Kisah Profesor Sardjito dan Vaksin Temuannya
loading...
A
A
A
DI TENGAHpandemi virus corona jenis baru, Covid-19 seperti sekarang ini, kita sangat berharap sosok ilmuwan seperti Prof Dr Sardjito kembali muncul di Indonesia. Berkat dedikasinya yang tinggi di bidang kesehatan, dokter yang bergelar doktor itu menemukan obat untuk sejumlah penyakit yang mewabah di zamannya.
Ya, Sardjito yang dimaksud adalah Pahlawan Nasional yang juga Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) pertama (1950-1961). Namanya disematkan pada rumah sakit ternama di Yogyakarta, RSUP Dr Sardjito yang kini menjadi rujukan utama penanganan pasien Covid-19. Pendirian rumah sakit ini merupakan idenya yang diwujudkan pemerintah di tahun yang sama ketika Sardjito wafat pada 1970.
Dalam tulisan Rara Widuri (2015) berjudul Sebuah Biografi Intelektual 1923-1970, Sardjito lahir di Desa Purwodadi, Magetan, Jawa Timur pada 13 Agustus 1888. Namun sumber lain menyebutkan, putra dari seorang guru bernama Mohammad Sajid tersebut lahir pada tanggal sama 1889.
Sardjito cukup beruntung bisa mengenyam pendidikan formal di sekolah Belanda di Lumajang (1901-1907). Selepas itu, dia melanjutkan pendidikan di School tot Opleiding voor Indische Artsen (STOVIA) Jakarta, dan berhasil lulus pada 1915.
Lulus dari STOVIA, Sardjito kemudian diangkat menjadi dokter dinas kesehatan kota (Burgerlijke Geneeskundige Dienst) di Batavia. Dia kemudian bekerja di Pasteur Instituut. Waktu itu, kantor ini masih berada di Batavia, baru pindah ke Bandung pada 1923. Di lembaga ini, Sardjito melakukan riset pertamanya soal influenza selama setahun (1918-1919). Influenza saat itu merupakan salah satu penyakit mematikan dan momok menakutkan bagi masyarakat.
Sardjito menemukan jalan untuk melanjutkan pendidikan kedokteran di Universitas Amsterdam, Belanda. Pada 1920, dia naik kapal menuju Rotterdam. Berkat pengalaman melakukan penelitian saat bekerja di Pasteur Instituut, Sardjito mendapatkan gelar dokter hanya dalam waktu singkat, dari 1921 hingga 1922. Bahkan, Akhir Matua Harahap dalam Sejarah Yogyakarta (1): Dr. Sardjito, Ph.D, Dokter Bergelar Doktor; STOVIA, Boedi Oetomo, Leiden, Pasteur Instituut, UGM, menyebut Sardjito hanya butuh waktu satu semester untuk meraih gelar dokter.
Belum puas dengan ilmu yang dimiliki, Sardjito kemudian melanjutkan pendidikan tingkat doktoral di Universiteit Leiden dengan fokus perhatian terhadap penyakit-penyakit tropis. Dia berhasil meraih gelar doktor setelah mampu mempertahankan disertasinya berjudul Immunisatie tegen bacillaire dysenterie door middel van de baéteriophaag antidysénteria Shiga-Kruse pada 11 Juli 1923.
Sardjito juga mendapatkan kesempatan kuliah di Universitas John Hopkins, Amerika Serikat untuk belajar tentang Hygiene. Pada 1924 dia lulus dan meraih gelar Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat. Sebagai seorang dokter yang juga peneliti, Sardjito mempunyai penemuan-penemuan penting bagi masyarakat. Misalnya, calcusol, obat penyakit batu ginjal dan calterol, obat penurun kolesterol.
Menariknya, Sardjito tidak mengeksploitasi penemuannya untuk keuntungan pribadi. Dia bahkan menekankan obat tersebut tidak dijual mahal. "Tidak boleh menjual obat ini mahal-mahal. Obat ini untuk rakyat. Banyak rakyat yang menderita penyakit batu ginjal. Kasihan kalau mereka harus operasi," kata Sardjito sebagaimana dikutip dari catatan makalah Prof. Dr. A.M. Hendropriyono.
Selain dua obat itu, Sardjito juga menciptakan vaksin untuk berbagai penyakit seperti typus, kolera, disentri, staflokoken, dan Streptokoken.
Ya, Sardjito yang dimaksud adalah Pahlawan Nasional yang juga Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) pertama (1950-1961). Namanya disematkan pada rumah sakit ternama di Yogyakarta, RSUP Dr Sardjito yang kini menjadi rujukan utama penanganan pasien Covid-19. Pendirian rumah sakit ini merupakan idenya yang diwujudkan pemerintah di tahun yang sama ketika Sardjito wafat pada 1970.
Dalam tulisan Rara Widuri (2015) berjudul Sebuah Biografi Intelektual 1923-1970, Sardjito lahir di Desa Purwodadi, Magetan, Jawa Timur pada 13 Agustus 1888. Namun sumber lain menyebutkan, putra dari seorang guru bernama Mohammad Sajid tersebut lahir pada tanggal sama 1889.
Sardjito cukup beruntung bisa mengenyam pendidikan formal di sekolah Belanda di Lumajang (1901-1907). Selepas itu, dia melanjutkan pendidikan di School tot Opleiding voor Indische Artsen (STOVIA) Jakarta, dan berhasil lulus pada 1915.
Lulus dari STOVIA, Sardjito kemudian diangkat menjadi dokter dinas kesehatan kota (Burgerlijke Geneeskundige Dienst) di Batavia. Dia kemudian bekerja di Pasteur Instituut. Waktu itu, kantor ini masih berada di Batavia, baru pindah ke Bandung pada 1923. Di lembaga ini, Sardjito melakukan riset pertamanya soal influenza selama setahun (1918-1919). Influenza saat itu merupakan salah satu penyakit mematikan dan momok menakutkan bagi masyarakat.
Sardjito menemukan jalan untuk melanjutkan pendidikan kedokteran di Universitas Amsterdam, Belanda. Pada 1920, dia naik kapal menuju Rotterdam. Berkat pengalaman melakukan penelitian saat bekerja di Pasteur Instituut, Sardjito mendapatkan gelar dokter hanya dalam waktu singkat, dari 1921 hingga 1922. Bahkan, Akhir Matua Harahap dalam Sejarah Yogyakarta (1): Dr. Sardjito, Ph.D, Dokter Bergelar Doktor; STOVIA, Boedi Oetomo, Leiden, Pasteur Instituut, UGM, menyebut Sardjito hanya butuh waktu satu semester untuk meraih gelar dokter.
Belum puas dengan ilmu yang dimiliki, Sardjito kemudian melanjutkan pendidikan tingkat doktoral di Universiteit Leiden dengan fokus perhatian terhadap penyakit-penyakit tropis. Dia berhasil meraih gelar doktor setelah mampu mempertahankan disertasinya berjudul Immunisatie tegen bacillaire dysenterie door middel van de baéteriophaag antidysénteria Shiga-Kruse pada 11 Juli 1923.
Sardjito juga mendapatkan kesempatan kuliah di Universitas John Hopkins, Amerika Serikat untuk belajar tentang Hygiene. Pada 1924 dia lulus dan meraih gelar Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat. Sebagai seorang dokter yang juga peneliti, Sardjito mempunyai penemuan-penemuan penting bagi masyarakat. Misalnya, calcusol, obat penyakit batu ginjal dan calterol, obat penurun kolesterol.
Menariknya, Sardjito tidak mengeksploitasi penemuannya untuk keuntungan pribadi. Dia bahkan menekankan obat tersebut tidak dijual mahal. "Tidak boleh menjual obat ini mahal-mahal. Obat ini untuk rakyat. Banyak rakyat yang menderita penyakit batu ginjal. Kasihan kalau mereka harus operasi," kata Sardjito sebagaimana dikutip dari catatan makalah Prof. Dr. A.M. Hendropriyono.
Selain dua obat itu, Sardjito juga menciptakan vaksin untuk berbagai penyakit seperti typus, kolera, disentri, staflokoken, dan Streptokoken.