KH Anwar Musaddad, Ulama Besar yang Kerap Merepotkan Pasukan Belanda
loading...
A
A
A
Melalui dakwah, Musaddad pun mulai memobilisasi guru, ulama, pandu, pedagang, hingga petani dalam upayanya membangun semangat perjuangan untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Para pemuda pun kemudian dikumpulkan untuk mendapatkan pelatihan militer hingga akhirnya terbentuk sebuah pasukan yang dinamai Hizbullah.
Kala Jepang bertekuk lutut kepada tentara sekutu menjelang proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Musaddad langsung menunjukkan perannya sebagai pejuang ulung dengan strategi berperang yang telah dikuasainya.
Hal itu dia lakukan menyusul informasi bahwa Belanda akan kembali menjajah Indonesia dengan menumpang pasukan sekutu. Kembalinya pasukan Belanda diketahui menjadi pemicu pertempuran di Surabaya, 10 November 1945 yang akhirnya diperingati sebagai Hari Pahlawan dan pembumihangusan Bandung yang dikenal dengan peristiwa Bandung Lautan Api, 23 Maret 1946.
Meski sempat dirawat di rumah sakit pascaterjatuh dari sepeda motor saat proklamasi dikumandangkan, pasca pulih, Musaddad langsung terlibat pertempuran dengan pasukan Belanda yang hendak kembali menjajah Indonesia kala itu. Bersama KH Mustofa Kamil dan KH Yusuf Tauziri, ulama besar lainnya di Garut, Musaddad memberikan perlawanan sengit dalam pertempuran di Garut.
Dengan dukungan sekitar 200 pemuda terlatih yang tergabung dalam pasukan Hizbullah, pertempuran demi pertempuran berhasil dimenangkan, seperti saat melawan Gurkha, pasukan tentara Inggris yang diisi orang-orang dari India.
Pasukan Hizbullah menerapkan strategi berperang sporadis yang kerap merepotkan pasukan Belanda dan sekutunya itu. Kisah heroik pasukan Hizbullah pun akhirnya terdengar ke seantero negeri hingga sampai di telinga Bung Tomo, pemimpin pergerakan Arek-arek Suroboyo.
Bahkan, Bung Tomo pun mengagumi aksi heroik tersebut hingga dirinya mengajak pasukan Hizbullah untuk bergabung melawan pasukan Belanda di Surabaya. Keinginan Bung Tomo pun akhirnya dikabulkan, dipimpin KH Mustofa Kamil, satu peleton barisan Hizbullah berangkat ke Surabaya dan bertempur hingga KH Mustofa Kamil gugur dalam pertempuran tersebut.
Musaddad dan KH Yusuf Tauziri sendiri akhirnya ditangkap pasukan Belanda pada 1948 dan mendekam di penjara. Keduanya baru dibebaskan setelah pengakuan kedaulatan kemerdekaan RI pada 1950 hingga keduanya kembali ke Pesantren Cipari di Garut sebagai markas perjuangan barunya.
Perjuangan KH Anwar Musaddad bukan hanya dihadapkan pada bangsa penjajah Belanda, melainkan juga dari bangsa sendiri. Musaddad berkali-kali diajak bergabung dengan Tentara Islam Indonesia yang dikenal dengan nama DI/TII pimpinan Kartosoewiryo, namun ajakan bergabung itu ditolaknya mentah-mentah.
Dalam bukunya Biografi Prof KH Anwar Musaddad, sejarawan Nina Herlina menyebut, Musaddad menegaskan pada Kartosoewirjo bahwa mengelola negara di dalam negara adalah sesuatu yang mustahil. Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baginya sudah menjadi harga mati.
Kala Jepang bertekuk lutut kepada tentara sekutu menjelang proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Musaddad langsung menunjukkan perannya sebagai pejuang ulung dengan strategi berperang yang telah dikuasainya.
Hal itu dia lakukan menyusul informasi bahwa Belanda akan kembali menjajah Indonesia dengan menumpang pasukan sekutu. Kembalinya pasukan Belanda diketahui menjadi pemicu pertempuran di Surabaya, 10 November 1945 yang akhirnya diperingati sebagai Hari Pahlawan dan pembumihangusan Bandung yang dikenal dengan peristiwa Bandung Lautan Api, 23 Maret 1946.
Meski sempat dirawat di rumah sakit pascaterjatuh dari sepeda motor saat proklamasi dikumandangkan, pasca pulih, Musaddad langsung terlibat pertempuran dengan pasukan Belanda yang hendak kembali menjajah Indonesia kala itu. Bersama KH Mustofa Kamil dan KH Yusuf Tauziri, ulama besar lainnya di Garut, Musaddad memberikan perlawanan sengit dalam pertempuran di Garut.
Dengan dukungan sekitar 200 pemuda terlatih yang tergabung dalam pasukan Hizbullah, pertempuran demi pertempuran berhasil dimenangkan, seperti saat melawan Gurkha, pasukan tentara Inggris yang diisi orang-orang dari India.
Pasukan Hizbullah menerapkan strategi berperang sporadis yang kerap merepotkan pasukan Belanda dan sekutunya itu. Kisah heroik pasukan Hizbullah pun akhirnya terdengar ke seantero negeri hingga sampai di telinga Bung Tomo, pemimpin pergerakan Arek-arek Suroboyo.
Bahkan, Bung Tomo pun mengagumi aksi heroik tersebut hingga dirinya mengajak pasukan Hizbullah untuk bergabung melawan pasukan Belanda di Surabaya. Keinginan Bung Tomo pun akhirnya dikabulkan, dipimpin KH Mustofa Kamil, satu peleton barisan Hizbullah berangkat ke Surabaya dan bertempur hingga KH Mustofa Kamil gugur dalam pertempuran tersebut.
Musaddad dan KH Yusuf Tauziri sendiri akhirnya ditangkap pasukan Belanda pada 1948 dan mendekam di penjara. Keduanya baru dibebaskan setelah pengakuan kedaulatan kemerdekaan RI pada 1950 hingga keduanya kembali ke Pesantren Cipari di Garut sebagai markas perjuangan barunya.
Perjuangan KH Anwar Musaddad bukan hanya dihadapkan pada bangsa penjajah Belanda, melainkan juga dari bangsa sendiri. Musaddad berkali-kali diajak bergabung dengan Tentara Islam Indonesia yang dikenal dengan nama DI/TII pimpinan Kartosoewiryo, namun ajakan bergabung itu ditolaknya mentah-mentah.
Dalam bukunya Biografi Prof KH Anwar Musaddad, sejarawan Nina Herlina menyebut, Musaddad menegaskan pada Kartosoewirjo bahwa mengelola negara di dalam negara adalah sesuatu yang mustahil. Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baginya sudah menjadi harga mati.