Kisah Kertajaya, Raja Kediri yang Mengaku Sebagai Tuhan, Tewas Oleh Serangan Mematikan Ken Arok
loading...
A
A
A
Prabu Dandhang Gendis sendiri, disebut dalam Kitab Pararaton melarikan diri dan bersembunyi naik ke kahyangan. Sementara di Kitab Nagarakertagama, menyebut usai mengalami kekalahan dari pasukan Tumapel, Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya atau tempat dewa.
Baik Kitab Pararaton, maupun Kitab Nagarakertagama, sama-sama menyebutkan Kertajaya atau Prabu Dandhang Gendis melarikan diri ke alam dewata, usai pasukannya kalah perang. Persembunyian di alam dewata ini, bisa diartikan sebagai candi pemujaan, atau bahkan Kertajaya memang sudah tewas.
Selain di dalam Kitab Nagarakertagama, nama Kertajaya sebagai Raja Kediri juga disebutkan dalam sejumlah prasasti, di antaranya Prasasti Galunggung berangka tahun 1194 masehi; Prasasti Kamulan tahun 1194 masehi; Prasasti Palah tahun 1197 masehi; Prasasti Biri dan Prasasti Lawadan berangka tahun 1205 masehi.
Prasasti-prasasti itu dengan gamblang menyebutkan, Kertajaya yang memimpin Kerajaan Kediri, memiliki gelar Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.
Kertajaya memerintah di Kerajaan Kediri pada tahun 1194-1222 Masehi, sebelum akhirnya dikalahkan Ken Arok dari Kerajaan Singasari. Kekalahan itu menjadi akhir dari masa kekuasaan Kerajaan Kediri kala itu.
Pada masa kekuasaannya, Raja Kertajaya disebut kerap kali membuka konflik dengan kaum Brahmana. Hal ini juga dikisahkan pada buku Kerajaan Kediri atau Panjalu: Sistem Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya karya Tanaya Yuka, Dieta Lebe Ravando, dan Iqra R serta sejumlah sumber lainnya.
Keinginan Kertajaya dipuja layaknya Tuhan, memicu konflik dengan kaum Brahmana, sebab dalam tradisi Hindu, Brahmana merupakan kasta tertinggi. Sementara para Kesatria seperti seperti pejabat istana, termasuk raja, merupakan kasta yang ada di bawah Brahmana.
Beberapa orang yang tak mengakui ketuhanan Kertajaya, harus mengalami siksaan keji hingga mati. Sementara bagi mereka yang mengakui ketuhanan Kertajaya, akan dibebaskan dari segala hukuman dan diberikan kedudukan terhormat.
Baik Kitab Pararaton, maupun Kitab Nagarakertagama, sama-sama menyebutkan Kertajaya atau Prabu Dandhang Gendis melarikan diri ke alam dewata, usai pasukannya kalah perang. Persembunyian di alam dewata ini, bisa diartikan sebagai candi pemujaan, atau bahkan Kertajaya memang sudah tewas.
Selain di dalam Kitab Nagarakertagama, nama Kertajaya sebagai Raja Kediri juga disebutkan dalam sejumlah prasasti, di antaranya Prasasti Galunggung berangka tahun 1194 masehi; Prasasti Kamulan tahun 1194 masehi; Prasasti Palah tahun 1197 masehi; Prasasti Biri dan Prasasti Lawadan berangka tahun 1205 masehi.
Prasasti-prasasti itu dengan gamblang menyebutkan, Kertajaya yang memimpin Kerajaan Kediri, memiliki gelar Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.
Kertajaya memerintah di Kerajaan Kediri pada tahun 1194-1222 Masehi, sebelum akhirnya dikalahkan Ken Arok dari Kerajaan Singasari. Kekalahan itu menjadi akhir dari masa kekuasaan Kerajaan Kediri kala itu.
Pada masa kekuasaannya, Raja Kertajaya disebut kerap kali membuka konflik dengan kaum Brahmana. Hal ini juga dikisahkan pada buku Kerajaan Kediri atau Panjalu: Sistem Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya karya Tanaya Yuka, Dieta Lebe Ravando, dan Iqra R serta sejumlah sumber lainnya.
Keinginan Kertajaya dipuja layaknya Tuhan, memicu konflik dengan kaum Brahmana, sebab dalam tradisi Hindu, Brahmana merupakan kasta tertinggi. Sementara para Kesatria seperti seperti pejabat istana, termasuk raja, merupakan kasta yang ada di bawah Brahmana.
Beberapa orang yang tak mengakui ketuhanan Kertajaya, harus mengalami siksaan keji hingga mati. Sementara bagi mereka yang mengakui ketuhanan Kertajaya, akan dibebaskan dari segala hukuman dan diberikan kedudukan terhormat.