Teruslah Berlari San, Kenali Temanmu dan Hilangkan Racun Gadget
loading...
A
A
A
Dahulu banyak orang tua yang ingin anaknya segera pulang ke rumah karena seharian bermain di lapangan. Kini, orang tua milenial bingung melihat anaknya tak mau keluar rumah. Mereka harus berhadapan dengan gadget, sebuah candu bagi anak yang sulit untuk dilepaskan.
"Bangun tidur yang dicari langsung hape, nggak mau langsung mandi. Kalau makan baru mau kalau ada hape, kan sulit," kata Irmaningtyas, salah satu orang tua.
Sepanjang hari ia selalu dibuat geram. Untuk bisa tidur siang saja, anaknya sudah tidak bisa. Bahkan, ia sampai lupa kapan terakhir kali anaknya mau tidur siang. "Gimana mau tidur, lha hape dilihat terus. Sampai sore, kalau diambil langsung teriak-teriak dan menangis," sambungnya.
Irmaningtyas tidak sendirian mengalami kondisi itu. Para ibu kini menghadapi musuh bersama, yakni gadget. Seperti pisau bermata dua, gadget yang dibelikan buat anaknya dengan tujuan untuk menjalani pendidikan daring kini sudah beralih fungsi.
Setiap pagi sampai malam, buah hatinya sulit untuk diajak berbicara. Karena kesehariannya yang sudah kecanduan ponsel. Berbagai game sampai konten youtube menjadi santapannya setiap hari. Gadget itu tak bisa dipisahkan sejenak saja.
Irmaningtyas cemas. Apalagi tidak seharian penuh ia bisa menjaga anaknya. Atau sekedar memastikan tayangan yang dilihat oleh anaknya yang masih duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar itu. "Macam-macam yang dilihat, tapi kami selalu khawatir," jelasnya.
Masih pukul 05.00 WIB. Irmaningtyas sudah bergegas. Satu tas berwarna hitam sudah penuh dengan pakaian. Ia membuka pintu rumah dan bau segar langsung menyergap, sisa hujan semalam membuat tanah dan rumput di depan rumahnya basah. Embun pagi masih merambat di permukaaan anggrek yang di tanam di depan rumahnya yang ada di Pagesangan, Surabaya.
Ia sudah berkali-kali memanggil Sandi, anaknya, untuk keluar dari kamar. Sampai panggilan yang ke empat dilakukan, Irmaningtyas langsung bangkit dari kursi tamu dan mendatangi Sandi yang masih saja berada di dalam kamar. "Ayo nak, kita nanti terlambat kalau nggak berangkat sekarang!" seru Irmaningtyas sambil berjalan ke arah kamar anaknya.
Saat pintu kamar anaknya dibuka, ia mendapati Sandi duduk di pojok dekat jendela sambil bermain ponsel. Ia pun tak memperdulikan ketika ibunya masuk dan tetap fokus menatap gawainya.
Irmaningtyas tentu saja geram, apalagi ia berkali-kali memanggil dan tidak ada balasan. Padahal anak semata wayangnya itu berada di kamar. Spontan ia langsung mengambil ponsel dan mengajak anaknya keluar dari kamar.
Dari rumahnya yang ada di kawasan Pagesangan Surabaya, Siska mengajak Sandi untuk bermain ke Kampung Lali Gadget (KLG), Dusun Bendet, Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Sidoarjo. Ia membutuhakan waktu sejam untuk bisa sampai di kawasan yang begitu tenang dengan pohon dan suasana yang sejuk.
Detoksifikasi dari Gadget
Sandi masih kebingungan ketika tiba di sebuah rumah joglo yang sudah penuh dengan anak-anak. Berkali-kali ia melemparkan pandangan ke arah anak-anak yang tertawa lepas sambil bermain ikat tali dan merangkai tanaman di dalam botol.
Di dalam pendopo yang berukuran 8x10 meter itu, Sandi langsung berkenalan dengan seorang anak bernama Rizky Pratama. Sandi masih merasa asing ketika Rizky menawarinya untuk bermain gasing. "Sudah pernah main ini?" kata Rizky.
Sandi hanya mengelengkan kepala. Rizky langsung mengambil sebuah tali yang dililitkan pada ujung gasing dan melemparnya keras ke dalam bak besar dari tanah liat. Gasing itu berbutar cepat, membuat poros ganda dan pandora yang berwarna warni dalam lintasan.
Senyum kecil Sandi mulai terlihat. Mereka berdua larut dalam percakapan ketika Sandi berkali-kali ingin diajari oleh Rizky untuk bisa memutar gasing itu dengan cepat. "Tarik yang keras dan lemparkan di posisi ujung, biar berputar kencang," jawab Rizky.
Sandi mencoba berkali-kali. Namun gagal. Pada percobaan yang ketujuh, Sandi akhirnya berhasil. Ia langsung melompat kegirangan. Mereka berdua kini mulai beradu gasing, saling menatap kecepatan dan melilitkan tali dengan kencang-kencang.
Saat matahari semakin hangat, Founder KLG Achmad Irfandi mencoba untuk mendatangi Sandi yang masih asyik dengan gasing. Ia kemudian mengajak Sandi dan Rizky itu untuk berjalan ke kolam ikan yang jaraknya tak begitu jauh. Suara burung kutilang menemani pagi itu yang teduh di Dusun Bendet.
Saat berjalan, Sandi masih mengenakan sepatu dan terus menghindari dari tanah liat yang becek. Irfandi mencoba memintanya untuk melepas sepatu itu, namun ajakan itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Sandi. "Nggak mau, kotor!" katanya.
"Nggak apa-apa, bermain itu harus berani kotor. Nanti kita kan cuci tangan dan kaki, sama mandi juga kalau selesai bermain," jawab Irfandi.
Sandi tetap tak mau. Berkali-kali ia ragu untuk melintas di atas lumpur. Sepatunya sudah mulai kotor, dan ia merasa itu tidak baik-baik saja. Irfandi dan anak-anak yang lain mencoba untuk menjelaskan kalau kita akan segera masuk ke kolam ikan.
"Ayo, lepas saja sepatunya. Asyik kok, ayo turun ke sini!" ajak anak-anak sambil bergantian masuk ke kolam.
Sandi masih ragu-ragu. Dipandanginya kanan dan kiri, melihat ikan-ikan yang berenang di air yang keruh. Ia coba dibantu masuk ke air setelah sepatunya dilepas. Sandi canggung, tapi setelah diajari cara menangkap ikan, ia langsung sumringah. Air yang bercampur lumpur kini membasahi badannya. Sandi cuek. Ia masih fokus untuk menangkap salah satu ikan. Tapi belum berhasil.
Sudah empat jam Sandi tak lagi bertanya tentang gadget. Irmaningtyas senang. Dia pun melihat senyum yang tak biasa dari buah hatinya. Apalagi melihatnya berinteraksi dengan teman-teman baru, bermain bersama. Dan melihat anaknya yang berani untuk kotor. "Disuruh buang bekas tisu ke tempat sampah saja nggak mau. Katanya kotor," jelas Siska.
Dunia Anak adalah Tempat Bermain
Pandemi COVID-19 mengubah banyak kebiasaan bagi anak-anak. Mereka yang dulunya banyak berinteraksi dengan teman sebayanya, kini lebih banyak menghabiskan waktunya dengan gawai.
Di KLG, tak ada anak-anak yang memakai gawai. Mereka dikembalikan pada hakikat dunia anak yang penuh keceriaan dengan berbagai permainan yang menemani hari-harinya. Anak-anak terus bermain dan berlarian di bawah pohon pole yang menjulang tinggi.
Mereka ada yang bermain bentengan, gobak sodor, lompat tali, mendengarkan dongeng, dan ada yang memilih membaca buku di bawah pohon yang rindang. Suara mereka renyah, memecah siang yang terik menjadi hangat dalam riang dan gembira.
Irfandi menuturkan, anak-anak ketika pertama datang ke KLG harus dihilangkan dulu ketergantungan pada gawai. Dampak kegiatan dan permainan tradisional terhadap anak-anak bisa mengembalikan keceriaan mereka.
Anak-anak juga diajak untuk kembali mengenal kearifan lokal, membantu orang tua dan mengajak mereka untuk bisa mengenal kebudayaan keluarga dengan landasa tepo seliro dan saling membantu. "Racun-racun dari gawai harus dikeluarkan. Jadi mereka kalau kesini lupa gawai," imbuhnya.
Ia mulai bercerita, KLG mulai dibuka pada 2018. Posisinya dikelilingi persawahan yang masih membentang hijau dan habitat burung yang masih terjaga. KLG lahir dari kegelisahan melihat anak-anak terlalu sering bermain gawai.
Menurutnya, tumbuh kembang anak era sekarang kurang seimbang karena terlalu lekat dengan gadget. Padahal, di masa tumbuh kembang, anak-anak harus bermain dan berinteraksi dengan sebayanya.
"Jadi melawan kecanduan gadget itu dengan aktifitas bermain. Anak-anak harus dolanan dan membiarkan mereka bermain dengan beraneka macam permainan yang mereka sukai," katanya.
Kecanduan gawai, katanya, menjadi sebuah racun bagi anak. Mereka akan pusing dan terus berontak ketika tak diberikan kesempatan untuk memegang gawai. "Makanya racun itu harus dikeluarkan pada anak. Ada satu hari khusus yang mereka harus didetoks untuk menghilangkan kecanduan itu," imbuhnya.
Semua permainan yang ada di KLG merupakan jenis tradisional. Permainan lintas generasi yang tak lekang oleh zaman. Permainan itu, bagi generasi saat ini masih menjadi hal yang baru. Pasalnya, di beberapa kota besar permainan itu sudah tak lagi terlihat di perkampungan.
"Kami coba melatih anak-anak kerjasama dan tanggung jawab melalui permainan itu. Mental mereka harus dikembalikan, racun dari gawai harus dikeluarkan," jelasnya.
Permainan seperti menangkap angsa, gobak sodor, melempar batu, gapiak sampai adu gundu memberikan satu edukasi pada anak untuk melatih kerjasama. Permainan itu tentu nggak bisa diperoleh ketika mereka bermain game digital di gadget.
Menjaga Literasi Anak
"Lemparlah mimpi setinggi langit, kalau pun terjatuh, biar bersandar diantara bintang-bintang," perkataan Presiden Pertama Indonesia, Soekarno itu selalu menghiasi angkasa di Indonesia. Menjaga anak-anak dengan mimpinya harus dilakukan oleh semua orang tua. Karena anak-anak adalah estafet kepemimpinan di negera ini.
Membiarkan gadget sebagai guru bagi anak-anak akan membawa sebuah generasi yang lupa akan akar sejarahnya. Mereka harus bisa memperoleh literasi sejak dini, literasi anak yang diperoleh dari permainan yang mereka sukai. Di tengah arus digital, anak-anak tetap harus bisa diajak untuk kreatif dan merawat mimpinya.
Sosiolog Anak Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto menuturkan, ruang digital yang serba cepat menjadi pisau bermata dua bagi anak-anak. Arus yang tak bisa dibendung, namun bisa dikendalikan ketika sejak dini diberikan literasi yang baik pada anak.
"Bagaimana pun juga anak adalah peniru yang ulung. Mereka bisa dibentuk dan diajak untuk memahami kehidupan yang lebih baik dengan membentuk karakter mereka sejak dini," katanya.
Orang tua juga harus bisa memantau aktifitas digital anaknya. Sebab, mereka bisa terjebak dalam pengaruh digital yang lebih akut. Salah satunya melalui konten kekerasan dan pornografi.
"Anak-anak tetap harus bisa bermain. Tentu bukan lewat ponselnya, tapi juga aktifitas permainan yang dilakukan dengan teman sebayanya," jelasnya.
Kepala Perwakilan UNICEF Surabaya Ermi Ndoen mengatakan, anak-anak memiliki potensi yang besar ketika sejak dini sudah dikenalkan dengan dunia permainan yang disukai. Semua itu juga bisa merangsang sisi kreatifitas dan nalarnya untuk bisa terus berkembang.
"Literasi anak sejak dini sangat penting, karena banyak potensi anak yang bisa dikembangkan dalam usia emas mereka," jelasnya.
Langkah cadas yang dilakukan Irfandi dan teman-temannya di KLG mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Gerakan detoks pada kecanduan gawai bagi anak-anak itu pun mendapat apresiasi dari PT Astra International Tbk melalui penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2021.
Irfandi terpilih menjadi finalis di ajang tersebut dalam kategori penggerak koservasi budaya melalui KLG. Melalui program di KLG bisa semakin berkembang dan menginspirasi banyak orang, terutama untuk menyelamatkan anak-anak dari kecanduan gawai menjadi pekerjaan gotong royong yang bisa dilakukan bersama.
Jalan terjal Irfandi masih terus dilalui. Cara mengeluarkan racun gadget pada anak bisa menjadi ketenangan bagi orang tua untuk mengembalikan keceriaan anak-anak. Ruang bermain anak tak akan bisa dikalahkan oleh gawai, dan anak adalah pondasi masa depan negeri ini.
"Bangun tidur yang dicari langsung hape, nggak mau langsung mandi. Kalau makan baru mau kalau ada hape, kan sulit," kata Irmaningtyas, salah satu orang tua.
Sepanjang hari ia selalu dibuat geram. Untuk bisa tidur siang saja, anaknya sudah tidak bisa. Bahkan, ia sampai lupa kapan terakhir kali anaknya mau tidur siang. "Gimana mau tidur, lha hape dilihat terus. Sampai sore, kalau diambil langsung teriak-teriak dan menangis," sambungnya.
Irmaningtyas tidak sendirian mengalami kondisi itu. Para ibu kini menghadapi musuh bersama, yakni gadget. Seperti pisau bermata dua, gadget yang dibelikan buat anaknya dengan tujuan untuk menjalani pendidikan daring kini sudah beralih fungsi.
Setiap pagi sampai malam, buah hatinya sulit untuk diajak berbicara. Karena kesehariannya yang sudah kecanduan ponsel. Berbagai game sampai konten youtube menjadi santapannya setiap hari. Gadget itu tak bisa dipisahkan sejenak saja.
Irmaningtyas cemas. Apalagi tidak seharian penuh ia bisa menjaga anaknya. Atau sekedar memastikan tayangan yang dilihat oleh anaknya yang masih duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar itu. "Macam-macam yang dilihat, tapi kami selalu khawatir," jelasnya.
Masih pukul 05.00 WIB. Irmaningtyas sudah bergegas. Satu tas berwarna hitam sudah penuh dengan pakaian. Ia membuka pintu rumah dan bau segar langsung menyergap, sisa hujan semalam membuat tanah dan rumput di depan rumahnya basah. Embun pagi masih merambat di permukaaan anggrek yang di tanam di depan rumahnya yang ada di Pagesangan, Surabaya.
Ia sudah berkali-kali memanggil Sandi, anaknya, untuk keluar dari kamar. Sampai panggilan yang ke empat dilakukan, Irmaningtyas langsung bangkit dari kursi tamu dan mendatangi Sandi yang masih saja berada di dalam kamar. "Ayo nak, kita nanti terlambat kalau nggak berangkat sekarang!" seru Irmaningtyas sambil berjalan ke arah kamar anaknya.
Saat pintu kamar anaknya dibuka, ia mendapati Sandi duduk di pojok dekat jendela sambil bermain ponsel. Ia pun tak memperdulikan ketika ibunya masuk dan tetap fokus menatap gawainya.
Irmaningtyas tentu saja geram, apalagi ia berkali-kali memanggil dan tidak ada balasan. Padahal anak semata wayangnya itu berada di kamar. Spontan ia langsung mengambil ponsel dan mengajak anaknya keluar dari kamar.
Dari rumahnya yang ada di kawasan Pagesangan Surabaya, Siska mengajak Sandi untuk bermain ke Kampung Lali Gadget (KLG), Dusun Bendet, Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Sidoarjo. Ia membutuhakan waktu sejam untuk bisa sampai di kawasan yang begitu tenang dengan pohon dan suasana yang sejuk.
Detoksifikasi dari Gadget
Sandi masih kebingungan ketika tiba di sebuah rumah joglo yang sudah penuh dengan anak-anak. Berkali-kali ia melemparkan pandangan ke arah anak-anak yang tertawa lepas sambil bermain ikat tali dan merangkai tanaman di dalam botol.
Di dalam pendopo yang berukuran 8x10 meter itu, Sandi langsung berkenalan dengan seorang anak bernama Rizky Pratama. Sandi masih merasa asing ketika Rizky menawarinya untuk bermain gasing. "Sudah pernah main ini?" kata Rizky.
Sandi hanya mengelengkan kepala. Rizky langsung mengambil sebuah tali yang dililitkan pada ujung gasing dan melemparnya keras ke dalam bak besar dari tanah liat. Gasing itu berbutar cepat, membuat poros ganda dan pandora yang berwarna warni dalam lintasan.
Senyum kecil Sandi mulai terlihat. Mereka berdua larut dalam percakapan ketika Sandi berkali-kali ingin diajari oleh Rizky untuk bisa memutar gasing itu dengan cepat. "Tarik yang keras dan lemparkan di posisi ujung, biar berputar kencang," jawab Rizky.
Sandi mencoba berkali-kali. Namun gagal. Pada percobaan yang ketujuh, Sandi akhirnya berhasil. Ia langsung melompat kegirangan. Mereka berdua kini mulai beradu gasing, saling menatap kecepatan dan melilitkan tali dengan kencang-kencang.
Saat matahari semakin hangat, Founder KLG Achmad Irfandi mencoba untuk mendatangi Sandi yang masih asyik dengan gasing. Ia kemudian mengajak Sandi dan Rizky itu untuk berjalan ke kolam ikan yang jaraknya tak begitu jauh. Suara burung kutilang menemani pagi itu yang teduh di Dusun Bendet.
Saat berjalan, Sandi masih mengenakan sepatu dan terus menghindari dari tanah liat yang becek. Irfandi mencoba memintanya untuk melepas sepatu itu, namun ajakan itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Sandi. "Nggak mau, kotor!" katanya.
"Nggak apa-apa, bermain itu harus berani kotor. Nanti kita kan cuci tangan dan kaki, sama mandi juga kalau selesai bermain," jawab Irfandi.
Sandi tetap tak mau. Berkali-kali ia ragu untuk melintas di atas lumpur. Sepatunya sudah mulai kotor, dan ia merasa itu tidak baik-baik saja. Irfandi dan anak-anak yang lain mencoba untuk menjelaskan kalau kita akan segera masuk ke kolam ikan.
"Ayo, lepas saja sepatunya. Asyik kok, ayo turun ke sini!" ajak anak-anak sambil bergantian masuk ke kolam.
Sandi masih ragu-ragu. Dipandanginya kanan dan kiri, melihat ikan-ikan yang berenang di air yang keruh. Ia coba dibantu masuk ke air setelah sepatunya dilepas. Sandi canggung, tapi setelah diajari cara menangkap ikan, ia langsung sumringah. Air yang bercampur lumpur kini membasahi badannya. Sandi cuek. Ia masih fokus untuk menangkap salah satu ikan. Tapi belum berhasil.
Sudah empat jam Sandi tak lagi bertanya tentang gadget. Irmaningtyas senang. Dia pun melihat senyum yang tak biasa dari buah hatinya. Apalagi melihatnya berinteraksi dengan teman-teman baru, bermain bersama. Dan melihat anaknya yang berani untuk kotor. "Disuruh buang bekas tisu ke tempat sampah saja nggak mau. Katanya kotor," jelas Siska.
Dunia Anak adalah Tempat Bermain
Pandemi COVID-19 mengubah banyak kebiasaan bagi anak-anak. Mereka yang dulunya banyak berinteraksi dengan teman sebayanya, kini lebih banyak menghabiskan waktunya dengan gawai.
Di KLG, tak ada anak-anak yang memakai gawai. Mereka dikembalikan pada hakikat dunia anak yang penuh keceriaan dengan berbagai permainan yang menemani hari-harinya. Anak-anak terus bermain dan berlarian di bawah pohon pole yang menjulang tinggi.
Mereka ada yang bermain bentengan, gobak sodor, lompat tali, mendengarkan dongeng, dan ada yang memilih membaca buku di bawah pohon yang rindang. Suara mereka renyah, memecah siang yang terik menjadi hangat dalam riang dan gembira.
Irfandi menuturkan, anak-anak ketika pertama datang ke KLG harus dihilangkan dulu ketergantungan pada gawai. Dampak kegiatan dan permainan tradisional terhadap anak-anak bisa mengembalikan keceriaan mereka.
Anak-anak juga diajak untuk kembali mengenal kearifan lokal, membantu orang tua dan mengajak mereka untuk bisa mengenal kebudayaan keluarga dengan landasa tepo seliro dan saling membantu. "Racun-racun dari gawai harus dikeluarkan. Jadi mereka kalau kesini lupa gawai," imbuhnya.
Ia mulai bercerita, KLG mulai dibuka pada 2018. Posisinya dikelilingi persawahan yang masih membentang hijau dan habitat burung yang masih terjaga. KLG lahir dari kegelisahan melihat anak-anak terlalu sering bermain gawai.
Menurutnya, tumbuh kembang anak era sekarang kurang seimbang karena terlalu lekat dengan gadget. Padahal, di masa tumbuh kembang, anak-anak harus bermain dan berinteraksi dengan sebayanya.
"Jadi melawan kecanduan gadget itu dengan aktifitas bermain. Anak-anak harus dolanan dan membiarkan mereka bermain dengan beraneka macam permainan yang mereka sukai," katanya.
Kecanduan gawai, katanya, menjadi sebuah racun bagi anak. Mereka akan pusing dan terus berontak ketika tak diberikan kesempatan untuk memegang gawai. "Makanya racun itu harus dikeluarkan pada anak. Ada satu hari khusus yang mereka harus didetoks untuk menghilangkan kecanduan itu," imbuhnya.
Semua permainan yang ada di KLG merupakan jenis tradisional. Permainan lintas generasi yang tak lekang oleh zaman. Permainan itu, bagi generasi saat ini masih menjadi hal yang baru. Pasalnya, di beberapa kota besar permainan itu sudah tak lagi terlihat di perkampungan.
"Kami coba melatih anak-anak kerjasama dan tanggung jawab melalui permainan itu. Mental mereka harus dikembalikan, racun dari gawai harus dikeluarkan," jelasnya.
Permainan seperti menangkap angsa, gobak sodor, melempar batu, gapiak sampai adu gundu memberikan satu edukasi pada anak untuk melatih kerjasama. Permainan itu tentu nggak bisa diperoleh ketika mereka bermain game digital di gadget.
Menjaga Literasi Anak
"Lemparlah mimpi setinggi langit, kalau pun terjatuh, biar bersandar diantara bintang-bintang," perkataan Presiden Pertama Indonesia, Soekarno itu selalu menghiasi angkasa di Indonesia. Menjaga anak-anak dengan mimpinya harus dilakukan oleh semua orang tua. Karena anak-anak adalah estafet kepemimpinan di negera ini.
Membiarkan gadget sebagai guru bagi anak-anak akan membawa sebuah generasi yang lupa akan akar sejarahnya. Mereka harus bisa memperoleh literasi sejak dini, literasi anak yang diperoleh dari permainan yang mereka sukai. Di tengah arus digital, anak-anak tetap harus bisa diajak untuk kreatif dan merawat mimpinya.
Sosiolog Anak Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto menuturkan, ruang digital yang serba cepat menjadi pisau bermata dua bagi anak-anak. Arus yang tak bisa dibendung, namun bisa dikendalikan ketika sejak dini diberikan literasi yang baik pada anak.
"Bagaimana pun juga anak adalah peniru yang ulung. Mereka bisa dibentuk dan diajak untuk memahami kehidupan yang lebih baik dengan membentuk karakter mereka sejak dini," katanya.
Orang tua juga harus bisa memantau aktifitas digital anaknya. Sebab, mereka bisa terjebak dalam pengaruh digital yang lebih akut. Salah satunya melalui konten kekerasan dan pornografi.
"Anak-anak tetap harus bisa bermain. Tentu bukan lewat ponselnya, tapi juga aktifitas permainan yang dilakukan dengan teman sebayanya," jelasnya.
Kepala Perwakilan UNICEF Surabaya Ermi Ndoen mengatakan, anak-anak memiliki potensi yang besar ketika sejak dini sudah dikenalkan dengan dunia permainan yang disukai. Semua itu juga bisa merangsang sisi kreatifitas dan nalarnya untuk bisa terus berkembang.
"Literasi anak sejak dini sangat penting, karena banyak potensi anak yang bisa dikembangkan dalam usia emas mereka," jelasnya.
Langkah cadas yang dilakukan Irfandi dan teman-temannya di KLG mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Gerakan detoks pada kecanduan gawai bagi anak-anak itu pun mendapat apresiasi dari PT Astra International Tbk melalui penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2021.
Irfandi terpilih menjadi finalis di ajang tersebut dalam kategori penggerak koservasi budaya melalui KLG. Melalui program di KLG bisa semakin berkembang dan menginspirasi banyak orang, terutama untuk menyelamatkan anak-anak dari kecanduan gawai menjadi pekerjaan gotong royong yang bisa dilakukan bersama.
Jalan terjal Irfandi masih terus dilalui. Cara mengeluarkan racun gadget pada anak bisa menjadi ketenangan bagi orang tua untuk mengembalikan keceriaan anak-anak. Ruang bermain anak tak akan bisa dikalahkan oleh gawai, dan anak adalah pondasi masa depan negeri ini.
(eyt)