Gagal Meracuni Sawunggaling, Belanda Murka dan Rakyat Surabaya Digilas
loading...
A
A
A
Sebelum semuanya tersadar sepenuhnya, Arya Suradireja langsung mengajak Sawunggaling meninggalkan lokasi. Sementara melihat dua perwiranya tewas, Kapitan Komisaris Pieter Speelman murka. Dipimpin Letnan Herman De Wilde, wakil Peiter Speelman, pengejaran langsung dilakukan. "Tidak tanggung-tanggung, 200 pasukan berkuda Kompeni tergabung dalam pengejar," tulis Fabricus Indri.
Sawunggaling dan Arya Suradireja berhasil keluar dari Kartasura. Di wilayah Sragen, mereka sengaja menerobos kawasan hutan. Di hutan itu Sawunggaling sempat berkontak dengan Gerombolan Gagak Mataram. Yakni sekelompok bandit sosial pimpinan Gagak Lodra yang pernah berhutang nyawa dengan Sawunggaling. Di hutan Sragen itu pasukan Kompeni yang berusaha menyusul, dihancurkan.
Kabar kematian dua petinggi Kompeni Belanda di Kartasura, menggemparkan dan dengan cepat tersebar hingga ke Batavia. Kabar tersebut sampai ke telinga Gubernur Jendral Belanda Hendrick Zwaardeckroon. Ultimatum langsung dikeluarkan: "Tangkap Adipati Sawunggaling hidup atau mati". Penyerangan ke Surabaya dipimpin Kapitan Komisaris Pieter Speelman sekaligus pengganti Hoogendorf.
Sebanyak 5.000 orang pasukan yang terdiri dari prajurit Eropa dan pribumi dikerahkan. Serangan dilakukan melalui perang darat dan laut. Sementara di Kadipaten Surabaya, Adipati Sawunggaling berusaha menyatukan kekuatan Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan). Pertempuran dahsyat tidak terelakkan. Pada tanggal 10 Februari 1723. Pasukan Sawunggaling berhasil memukul mundur Kompeni Belanda di Lamongan.
Kompeni yang terbiasa melakukan perang terbuka, dibuat kocar-kacir saat harus menghadapi serangan gerilya dari rumah ke rumah. Kapitan Pieter Speelman yang marah, turun langsung memimpin peperangan. Tiga kapal perang diberangkatkan untuk menggempur Surabaya dari arah laut. Perintahnya ke setiap pimpinan pasukan adalah tidak ada tawanan perang. Artinya semua termasuk Adipati Sawunggaling dihabisi.
Perang berlangsung sengit. Karena kalah jumlah pasukan serta persenjataan, laskar Sawunggaling terdesak. Saat itu awal Maret 1723. Kondisi yang ada diperparah dengan ditariknya bantuan pasukan dari orang-orang Bali yang sebelumnya berada di Pasuruan dan Probolinggo. Penarikan pasukan dikarenakan di Bali juga sedang terjadi peperangan. Sawunggaling bersama istri dan putranya, Arya Bagus Narendra yang masih berusia balita mengungsi ke dalam Benteng Providencia .
Kadipaten Surabaya dikosongkan. Agar tidak dipakai pasukan Kompeni Belanda. Saat meninggalkan kota, seluruh rumah-rumah yang ada lebih dulu dibakari. Termasuk kediaman Sawunggaling juga tidak luput dihanguskan. "Asap hitam mengepul di mana-mana. Surabaya menjadi karang abang (lautan api)," tulis Febricus Indri. Tanggal 8 Maret 1723. Pasukan Kompeni masuk Surabaya melalui Sidoarjo. Saat yang sama, pasukan Kompeni lain yang datang dari arah Kadipaten Gresik, dan Gunungsari juga masuk Surabaya.
Mereka merangsek ke arah benteng Providencia , tempat pertahanan terakhir Sawunggaling. Di dalam benteng masih ada 800 orang pejuang laskar Sawunggaling yang siap bertempur sampai titik darah penghabisan. Perang yang tidak seimbang tersebut berlangsung sengit. Pasukan Kompeni berhasil merangsek masuk sekaligus menewaskan Arya Suradireja. Dengan sisa pasukan yang ada, Sawunggaling terus melawan. Pistol di tangan kanannya tidak henti-henti menyalak.
Sawunggaling dan Arya Suradireja berhasil keluar dari Kartasura. Di wilayah Sragen, mereka sengaja menerobos kawasan hutan. Di hutan itu Sawunggaling sempat berkontak dengan Gerombolan Gagak Mataram. Yakni sekelompok bandit sosial pimpinan Gagak Lodra yang pernah berhutang nyawa dengan Sawunggaling. Di hutan Sragen itu pasukan Kompeni yang berusaha menyusul, dihancurkan.
Kabar kematian dua petinggi Kompeni Belanda di Kartasura, menggemparkan dan dengan cepat tersebar hingga ke Batavia. Kabar tersebut sampai ke telinga Gubernur Jendral Belanda Hendrick Zwaardeckroon. Ultimatum langsung dikeluarkan: "Tangkap Adipati Sawunggaling hidup atau mati". Penyerangan ke Surabaya dipimpin Kapitan Komisaris Pieter Speelman sekaligus pengganti Hoogendorf.
Sebanyak 5.000 orang pasukan yang terdiri dari prajurit Eropa dan pribumi dikerahkan. Serangan dilakukan melalui perang darat dan laut. Sementara di Kadipaten Surabaya, Adipati Sawunggaling berusaha menyatukan kekuatan Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan). Pertempuran dahsyat tidak terelakkan. Pada tanggal 10 Februari 1723. Pasukan Sawunggaling berhasil memukul mundur Kompeni Belanda di Lamongan.
Kompeni yang terbiasa melakukan perang terbuka, dibuat kocar-kacir saat harus menghadapi serangan gerilya dari rumah ke rumah. Kapitan Pieter Speelman yang marah, turun langsung memimpin peperangan. Tiga kapal perang diberangkatkan untuk menggempur Surabaya dari arah laut. Perintahnya ke setiap pimpinan pasukan adalah tidak ada tawanan perang. Artinya semua termasuk Adipati Sawunggaling dihabisi.
Perang berlangsung sengit. Karena kalah jumlah pasukan serta persenjataan, laskar Sawunggaling terdesak. Saat itu awal Maret 1723. Kondisi yang ada diperparah dengan ditariknya bantuan pasukan dari orang-orang Bali yang sebelumnya berada di Pasuruan dan Probolinggo. Penarikan pasukan dikarenakan di Bali juga sedang terjadi peperangan. Sawunggaling bersama istri dan putranya, Arya Bagus Narendra yang masih berusia balita mengungsi ke dalam Benteng Providencia .
Kadipaten Surabaya dikosongkan. Agar tidak dipakai pasukan Kompeni Belanda. Saat meninggalkan kota, seluruh rumah-rumah yang ada lebih dulu dibakari. Termasuk kediaman Sawunggaling juga tidak luput dihanguskan. "Asap hitam mengepul di mana-mana. Surabaya menjadi karang abang (lautan api)," tulis Febricus Indri. Tanggal 8 Maret 1723. Pasukan Kompeni masuk Surabaya melalui Sidoarjo. Saat yang sama, pasukan Kompeni lain yang datang dari arah Kadipaten Gresik, dan Gunungsari juga masuk Surabaya.
Mereka merangsek ke arah benteng Providencia , tempat pertahanan terakhir Sawunggaling. Di dalam benteng masih ada 800 orang pejuang laskar Sawunggaling yang siap bertempur sampai titik darah penghabisan. Perang yang tidak seimbang tersebut berlangsung sengit. Pasukan Kompeni berhasil merangsek masuk sekaligus menewaskan Arya Suradireja. Dengan sisa pasukan yang ada, Sawunggaling terus melawan. Pistol di tangan kanannya tidak henti-henti menyalak.