Gong Kiai Pradah Pusaka Panembahan Senopati Melawan Pajang Ini Penampakannya saat Dijamas
loading...
A
A
A
BLITAR - Ritual siraman pusaka gong Kiai Pradah setiap maulid Nabi Muhammad SAW di Alon-alon Lodoyo, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar berlangsung berbeda, Kamis (21/10/2021). Karena alasan pandemi COVID-19, pada tahun ini Pemkab tidak melaksanakan ritual jamasan di menara Alon-alon.
Pusaka gong Kiai Pradah atau Kiai Bicak merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Islam. Pada awal berdirinya Kerajaan Mataram Islam (1584), Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati pernah memakainya untuk siasat bertempur melawan pasukan Pajang.
Pertempuran antara Mataram dan Pajang berlangsung di wilayah Prambanan. Gema canang Kiai Bicak yang bertalu-talu, ditambah kobaran api yang berasal dari tumpukan kayu yang sengaja dibakar, serta Gunung Merapi yang kebetulan erupsi, membuat nyali prajurit Pajang ciut.
Raja Pajang Hadiwijaya atau Jaka Tingkir sontak menarik mundur pasukan. Dalam sejarahnya, Pangeran Prabu yang kemudian mewarisi pusaka gong Kiai Pradah. Pangeran Prabu merupakan adik tiri Pakubuwono I. Saat menjalani hukuman pengasingan di hutan Lodoyo Blitar, Pangeran Prabu membawa serta gong Kiai Pradah.
Pangeran Prabu dihukum buang karena ketahuan hendak mencelakai Pakubuwono I yang dinobatkan sebagai Raja Mataram. Setiap Pangeran Prabu memukul gong Kiai Pradah, konon harimau Lodoyo yang saat itu masih berupa hutan belantara pada berdatangan.
Di setiap bulan 1 Muharram atau Suro dan 12 Rabiul Awal atau Maulid Nabi, Pangeran Prabu selalu menggelar ritual jamasan gong Kiai Pradah. Pusaka dicuci dengan air kembang tujuh rupa. Tradisi itu berlangsung terus sampai kini. Di setiap acara jamasan Bupati Blitar selaku kepala daerah selalu hadir.
Sebab Bupati yang akan menabuh gong sebanyak tujuh kali. Setiap tabuhan selalu diikuti pertanyaan ke warga : apakah pusaka gong Kiai Pradah bagus atau jelek?. Warga yang menyaksikan akan serentak menjawab, bagus. Pada acara ritual kali ini Bupati Blitar Rini Syarifah berhalangan hadir, dan ini baru pertama kalinya.
Namun kali ini Bupati Blitar Rini Syarifah berhalangan hadir, dan digantikan Wakil Bupati Rahmat Santoso. "Bupati lagi di Jakarta mas, ada acara Apkasi," kata Wabup Blitar Rahmat Santoso Kamis (21/10/2021). Ritual siraman gong Kiai Pradah berlangsung di gedung sanggar penyimpanan pusaka.
Langkah pemkab tidak menggelar jamasan di atas menara Alon-alon Lodoyo untuk menghindari antusias warga. Pemkab juga membatasi jumlah pengunjung yang berburu berkah air bekas jamasan. Terutama mereka yang berusaha mendekat di gedung sanggar penyimpanan pusaka. "Karena situasi masih pandemi," terang Rahmat.
Dalam sejarah jamasan pusaka gong Kiai Pradah, Bupati Blitar selalu hadir. Bupati Rini tengah menghadiri acara Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) di Jakarta. Kegiatan itu tidak bisa diwakilkan. Karenanya Wabup Blitar Rahmat Santoso yang menggantikan seluruh peran Bupati di acara ritual jamasan.
Acara ritual jamasan juga dihadiri sejumlah forkopimda dan pimpinan DPRD. "Alhamdulillah pada kesempatan kali ini saya diberi kesempatan untuk ikut serta dalam jamasan atau siraman pusaka gong Kiai Pradah," kata Rahmat.
Lihat Juga: Kisah Sultan Amangkurat I Bangun Istana Mataram Bersamaan dengan Pemberontakan Pangeran Alit
Pusaka gong Kiai Pradah atau Kiai Bicak merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Islam. Pada awal berdirinya Kerajaan Mataram Islam (1584), Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati pernah memakainya untuk siasat bertempur melawan pasukan Pajang.
Pertempuran antara Mataram dan Pajang berlangsung di wilayah Prambanan. Gema canang Kiai Bicak yang bertalu-talu, ditambah kobaran api yang berasal dari tumpukan kayu yang sengaja dibakar, serta Gunung Merapi yang kebetulan erupsi, membuat nyali prajurit Pajang ciut.
Raja Pajang Hadiwijaya atau Jaka Tingkir sontak menarik mundur pasukan. Dalam sejarahnya, Pangeran Prabu yang kemudian mewarisi pusaka gong Kiai Pradah. Pangeran Prabu merupakan adik tiri Pakubuwono I. Saat menjalani hukuman pengasingan di hutan Lodoyo Blitar, Pangeran Prabu membawa serta gong Kiai Pradah.
Pangeran Prabu dihukum buang karena ketahuan hendak mencelakai Pakubuwono I yang dinobatkan sebagai Raja Mataram. Setiap Pangeran Prabu memukul gong Kiai Pradah, konon harimau Lodoyo yang saat itu masih berupa hutan belantara pada berdatangan.
Di setiap bulan 1 Muharram atau Suro dan 12 Rabiul Awal atau Maulid Nabi, Pangeran Prabu selalu menggelar ritual jamasan gong Kiai Pradah. Pusaka dicuci dengan air kembang tujuh rupa. Tradisi itu berlangsung terus sampai kini. Di setiap acara jamasan Bupati Blitar selaku kepala daerah selalu hadir.
Sebab Bupati yang akan menabuh gong sebanyak tujuh kali. Setiap tabuhan selalu diikuti pertanyaan ke warga : apakah pusaka gong Kiai Pradah bagus atau jelek?. Warga yang menyaksikan akan serentak menjawab, bagus. Pada acara ritual kali ini Bupati Blitar Rini Syarifah berhalangan hadir, dan ini baru pertama kalinya.
Namun kali ini Bupati Blitar Rini Syarifah berhalangan hadir, dan digantikan Wakil Bupati Rahmat Santoso. "Bupati lagi di Jakarta mas, ada acara Apkasi," kata Wabup Blitar Rahmat Santoso Kamis (21/10/2021). Ritual siraman gong Kiai Pradah berlangsung di gedung sanggar penyimpanan pusaka.
Langkah pemkab tidak menggelar jamasan di atas menara Alon-alon Lodoyo untuk menghindari antusias warga. Pemkab juga membatasi jumlah pengunjung yang berburu berkah air bekas jamasan. Terutama mereka yang berusaha mendekat di gedung sanggar penyimpanan pusaka. "Karena situasi masih pandemi," terang Rahmat.
Dalam sejarah jamasan pusaka gong Kiai Pradah, Bupati Blitar selalu hadir. Bupati Rini tengah menghadiri acara Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) di Jakarta. Kegiatan itu tidak bisa diwakilkan. Karenanya Wabup Blitar Rahmat Santoso yang menggantikan seluruh peran Bupati di acara ritual jamasan.
Acara ritual jamasan juga dihadiri sejumlah forkopimda dan pimpinan DPRD. "Alhamdulillah pada kesempatan kali ini saya diberi kesempatan untuk ikut serta dalam jamasan atau siraman pusaka gong Kiai Pradah," kata Rahmat.
Lihat Juga: Kisah Sultan Amangkurat I Bangun Istana Mataram Bersamaan dengan Pemberontakan Pangeran Alit
(shf)