Sepenggal Kisah Perjuangan Gus Dur Merebut Hati Sinta Nuriyah

Jum'at, 16 Juli 2021 - 05:00 WIB
loading...
Sepenggal Kisah Perjuangan Gus Dur Merebut Hati Sinta Nuriyah
Gus Dur dan Sinta Nuriyah.Foto/ist
A A A
Tokoh bangsa, KH Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa Gus Dur, meninggal dunia pada 30 Desember 2009. Kepergian Presiden ke-4 RI itu menyisakan duka mendalam rakyat Indonesia. Di tangan Gus Dur, Indonesia menjadi negara menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan pluralisme.

Meski sudah genap satu dekade Gus Dur meninggal dunia, namun hingga kini, makam beliau yang ada di komplek Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, tiap tahun dikunjungi puluhan ribu peziarah. Mereka tidak hanya berasal dari Jawa Timur (Jatim), tapi dari seluruh penjuru tanah air.

Ada banyak kisah dan cerita dibalik sosok Gus Dur. Selain dikenal sebagai kiai dan pemimpin politik, Gus Dur juga dikenal suka mengeluarkan joke-joke segar. Hingga siapapun yang mendengarnya, akan tertawa terpingkal-pingkal. Namun begitu, terdapat secuil kisah percintaan Gus Dur dengan Sinta Nuriyah yang jarang diketahui orang.

Dalam Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2017), Greg Barton menulis, “Gus Dur sangat gemar menonton pertandingan sepakbola dan menonton film. Namun cucu dari pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU) itu tetaplah seorang penonton dan seorang pemuda kutu buku. Terlebih lagi, Gus Dur tinggal dalam suatu dunia keagamaan yang secara nyata tidak menyetujui pemuda untuk bercinta dalam usia muda.

Oleh karena itu, walaupun sudah berusia dua puluhan, Gus Dur belum pernah berkencan, apalagi mempunyai pacar. Boleh dikatakan, semangat pemberontakan yang ada dalam dirinya disalurkan lewat kedekatannya yang singkat dengan Islam radikal.

Di Jombang, Gus Dur mengalami suatu pertemuan yang jauh lebih penting daripada pertemuannya dengan karya-karya sastra pengarangpengarang terkenal yang dibacanya dengan penuh gairah. Sebagai remaja, dia belum pernah mengalami kisah cinta.

Hingga saat itu, perempuan-perempuan yang sempat digandrunginya hanyalah mereka yang menatapnya dari layar perak. Namun, ketika dia mulai mengajar di madrasah di Tambakberas pada awal tahun 1960an, dia mulai tertarik kepada seorang siswi yang bernama Nuriyah.

Gadis ini adalah salah satu dari gadis-gadis yang paling menarik di kelasnya. Dia cerdas dan berpikir bebas serta menarik perhatian sejumlah pemuda di lingkungan pesantren itu. Oleh karenanya, cukup mengherankan apabila ia bisa tertarik pada sang guru yang agak canggung, seorang kutu buku, agak gemuk, dan lagi pula mengenakan kacamata besar dan tebal.

Namun demikian, Nuriyah adalah produk masyarakat pesantren dan seorang gadis kelahiran Jombang. Karena itu, tidaklah mudah baginya untuk menolak putera KH Wahid Hasyim itu. Bagi Nuriyah, Gus Dur bukanlah sama sekali tanpa daya tarik. Gus Dur menarik perhatiannya karena keintelekan dan juga tujuan hidupnya yang kuat. Hingga pada akhirnya, pada bulan November 1963 Gus Dur berangkat ke Kairo, Mesir, karena mendapatkan beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas Al-Azhar.

Selama tahun-tahun yang dihabiskan di Kairo, Gus Dur, rutin terus berkorespondensi dengan Nuriyah. Surat-surat gadis ini, yang datangnya secara teratur, ditafsirkannya sebagai tanda bahwa dia tidak sepenuhnya ditolak. Nuriyah pandai berkorespondensi dan setelah lewat beberapa tahun hubungan mereka menjadi lebih dalam daripada sekadar persahabatan ketika mereka di Jombang. Kala itu, Nuriyah sering menolak pemberian buku dari Gus Dur.

Pada awalnya, hubungan Gus Dur dan Nuriyah tidak begitu mulus. Namun, hubungan itu menjadi lebih dalam karena korespondensi yang teratur itu. Menjelang tahun 1966 keduanya merasa yakin bahwa mereka adalah pasangan yang serasi. Atau, lebih tepatnya, Nuriyah menerima Gus Dur sebagai teman hidupnya.

Pada satu tahap, Nuriyah sempat pergi ke tukang ramal untuk mencari tahu apakah Gus Dur benar-benar pemuda yang tepat baginya ataukah dia harus mencari pemuda lain.? Tukang ramal itu memberikan jawaban jelas. “Jangan mencari-cari lagi. Yang sekarang ini akan menjadi teman hidup Anda.”

Jawaban ini malah mengganggu pikiran Nuriyah karena dia belum yakin betul apakah dia benar-benar mencintai Gus Dur. Untunglah surat-surat yang diterimanya dari pemuda ini mengubah keadaan. Demikian juga karena pengalaman dan permenungan yang lebih banyak, dia menjadi yakin mengenai apa yang sebenarnya dia cari.

Nuriyah adalah seorang gadis yang menarik dan lincah. Banyak pemuda tertarik pada dirinya. Dan, Gus Dur sebenarnya bukanlah pemuda yang paling tampan yang pernah dikenalnya, tetapi kepribadiannya yang halus dan pikirannya yang tajam. Sebagaimana terbaca dari surat-suratnya, semakin membuatnya disukai oleh Nuriyah.

Akhirnya, pada pertengahan tahun 1966 Gus Dur menulis surat kepada Nuriyah. Gus Dur bertanya apakah apakah siap menjadi istrinya. Mula-mula jawaban Nuriyah masih mengambang. Dia menjawab: “Mendapatkan teman hidup bagaikan hidup dan mati. Hanya Tuhan yang tahu.” Gus Dur tidak kecil hati dan tetap menulis surat kepadanya sambil menumpahkan kepada Nuriyah rasa putus asanya di Mesir dan apa yang telah dialaminya di negeri itu.

Bagi seorang yang jarang mau mengungkapkan rasa ragunya, apa lagi depresinya, apa yang secara jujur diungkapkan Gus Dur mengenai rasa khawatirnya itu merupakan suatu tindakan penting. Setelah menerima hasil ujian akhir pada pertengahan tahun 1966, Gus Dur, ia menulis surat lagi kepada Nuriyah dan menumpahkan segenap perasaan sedih karena kegagalannya.

Kali ini ada kabar baik. Nuriyah segera membalas dengan kata-kata yang menghiburnya: “Mengapa orang harus gagal dalam segala hal? Anda boleh gagal dalam studi, tetapi paling tidak Anda berhasil dalam kisah cinta”. Hingga akhirnya, Gus Dur dengan segera menulis surat kepada ibunya untuk meminang Nuriyah.
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 1.9073 seconds (0.1#10.140)