Kisah Pemberangusan Prajurit Rakyat di Kalimantan Utara

Jum'at, 16 Oktober 2020 - 05:00 WIB
loading...
A A A
Dari fakta-fakta sejarah tersebut, Paraku/PGRS tampak menjadi pahlawan bagi Indonesia selama era konfrontasi.

Namun sayang, pergantian kepemimpinan nasional dari Sukarno ke Soeharto dan situasi politik saat itu, lantas mengubah segalanya, hingga menjadi “Perang guru dan murid” pasca peristiwa G30/SPKI.

Tendensi politik anti-komunis serta keinginan untuk berdamai dengan Malaysia-Inggris, akhirnya menempatkan Paraku/PGRS sebagai musuh pemerintah Indonesia dan TNI.

Kehadiran gerakan PGRS/Paraku yang memiliki dasar ideologi komunis, dianggap sebagai ancaman sosial politik terhadap eksistensi suatu Negara.

Kisah Pemberangusan Prajurit Rakyat di Kalimantan Utara


AM Hendropriyono, eks prajurit Para Komando tahun 1969-1972 di belantara Kalimantan Barat-Sarawak, mengungkapkan, “Kita ini (TNI) melatih Tentara Nasional Kalimantan Utara & PGRS di Surabaya, Bogor, dan Bandung. Akhirnya, setelah pergantian pemerintah, Presiden Soeharto memutuskan berdamai dengan Malaysia dan gerilyawan tersebut diminta meletakkan senjata. Karena PGRS tidak menyerah, terpaksa kita sebagai guru harus menghadapi murid dengan bertempur di hutan rimba Kalimantan.”

TNI akhirnya bersekutu dengan militer Malaysia dan Inggris dalam menumpas Paraku-PGRS (yang ketika itu berkekuatan ± 1 batalyon), dan memberikan julukan baru bagi Paraku-PGRS, yaitu Gerombolan Tjina Komunis (GTK). Sementara pihak Malaysia yang sudah berdamai dengan Indonesia, turut memberi label Communist Terrorist (CT) pada mereka.

Karena putusnya jalur logistik, ditambah dengan mengungsinya ribuan orang Tionghoa, menyebabkan lumpuhnya sirkulasi perdagangan di daerah pedalaman Kalimantan.

Pihak PGRS/Paraku yang dipimpin Bong Kee Chok (menyerah 1973) dan Wen Ming Chyuan (menyerah 1990) yang keadaannya semakin terjepit pun berangsur-angsur menyerah dan menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah Malaysia dan Indonesia.

Gerakan pembasmian PGRS/Paraku oleh Indonesia dimulai sejak 1967. Gerakan ini kemudian menyebar luas di masyarakat lokal Dayak.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2082 seconds (0.1#10.140)