4 Organisasi Desak Pemerintah Usut Tuntas Kasus ABK WNI Tewas di Kapal China
loading...
A
A
A
“Belum adanya aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah hingga saat ini terkait dengan tata laksana perekrutan dan penempatan ABK sebagai turunan dari UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, semakin menambah kerentanan dan berlanjutnya eksploitasi terhadap ABK Indonesia,” tutur Hariyanto.
“Ketidakjelasan aturan di dalam negeri juga akan melemahkan posisi dan diplomasi Indonesia di tingkat internasional, apalagi jika sejumlah instrumen internasional kunci seperti Konvensi ILO 188 belum diratifikasi,” tandas dia.
Sedangkan, Ketua Pelaut Dalam Negeri PPI Nur Rahman mengungkapkan, Pemerintah Indonesia perlu memastikan hak-hak ABK Indonesia dan keluarganya yang menjadi korban eksploitasi harus segera dipenuhi.
“Pemerintah harus memastikan perannya tidak hanya berhenti sampai pada proses pemulangan, tetapi hingga seluruh hak-hak ABK dan keluarganya, seperti gaji dan santunan asuransi terpenuhi,” tutur Nur.
Sementara itu, Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara Arifsyah Nasution mengatakan, sudah sepatutnya diplomasi dan investigasi proaktif secara internasional dilakukan terhadap kasus yang menimpa 18 ABK Indonesia ini serta kasus-kasus lain agar peristiwa serupa tidak berulang di masa mendatang.
“Pemerintah Indonesia harus mendesak negara bendera kapal dalam hal ini China untuk turut bertanggung jawab mengungkap rangkaian dugaan praktik perikanan ilegal dan bentuk-bentuk perbudakan modern yang selama ini sering dialami oleh ABK Indonesia dan juga kerap melibatkan kapal-kapal ikan berbendera China,” ungkap Arifsyah.
Berdasarkan keprihatinan bersama yang mendalam atas kejadian tragis yang dialami oleh 18 ABK Indonesia, SPPI, SBMI, PPI, dan Greenpeace Indonesia menyatakan seruan kepada Pemerintah Indonesia:
1. Segera memastikan pemenuhan hak-hak 18 ABK Indonesia dan keluarganya.
2. Segera proaktif untuk mengusut tuntas penyebab hilangnya nyawa 4 ABK Indonesia yang diduga mengalami perlakuan dan kondisi kerja buruk di sejumlah kapal berbendera Tiongkok milik perusahaan Dalian Ocean Fishing Co Ltd yang juga diduga melakukan kegiatan perikanan ilegal dan bentuk-bentuk praktik kerja paksa dan perbudakan modern di laut.
3. Segera ratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan [3] dan menuntaskan ego sektoral lintas kementerian/lembaga yang menyebabkan penetapan aturan pelaksana terkait perekrutan dan penempatan ABK hingga saat ini mengalami keterlambatan.
“Ketidakjelasan aturan di dalam negeri juga akan melemahkan posisi dan diplomasi Indonesia di tingkat internasional, apalagi jika sejumlah instrumen internasional kunci seperti Konvensi ILO 188 belum diratifikasi,” tandas dia.
Sedangkan, Ketua Pelaut Dalam Negeri PPI Nur Rahman mengungkapkan, Pemerintah Indonesia perlu memastikan hak-hak ABK Indonesia dan keluarganya yang menjadi korban eksploitasi harus segera dipenuhi.
“Pemerintah harus memastikan perannya tidak hanya berhenti sampai pada proses pemulangan, tetapi hingga seluruh hak-hak ABK dan keluarganya, seperti gaji dan santunan asuransi terpenuhi,” tutur Nur.
Sementara itu, Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara Arifsyah Nasution mengatakan, sudah sepatutnya diplomasi dan investigasi proaktif secara internasional dilakukan terhadap kasus yang menimpa 18 ABK Indonesia ini serta kasus-kasus lain agar peristiwa serupa tidak berulang di masa mendatang.
“Pemerintah Indonesia harus mendesak negara bendera kapal dalam hal ini China untuk turut bertanggung jawab mengungkap rangkaian dugaan praktik perikanan ilegal dan bentuk-bentuk perbudakan modern yang selama ini sering dialami oleh ABK Indonesia dan juga kerap melibatkan kapal-kapal ikan berbendera China,” ungkap Arifsyah.
Berdasarkan keprihatinan bersama yang mendalam atas kejadian tragis yang dialami oleh 18 ABK Indonesia, SPPI, SBMI, PPI, dan Greenpeace Indonesia menyatakan seruan kepada Pemerintah Indonesia:
1. Segera memastikan pemenuhan hak-hak 18 ABK Indonesia dan keluarganya.
2. Segera proaktif untuk mengusut tuntas penyebab hilangnya nyawa 4 ABK Indonesia yang diduga mengalami perlakuan dan kondisi kerja buruk di sejumlah kapal berbendera Tiongkok milik perusahaan Dalian Ocean Fishing Co Ltd yang juga diduga melakukan kegiatan perikanan ilegal dan bentuk-bentuk praktik kerja paksa dan perbudakan modern di laut.
3. Segera ratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan [3] dan menuntaskan ego sektoral lintas kementerian/lembaga yang menyebabkan penetapan aturan pelaksana terkait perekrutan dan penempatan ABK hingga saat ini mengalami keterlambatan.