Pandangan Mantan Anggota Dewan Energi Nasional dalam Buku Pro Kontra PLTN
loading...
A
A
A
SURABAYA - Perdebatan mengenai Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir ( PLTN ) di Indonesia hingga saat ini masih terjadi. Pro dan kontra terhadap PLTN ini sudah ada sejak era Presiden Soeharto hingga Jokowi memimpin negeri ini.
Menurut anggota Dewan Energi Nasional (DEN) 2014-2019, Ir Dwi Hary Soeryadi, MMT, pro kontra tersebut karena banyak kepentingan di dalamnya. Peliknya perdebatan ini mencoba ditangkap Dwi Hary dengan memberikan pandangan obyektif yang dituangkan dalam buku Pro-Kontra PLTN”.
Buku ini diluncurkan di ajang webinar Renewable Energy: Indonesian Prospect and Alternatives Toward Clean Environment yang digelar Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin, Universitas Airlangga, Jumat (26/3/2021).
Baca juga: Mudik Lebaran Dilarang, Gubernur Jatim Khofifah Bilang Begini
Dwi Hary tidak memberikan pembenaran pada salah satu pihak baik yang pro maupun yang kontra. Mantan Direktur Tehnik PD Pasar Surya Surabaya ini menerangkan, kelompok pro PLTN mengatakan Indonesia harus segera bangun PLTN. "Sementara kelompok yang menyebut Indonesia tak perlu PLTN," ujar Dwi Hary.
Jebolan ITS ini menyajikan fakta-fakta dari pengamatan dan pengalaman selama menjabat di DEN. “Di bab 6 saya menyajikan pandangan yang pro PLTN dan di bab 7 tentang yang kontra. Saya tidak menyimpulkan mana yang benar dari kedua kubu itu. Semua punya kepentingan, tapi apakah kepentingan pribadi ataukah kepentingan orang banyak, silahkan pembaca yang bisa menilai,” jelasnya.
Menurutnya, di Undang-Undang (UU) 30/2007 tentang Energi, PP79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Perpres22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), mereka yang kontra PLTN, tetap kurang nyaman dengan istilah Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Mereka lebih cocok bila menyebutnya dengan istilah Energi Terbarukan (ET) karena di dunia internasional-pun tidak ada istilah new and renewable energy, yang ada hanya istilah renewable energy.
Sedangkan yang pro PLTN, tidak suka jika disebut PLTN ditempatkan sebagai pilihan terakhir, karena bagaimanapun PLTN adalah salah satu teknologi mutakhir yang harus dimanfaatkan. “Namun, dengan histori adanya beberapa kecelakaan besar meledaknya reaktor PLTN di beberapa negara di dunia, menggugah semua untuk mawas diri dan berhati-hati didalam memanfaatkannya, karena Indonesia ada pada zona ring of fire (daerah bencana),” ujar Dwi Hary.
Di samping itu dengan besarnya potensi sumber EBT di Indonesia yang sangat berlimpah, mulai dari air, matahari, panas bumi, angin, bio dan laut yang menurut data di Direktorat Jendral EBTKE Kementerian ESDM totalnya adalah sebesar 417,8 GW dan baru dimanfaatkan sebesar 2,5 persen. “Ini juga menjadikan pertimbangan yang tidak boleh dikesampingkan,” tukasnya.
Begitu juga sebaliknya, dengan perkembangan teknologi nuklir yang semakin mutakhir, telah hadir yang disebut dengan “Nuklir FUSI” yang tidak menghasilkan limbah radioaktif sehingga mengurangi risiko kecelakaan, membawa semakin dekatnya kepada teknologi yang sesuai dengan harapan semua masyarakat di seluruh dunia. Nuklir FUSI sangat berbeda karakter dengan Nuklir FISI yang saat ini dipakai oleh semua PLTN diseluruh dunia yang mempunyai risiko meledak atau bocor yang berdampak kecelakaan yang sangat fatal.
Di bab-bab akhir penulis juga menyajikan pengalaman nyatanya yang didapat di beberapa lokasi PLTN maupun energi lain di beberapa negara, serta diulas juga tentang kunjungannya ke semua reaktor nuklir yang dipunyai Indonesia saat ini, mulai dari reaktor yang ada di Bandung, Yogyakarta, maupun di Serpong untuk memberikan gambaran nyata bagi pembaca.
Bagi Dwi Hary, adanya pro dan kontra ini tidak menjadi suatu masalah. Justru adanya pro kontra bisa mencerdaskan dan bukan jamannya lagi memaksakan kehendak. Terlebih diselesaikan dengan cara-cara yang tidak elegan, dengan cara lobi-lobi atau semacamnya. Akan fatal akibatnya. Untuk itu sudah saatnya pemerintah memberi ruang kepada mereka bertemu mencari solusi bersama yang terbaik untuk masa depan energi negeri ini
Menurut anggota Dewan Energi Nasional (DEN) 2014-2019, Ir Dwi Hary Soeryadi, MMT, pro kontra tersebut karena banyak kepentingan di dalamnya. Peliknya perdebatan ini mencoba ditangkap Dwi Hary dengan memberikan pandangan obyektif yang dituangkan dalam buku Pro-Kontra PLTN”.
Buku ini diluncurkan di ajang webinar Renewable Energy: Indonesian Prospect and Alternatives Toward Clean Environment yang digelar Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin, Universitas Airlangga, Jumat (26/3/2021).
Baca juga: Mudik Lebaran Dilarang, Gubernur Jatim Khofifah Bilang Begini
Dwi Hary tidak memberikan pembenaran pada salah satu pihak baik yang pro maupun yang kontra. Mantan Direktur Tehnik PD Pasar Surya Surabaya ini menerangkan, kelompok pro PLTN mengatakan Indonesia harus segera bangun PLTN. "Sementara kelompok yang menyebut Indonesia tak perlu PLTN," ujar Dwi Hary.
Jebolan ITS ini menyajikan fakta-fakta dari pengamatan dan pengalaman selama menjabat di DEN. “Di bab 6 saya menyajikan pandangan yang pro PLTN dan di bab 7 tentang yang kontra. Saya tidak menyimpulkan mana yang benar dari kedua kubu itu. Semua punya kepentingan, tapi apakah kepentingan pribadi ataukah kepentingan orang banyak, silahkan pembaca yang bisa menilai,” jelasnya.
Menurutnya, di Undang-Undang (UU) 30/2007 tentang Energi, PP79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Perpres22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), mereka yang kontra PLTN, tetap kurang nyaman dengan istilah Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Mereka lebih cocok bila menyebutnya dengan istilah Energi Terbarukan (ET) karena di dunia internasional-pun tidak ada istilah new and renewable energy, yang ada hanya istilah renewable energy.
Sedangkan yang pro PLTN, tidak suka jika disebut PLTN ditempatkan sebagai pilihan terakhir, karena bagaimanapun PLTN adalah salah satu teknologi mutakhir yang harus dimanfaatkan. “Namun, dengan histori adanya beberapa kecelakaan besar meledaknya reaktor PLTN di beberapa negara di dunia, menggugah semua untuk mawas diri dan berhati-hati didalam memanfaatkannya, karena Indonesia ada pada zona ring of fire (daerah bencana),” ujar Dwi Hary.
Di samping itu dengan besarnya potensi sumber EBT di Indonesia yang sangat berlimpah, mulai dari air, matahari, panas bumi, angin, bio dan laut yang menurut data di Direktorat Jendral EBTKE Kementerian ESDM totalnya adalah sebesar 417,8 GW dan baru dimanfaatkan sebesar 2,5 persen. “Ini juga menjadikan pertimbangan yang tidak boleh dikesampingkan,” tukasnya.
Begitu juga sebaliknya, dengan perkembangan teknologi nuklir yang semakin mutakhir, telah hadir yang disebut dengan “Nuklir FUSI” yang tidak menghasilkan limbah radioaktif sehingga mengurangi risiko kecelakaan, membawa semakin dekatnya kepada teknologi yang sesuai dengan harapan semua masyarakat di seluruh dunia. Nuklir FUSI sangat berbeda karakter dengan Nuklir FISI yang saat ini dipakai oleh semua PLTN diseluruh dunia yang mempunyai risiko meledak atau bocor yang berdampak kecelakaan yang sangat fatal.
Di bab-bab akhir penulis juga menyajikan pengalaman nyatanya yang didapat di beberapa lokasi PLTN maupun energi lain di beberapa negara, serta diulas juga tentang kunjungannya ke semua reaktor nuklir yang dipunyai Indonesia saat ini, mulai dari reaktor yang ada di Bandung, Yogyakarta, maupun di Serpong untuk memberikan gambaran nyata bagi pembaca.
Bagi Dwi Hary, adanya pro dan kontra ini tidak menjadi suatu masalah. Justru adanya pro kontra bisa mencerdaskan dan bukan jamannya lagi memaksakan kehendak. Terlebih diselesaikan dengan cara-cara yang tidak elegan, dengan cara lobi-lobi atau semacamnya. Akan fatal akibatnya. Untuk itu sudah saatnya pemerintah memberi ruang kepada mereka bertemu mencari solusi bersama yang terbaik untuk masa depan energi negeri ini
(msd)