menyerah tidak berdaya hingga menimbulkan kemarahan dan caci maki yang tak terkendali.

Atau kejadian pasien yang meninggal di RS Wiyung Surabaya, yang mentelantarkan mayat di kuburan tanpa tata cara penguburan yang manusiawi. Menimbulkan berita viral di media, bagaimana pasien ini dikuburkan dengan cara tidak wajar, misalnya tanpa dibungkus dengan kain kafan, hanya dimasukkan dalam kantong plastik saja. Padahal pasien ini diyakini tidak terkena atau terpapar COVID-19.

Secara tidak langsung semuanya mengidap penyakit gangguan jiwa paranoid pada situasi pandemi. Antara kita, antara sesama, muncul curiga dan penuh ketakutan yang berlebihan.

Pribadi paranoid ini menganggap orang lain atau semua orang di sekitarnya adalah menjadi sumber penyakit, menyikiti, membawa wabah, membawa virus, membahayakan.

Kita masuk di poli kesehatan mau konsultasi, begitu masuk dan suara kita serak, batuk, pilek, muncul tatapan dan pertanyaan dari petugas medis, apakah sudah lama batuk, adakah ada demam, apakah suhu pamas, pertanyaan apakah-apakah yang berorentasi pada kecurigaan kena virus pandemi COVID-19.

Apalagi data dari Ikatan Dokter Indonesia ( IDI) mengonfirmasi telah kehilangan 25 anggotanya akibat pandemi virus corona COVID-19 yang masih berlangsung. Hal itu disampaikan oleh anggota Bidang Kesekretariatan, Protokoler, dan Public Relations Pengurus Besar (PB) IDI, Halik Malik.

"Informasi yang diterima PB IDI setidaknya ada 25 dokter yang dikabarkan meninggal karena positif COVID-19 dan PDP COVID," kata Halik memberikan penjelasan saat dikonfirmasi wartawan.

Fakta-fakta yang disampaikan pihak IDI ini juga menjadi dasar bagaimana para medis melakukan protokol penanganan pasien, bukan hanya pasien yang terpapar (PDP) COVID-19, tapi juga pasien pada umumnya. Alasannya, penanganan pasien, terutama untuk tindakan operasi medis, harus aman bukan saja bagi pasien tapi juga harus aman bagi tenaga medis yang menanganinya.

Misalnya setiap pasien yang akan menjalani operasi akan melalui tahapan-tahapan tambahan, seperti pemeriksaan awal pasien harus melakukan test rapid, baik di awal maupun diulang saat menjelang operasi, juga melakukan swab test atau PCR, yang dulu sebelum pandemi, tidak ada prosedur ini. Bila ini berlaku juga untuk para medis yang menjalankan penanganan operasi, tentu cukup merepotkan.

Prosedur yang kian rumit dalam penanganan pasien ini, melahirkan keengganan di beberapa rumah sakit menunda untuk melakukan penanganan pasien yang perlu melakukan operasi curatif. Maka dalam beberapa bulan terakhir ini akan menimbulkan penumpukan atau antrian panjang untuk penanganan operasi curatif.

Meski sebetulnya dengan diskriminatif ini ada potensi menumbulkan pelanggaraan maladministrasi yang tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien. Serta ada penegasan dari UU No36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa dalam pelayanan pasien tidak boleh ada diskriminatif.

Catatan Singgih Sutoyo.
(sms)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1251 seconds (0.1#10.140)