Kisah Kertajaya, Raja Kediri yang Mengaku Sebagai Tuhan, Tewas Oleh Serangan Mematikan Ken Arok
loading...
A
A
A
Raja Kediri, Prabu Dandhang Gendis pamer kesaktian. Dia duduk di ujung sebatang tombak tajam dan berdiri tegak. Kesaktian yang luar biasa, membuat Prabu Dandhang Gendis kian jumawa, dan meminta para pendeta Hindu serta Buddha menyembahnya sebagai Tuhan.
Permintaan Prabu Dandhan Gendis ini, tentunya mendapatkan perlawanan dari para pendeta atau kaum Brahmana. Di tengah kebencian para Brahmana terhadap Prabu Dandang Gendis, sosok Ken Arok muncul sebagai akuwu Tumapel yang kala itu masih berada di bawah kekuasaan Kediri.
Kaum Brahmana ini mencari perlindungan kepada Ken Arok, sosok pemimpin baru yang mampu menumbangkan Tunggul Ametung menggunakan keris sakti buatan Mpu Gandring. Ken Arok pada akhirnya mengangkat dirinya sendiri sebagai Raja Tumapel atau Singasari, dan melepaskan diri dari Kediri.
Sepenggal kisah tentang Prabu Dandhang Gendis ini, termuat dalam Kitab Pararaton. Prabu Dandhang Gendis, dipercaya merupakan sosok Kertajaya, raja terakhir Kerajaan Kediri, yang akhirnya ditaklukkan oleh Ken Arok.
Sebelum terjadi perang penaklukkan Kediri oleh Tumapel, dalam Kitab Pararaton, Prabu Dandhang Gendis tak sedikitpun memiliki rasa takut terhadap siapapun, karena merasa dirinya Tuhan, dan mengaku hanya bisa dikalahkan oleh Siwa.
Mendengar pernyataan Prabu Dandhang Gendis, Ken Arok akhirnya memakai gelar Bhatara Guru yang merupakan nama lain dari Dewa Siwa. Dengan penuh keyakinan, Bhatara Guru memimpin pasukannya menyerang Kadiri.
Perang antara Tumapel dan Kadiri tak terelakkan lagi. Pasukan Kediri dipimpin oleh Mahisa Walungan yang merupakan adik Dandhang Gendis, dan Gubar Baleman. Kedua panglima pasukan Kediri itu, akhirnya mati di tangan Ken Arok.
Prabu Dandhang Gendis sendiri, disebut dalam Kitab Pararaton melarikan diri dan bersembunyi naik ke kahyangan. Sementara di Kitab Nagarakertagama, menyebut usai mengalami kekalahan dari pasukan Tumapel, Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya atau tempat dewa.
Baik Kitab Pararaton, maupun Kitab Nagarakertagama, sama-sama menyebutkan Kertajaya atau Prabu Dandhang Gendis melarikan diri ke alam dewata, usai pasukannya kalah perang. Persembunyian di alam dewata ini, bisa diartikan sebagai candi pemujaan, atau bahkan Kertajaya memang sudah tewas.
Selain di dalam Kitab Nagarakertagama, nama Kertajaya sebagai Raja Kediri juga disebutkan dalam sejumlah prasasti, di antaranya Prasasti Galunggung berangka tahun 1194 masehi; Prasasti Kamulan tahun 1194 masehi; Prasasti Palah tahun 1197 masehi; Prasasti Biri dan Prasasti Lawadan berangka tahun 1205 masehi.
Prasasti-prasasti itu dengan gamblang menyebutkan, Kertajaya yang memimpin Kerajaan Kediri, memiliki gelar Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.
Kertajaya memerintah di Kerajaan Kediri pada tahun 1194-1222 Masehi, sebelum akhirnya dikalahkan Ken Arok dari Kerajaan Singasari. Kekalahan itu menjadi akhir dari masa kekuasaan Kerajaan Kediri kala itu.
Pada masa kekuasaannya, Raja Kertajaya disebut kerap kali membuka konflik dengan kaum Brahmana. Hal ini juga dikisahkan pada buku Kerajaan Kediri atau Panjalu: Sistem Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya karya Tanaya Yuka, Dieta Lebe Ravando, dan Iqra R serta sejumlah sumber lainnya.
Keinginan Kertajaya dipuja layaknya Tuhan, memicu konflik dengan kaum Brahmana, sebab dalam tradisi Hindu, Brahmana merupakan kasta tertinggi. Sementara para Kesatria seperti seperti pejabat istana, termasuk raja, merupakan kasta yang ada di bawah Brahmana.
Beberapa orang yang tak mengakui ketuhanan Kertajaya, harus mengalami siksaan keji hingga mati. Sementara bagi mereka yang mengakui ketuhanan Kertajaya, akan dibebaskan dari segala hukuman dan diberikan kedudukan terhormat.
Tapi karena etika dan keserakahannya, membuat Kertajaya terus mendapat penolakan dari para Brahmana. Puncaknya, para Brahmana memilih meninggalkan Ibu Kota Kerajaan Kediri, lalu menyingkir sambil mewartakan kesesatan Kertajaya, kepada seluruh rakyat kerajaan yang para Brahmana.
Selain menistakan kaum Brahmana, keinginan Kertajaya untuk dipuja layaknya Tuhan, dipandang sebagai penghinaan nilai-nilai agama oleh para pendeta Hindu maupun Buddha. Disebutkan tidak ada dasarnya seorang agamawan atau pendeta harus tunduk apalagi menyembah-nyembah seorang raja, yang merupakan Kesatria.
Pada masa kepimpinan Raja Kertajaya, Brahmana dan Kesatria kerap kali mengalami ketegangan, dan akhirnya memicu pemberontakan besar yang dipimpin oleh Ken Arok. Kala itu Ken Arok menjadi senjata utama para Brahmana untuk menghancurkan Kesatria yang diwakili oleh Kertajaya, dan Tunggul Ametung.
Para Brahmana menganugerahi Ken Arok dengan gelar Bhatara Guru, dan disebut sebagai titisan seorang Dewa. Pemberian Gelar Bhatara Guru adalah upaya pemberian kepercayaan kepada Ken Arok, untuk menghancurkan Raja Kertajaya.
Kehancuran Kertajaya dalam pemberontakan yang dilakukan Ken Arok pada tahun 1222 masehi, sekaligus menjadi penanda perpindahan kekuasaan Kerajaan Kediri, ke Kerajaan Singasari yang didirikan dan dipimpin Ken Arok. Kediri menjadi daerah bawahan Tumapel.
Dalam Kitab Nagarakretagama disebutkan, Jayasabha yang merupakan putra Kertajaya diangkat Ken Arok sebagai Adipati Kediri. Pada tahun 1258 masehi, posisi Jayasabha sebagai Bupati Kediri digantikan putranya, Sastrajaya. Setelah itu, Sastrajaya digantikan putranya, Jayakatwang pada tahun 1271 masehi.
Namun, naskah berbeda termuat dalam Prasasti Mula Malurung yang berangka tahun 1255 masehi. Dalam Prasasti Mula Malurung disebutkan Raja kediri setelah Kertajaya adalah Bhatara Parameswara putra Bhatara Siwa alias Ken Arok. Sedangkan Jayakatwang menurut Prasasti Penanggungan adalah Adipati Gelang-gelang.
Jayakatwang kemudian berhasil menjadi Raja Kediri setelah menghancurkan Singasari pada tahun 1292 masehi, melalui strategi perang yang jitu dengan melakukan penyerangan dari dua arah, dan berhasil membunuh Raja Singasari, Kertanegara di dalam istananya.
Permintaan Prabu Dandhan Gendis ini, tentunya mendapatkan perlawanan dari para pendeta atau kaum Brahmana. Di tengah kebencian para Brahmana terhadap Prabu Dandang Gendis, sosok Ken Arok muncul sebagai akuwu Tumapel yang kala itu masih berada di bawah kekuasaan Kediri.
Kaum Brahmana ini mencari perlindungan kepada Ken Arok, sosok pemimpin baru yang mampu menumbangkan Tunggul Ametung menggunakan keris sakti buatan Mpu Gandring. Ken Arok pada akhirnya mengangkat dirinya sendiri sebagai Raja Tumapel atau Singasari, dan melepaskan diri dari Kediri.
Baca Juga
Sepenggal kisah tentang Prabu Dandhang Gendis ini, termuat dalam Kitab Pararaton. Prabu Dandhang Gendis, dipercaya merupakan sosok Kertajaya, raja terakhir Kerajaan Kediri, yang akhirnya ditaklukkan oleh Ken Arok.
Sebelum terjadi perang penaklukkan Kediri oleh Tumapel, dalam Kitab Pararaton, Prabu Dandhang Gendis tak sedikitpun memiliki rasa takut terhadap siapapun, karena merasa dirinya Tuhan, dan mengaku hanya bisa dikalahkan oleh Siwa.
Mendengar pernyataan Prabu Dandhang Gendis, Ken Arok akhirnya memakai gelar Bhatara Guru yang merupakan nama lain dari Dewa Siwa. Dengan penuh keyakinan, Bhatara Guru memimpin pasukannya menyerang Kadiri.
Perang antara Tumapel dan Kadiri tak terelakkan lagi. Pasukan Kediri dipimpin oleh Mahisa Walungan yang merupakan adik Dandhang Gendis, dan Gubar Baleman. Kedua panglima pasukan Kediri itu, akhirnya mati di tangan Ken Arok.
Prabu Dandhang Gendis sendiri, disebut dalam Kitab Pararaton melarikan diri dan bersembunyi naik ke kahyangan. Sementara di Kitab Nagarakertagama, menyebut usai mengalami kekalahan dari pasukan Tumapel, Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya atau tempat dewa.
Baik Kitab Pararaton, maupun Kitab Nagarakertagama, sama-sama menyebutkan Kertajaya atau Prabu Dandhang Gendis melarikan diri ke alam dewata, usai pasukannya kalah perang. Persembunyian di alam dewata ini, bisa diartikan sebagai candi pemujaan, atau bahkan Kertajaya memang sudah tewas.
Selain di dalam Kitab Nagarakertagama, nama Kertajaya sebagai Raja Kediri juga disebutkan dalam sejumlah prasasti, di antaranya Prasasti Galunggung berangka tahun 1194 masehi; Prasasti Kamulan tahun 1194 masehi; Prasasti Palah tahun 1197 masehi; Prasasti Biri dan Prasasti Lawadan berangka tahun 1205 masehi.
Prasasti-prasasti itu dengan gamblang menyebutkan, Kertajaya yang memimpin Kerajaan Kediri, memiliki gelar Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.
Kertajaya memerintah di Kerajaan Kediri pada tahun 1194-1222 Masehi, sebelum akhirnya dikalahkan Ken Arok dari Kerajaan Singasari. Kekalahan itu menjadi akhir dari masa kekuasaan Kerajaan Kediri kala itu.
Pada masa kekuasaannya, Raja Kertajaya disebut kerap kali membuka konflik dengan kaum Brahmana. Hal ini juga dikisahkan pada buku Kerajaan Kediri atau Panjalu: Sistem Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya karya Tanaya Yuka, Dieta Lebe Ravando, dan Iqra R serta sejumlah sumber lainnya.
Keinginan Kertajaya dipuja layaknya Tuhan, memicu konflik dengan kaum Brahmana, sebab dalam tradisi Hindu, Brahmana merupakan kasta tertinggi. Sementara para Kesatria seperti seperti pejabat istana, termasuk raja, merupakan kasta yang ada di bawah Brahmana.
Beberapa orang yang tak mengakui ketuhanan Kertajaya, harus mengalami siksaan keji hingga mati. Sementara bagi mereka yang mengakui ketuhanan Kertajaya, akan dibebaskan dari segala hukuman dan diberikan kedudukan terhormat.
Tapi karena etika dan keserakahannya, membuat Kertajaya terus mendapat penolakan dari para Brahmana. Puncaknya, para Brahmana memilih meninggalkan Ibu Kota Kerajaan Kediri, lalu menyingkir sambil mewartakan kesesatan Kertajaya, kepada seluruh rakyat kerajaan yang para Brahmana.
Selain menistakan kaum Brahmana, keinginan Kertajaya untuk dipuja layaknya Tuhan, dipandang sebagai penghinaan nilai-nilai agama oleh para pendeta Hindu maupun Buddha. Disebutkan tidak ada dasarnya seorang agamawan atau pendeta harus tunduk apalagi menyembah-nyembah seorang raja, yang merupakan Kesatria.
Pada masa kepimpinan Raja Kertajaya, Brahmana dan Kesatria kerap kali mengalami ketegangan, dan akhirnya memicu pemberontakan besar yang dipimpin oleh Ken Arok. Kala itu Ken Arok menjadi senjata utama para Brahmana untuk menghancurkan Kesatria yang diwakili oleh Kertajaya, dan Tunggul Ametung.
Para Brahmana menganugerahi Ken Arok dengan gelar Bhatara Guru, dan disebut sebagai titisan seorang Dewa. Pemberian Gelar Bhatara Guru adalah upaya pemberian kepercayaan kepada Ken Arok, untuk menghancurkan Raja Kertajaya.
Kehancuran Kertajaya dalam pemberontakan yang dilakukan Ken Arok pada tahun 1222 masehi, sekaligus menjadi penanda perpindahan kekuasaan Kerajaan Kediri, ke Kerajaan Singasari yang didirikan dan dipimpin Ken Arok. Kediri menjadi daerah bawahan Tumapel.
Dalam Kitab Nagarakretagama disebutkan, Jayasabha yang merupakan putra Kertajaya diangkat Ken Arok sebagai Adipati Kediri. Pada tahun 1258 masehi, posisi Jayasabha sebagai Bupati Kediri digantikan putranya, Sastrajaya. Setelah itu, Sastrajaya digantikan putranya, Jayakatwang pada tahun 1271 masehi.
Namun, naskah berbeda termuat dalam Prasasti Mula Malurung yang berangka tahun 1255 masehi. Dalam Prasasti Mula Malurung disebutkan Raja kediri setelah Kertajaya adalah Bhatara Parameswara putra Bhatara Siwa alias Ken Arok. Sedangkan Jayakatwang menurut Prasasti Penanggungan adalah Adipati Gelang-gelang.
Jayakatwang kemudian berhasil menjadi Raja Kediri setelah menghancurkan Singasari pada tahun 1292 masehi, melalui strategi perang yang jitu dengan melakukan penyerangan dari dua arah, dan berhasil membunuh Raja Singasari, Kertanegara di dalam istananya.
(eyt)