KH Anwar Musaddad, Ulama Besar yang Kerap Merepotkan Pasukan Belanda

Sabtu, 21 November 2020 - 05:00 WIB
loading...
KH Anwar Musaddad, Ulama Besar yang Kerap Merepotkan Pasukan Belanda
Kegigihannya melawan pasukan Belanda pada perang tahun 1945-1949 menjadikan KH Anwar Musaddad sosok pejuang yang disegani di kawasan Garut dan sekitarnya. Foto/Ist
A A A
Kegigihannya melawan pasukan Belanda saat revolusi kemerdekaan pecah di Indonesia antara 1945-1949 menjadikan KH Anwar Musaddad sosok pejuang yang disegani di kawasan Garut , Jawa Barat dan sekitarnya.

Dengan bidang ilmu agama yang mumpuni ditambah keahliannya dalam bidang militer, Musaddad sukses membuat pasukan Belanda kerepotan ketika mereka mengingkari janjinya untuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia (RI). (Baca juga: Laskar Hizbullah dan Sejarah Perang di Kota Pahlawan)

Sebelum menjelma menjadi ulama besar dan pejuang ulung, Musaddad kecil sudah menunjukkan karakternya yang cerdas dan kritis. Musaddad disebut memiliki garis keturunan bangsawan dari dua kerajaan besar. (Baca juga: Tiga Pahlawan Nasional Asal Kepulauan Riau Berkharisma Ini Berjuang Angkat Senjata dan Pena)
KH Anwar Musaddad, Ulama Besar yang Kerap Merepotkan Pasukan Belanda

Ayahnya, Abdul Awwal bin Haji Abdul Kadir merupakan keturunan Sunan Gunung Djati yang membuatnya terhubung dengan Kerajaan Pajajaran dan Cirebon. Sedangkan ibunya, Marfuah binti Kasriyo adalah keturunan Pangeran Diponegoro yang terhubung dengan keluarga kesultanan Mataram Islam.

Terlahir di Garut, 22 Rabiul Awal 1328 Hijriah atau 3 April 1910, Musaddad sudah menjadi anak yatim di usia empat tahun. Selanjutnya, dia dibesarkan oleh ibu dan neneknya yang saat itu mengelola usaha batik dan dodol Garut bermerek "Kuraetin".

Musaddad kecil mulai menapaki jenjang pendidikannya di Hollandsh-Inlandsche School (HIS) Negeri. Lulus HIS pada tahun 1922, Musaddad melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Christelijk di Sukabumi hingga melanjutkan sekolah menengah atas di Algamene Middlebare School (AMS) di Batavia (Jakarta).

Ditempa pendidikan di sekolah Belanda, yang notabene merupakan yayasan misionaris, khususnya saat di bangku sekolah menengah atas, Musaddad banyak mendapatkan informasi dengan mempelajari kitab Injil dan kristologi hingga membuat sang Ibu mengkhawatirkan akidahnya.

Setamat AMS di Batavia, Musaddad sempat menimba ilmu di Pesantren Darussalam Wanaraja, Garut selama dua tahun. Karena keinginan sang Ibu agar anaknya memperdalam ilmu agama Islam, Musaddad pun akhirnya menimba ilmu ke Mekkah selama 11 tahun di Madrasah Al-Falah.

Di Mekkah, dia menuntut ilmu kepada para ulama terkenal Makkah masa itu, di antaranya Sayyid Alwi al Maliki, Syekh Umar Hamdan, Sayyid Amin Qubti, Syekh Janan Toyyib (Mufgi Tanah Haram asal Minang), Syekh Abdul Muqoddasi (Mufti Tanah Haram asal Solo) hingga akhirnya kembali pulang ke Tanah Air saat berakhirnya penjajahan Belanda.

Berbekal ilmu agama Islam yang mumpuni ditambah pengalamannya menimba ilmu di sekolah-sekolah Belanda, Musaddad kecil yang tumbuh dewasa kemudian menjadi sosok ulama yang toleran dan modern.

Yies Sa'diyah dalam bukunya, Biografi Prof KH Anwar Musaddad menyebutkan bahwa saat berusia 32 tahun, Musaddad menerima pendidikan militer dalam program kemiliteran yang digagas Pemerintah Jepang. Program tersebut sengaja digelar untuk melatih warga pribumi dalam upaya mengantisipasi kedatangan pasukan sekutu.

Alih-alih untuk kepentingan Pemerintah Jepang, Musaddad malah memanfaatkan ilmu kemiliteran, termasuk strategi berperang yang diperolehnya itu untuk membangkitkan semangat perlawanan terhadap perjuangan melawan pendudukan Jepang.

Melalui dakwah, Musaddad pun mulai memobilisasi guru, ulama, pandu, pedagang, hingga petani dalam upayanya membangun semangat perjuangan untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Para pemuda pun kemudian dikumpulkan untuk mendapatkan pelatihan militer hingga akhirnya terbentuk sebuah pasukan yang dinamai Hizbullah.

Kala Jepang bertekuk lutut kepada tentara sekutu menjelang proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Musaddad langsung menunjukkan perannya sebagai pejuang ulung dengan strategi berperang yang telah dikuasainya.

Hal itu dia lakukan menyusul informasi bahwa Belanda akan kembali menjajah Indonesia dengan menumpang pasukan sekutu. Kembalinya pasukan Belanda diketahui menjadi pemicu pertempuran di Surabaya, 10 November 1945 yang akhirnya diperingati sebagai Hari Pahlawan dan pembumihangusan Bandung yang dikenal dengan peristiwa Bandung Lautan Api, 23 Maret 1946.

Meski sempat dirawat di rumah sakit pascaterjatuh dari sepeda motor saat proklamasi dikumandangkan, pasca pulih, Musaddad langsung terlibat pertempuran dengan pasukan Belanda yang hendak kembali menjajah Indonesia kala itu. Bersama KH Mustofa Kamil dan KH Yusuf Tauziri, ulama besar lainnya di Garut, Musaddad memberikan perlawanan sengit dalam pertempuran di Garut.

Dengan dukungan sekitar 200 pemuda terlatih yang tergabung dalam pasukan Hizbullah, pertempuran demi pertempuran berhasil dimenangkan, seperti saat melawan Gurkha, pasukan tentara Inggris yang diisi orang-orang dari India.

Pasukan Hizbullah menerapkan strategi berperang sporadis yang kerap merepotkan pasukan Belanda dan sekutunya itu. Kisah heroik pasukan Hizbullah pun akhirnya terdengar ke seantero negeri hingga sampai di telinga Bung Tomo, pemimpin pergerakan Arek-arek Suroboyo.

Bahkan, Bung Tomo pun mengagumi aksi heroik tersebut hingga dirinya mengajak pasukan Hizbullah untuk bergabung melawan pasukan Belanda di Surabaya. Keinginan Bung Tomo pun akhirnya dikabulkan, dipimpin KH Mustofa Kamil, satu peleton barisan Hizbullah berangkat ke Surabaya dan bertempur hingga KH Mustofa Kamil gugur dalam pertempuran tersebut.

Musaddad dan KH Yusuf Tauziri sendiri akhirnya ditangkap pasukan Belanda pada 1948 dan mendekam di penjara. Keduanya baru dibebaskan setelah pengakuan kedaulatan kemerdekaan RI pada 1950 hingga keduanya kembali ke Pesantren Cipari di Garut sebagai markas perjuangan barunya.

Perjuangan KH Anwar Musaddad bukan hanya dihadapkan pada bangsa penjajah Belanda, melainkan juga dari bangsa sendiri. Musaddad berkali-kali diajak bergabung dengan Tentara Islam Indonesia yang dikenal dengan nama DI/TII pimpinan Kartosoewiryo, namun ajakan bergabung itu ditolaknya mentah-mentah.

Dalam bukunya Biografi Prof KH Anwar Musaddad, sejarawan Nina Herlina menyebut, Musaddad menegaskan pada Kartosoewirjo bahwa mengelola negara di dalam negara adalah sesuatu yang mustahil. Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baginya sudah menjadi harga mati.

Di awal masa kemerdekaan atau tiga tahun setelah lepas dari penjara tepatnya tahun 1953, Musaddad mendapat tugas dari Menteri Agama KH Fakih Usman untuk mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) di Yogyakarta yang menjadi cikal-bakal Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan kini berkembang menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).

Dia diangkat menjadi guru besar dalam bidang Ushuluddin di IAIN Yogyakarta dan menjadi fakultas tersebut pada tahun 1962-1967. Kemudian, di tahun 1967, dia ditugaskan merintis IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dan kemudian menjadi rektor pertamanya hingga tahun 1974.

Di bidang politik, Anwar Musaddad menjadi anggota parlemen (DPR) dari Partai Nahdlatul Ulama (NU) hasil pemilihan umum tahun 1955. Menjadi anggota DPR-GR 1960-1971. Dalam kiprahnya di NU, Musaddad pernah menjadi Wakil Rais ‘Am PBNU pada Muktamar NU di Semarang pada 1980.

Sejak tahun 1976, KH Anwar Musaddad tinggal di Garut dengan mendirikan Pesantren Al-Musaddadiyah yang mengelola pendidikan tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Kiai yang terkenal sebagai ahli perbandingan agama, khususnya kristologi ini wafat pada tahun 2000 dalam usia 91 tahun.

Pemprov Jawa Barat sendiri telah mengusulkan KH Anwar Musaddad sebagai pahlawan nasional dari kalangan pesantren. Pengusulan itu dituangkan dalam sebuah kegiatan seminar yang digelar secara daring, Rabu (22/4/2020) lalu.

Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum mengatakan bahwa pengusulan kedua tokoh sebagai pahlawan nasional tersebut merupakan bentuk pengakuan dan apresiasi pemerintah terhadap jasa dan karya keduanya.

"Para ulama punya peranan penting dalam pembangunan manusia. Mereka bisa membangkitkan semangat para pejuang di masa perjuangan dahulu. Wajar kalau para kiai, para ulama, diberikan penghargaan, yaitu label pahlawan nasional," katanya. agung bakti sarasa

Sumber:
- Wikipedia
- ww.nu.or.id
- diolah dari berbagai sumber
(shf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1594 seconds (0.1#10.140)