Kisah Pemberangusan Prajurit Rakyat di Kalimantan Utara

Jum'at, 16 Oktober 2020 - 05:00 WIB
loading...
Kisah Pemberangusan Prajurit Rakyat di Kalimantan Utara
Tentara Indonesia melatih seorang warga menggunakan senapan untuk membantu penumpasan PGRS/Paraku. Foto/Situs Ind
A A A
KALIMANTAN UTARA - Kasus pemberangusan Paraku/PGRS (Pasukan Rakyat Kalimantan Utara/Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak) di era 60-an, didokumentasikan sebagai salah satu pelanggaran HAM di Indonesia .

Beberapa pihak menengarai dalam peristiwa ini juga terjadi pembersihan etnis terhadap warga Tionghoa di pedalaman Kalimantan.

Dalam buku Tandjoengpoera Berdjoeng, 1977, disebutkan setidaknya ada 27.000 orang mati dibunuh, 101.700 warga mengungsi, dan 43.425 orang di antaranya direlokasi ke Pontianak.

Awal pembentukannya, PGRS/Paraku yang keanggotaannya didominasi etnis Tionghoa Kalimantan pada 1962-1964, bahu-membahu bersama TNI dan sukarelawan Indonesia melawan pasukan Malaysia cs, saat konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Paraku/PGRS sendiri merupakan sayap bersenjata di bawah naungan NKCP (North Kalimantan Communist Party), sebuah partai politik komunis yang berlokasi di Sarawak, Malaysia.

NKCP dibentuk pada 19 September 1971 di bawah pimpinan Wen Min Chyuan dari sebuah organisasi bernama Organisasi Komunis Sarawak.

Ia pernah menjadi anggota partai Sarawak United People's Party pada 1960-1964. Keanggotaan NKCP didominasi oleh etnis China.

Terbentuknya Paraku-PGRS terkait dengan peristiwa konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia dari tahun 1963 hingga 1966. Pemerintah Indonesia menolak pembentukan Federasi Malaysia yang didukung penuh Inggris.

Kisah Pemberangusan Prajurit Rakyat di Kalimantan Utara

Para pentolan Paraku

Wilayah Kalimantan Utara yang juga merupakan koloni Inggris, seperti halnya Semenanjung Malaya, dimasukkan ke dalam teritori Federasi Malaysia oleh para penggagasnya tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan seluruh rakyat Kalimantan Utara.

Penolakan penduduk, khususnya warga Tionghoa, didasari oleh kecemasan akan adanya dominasi warga Melayu Semenanjung Malaya terhadap rakyat Kalimantan Utara.

Pada 2 Desember 1963, Soebandrio, Wakil Menteri Pertama atau Menteri Luar Negeri Indonesia, dan atas nama Koperdasan (Komando Pertahanan Daerah Perbatasan), datang ke Kalimantan Barat dalam rangka kampanye konfrontasi anti Malaysia.

Soebandrio pula yang memperkenalkan Syekh AM Azahari, pemimpin Partai Rakyat Brunei, partai terbesar di Brunei, kepada khalayak di Kalimantan.

Diketahui, Azahari yang memproklamirkan berdirinya Negara Nasional Kalimantan Utara (NNKU) yang meliputi Serawak, Brunei, dan Sabah pada 8 Desember 1962.

Selanjutnya, Azahari bersama kelompok Yap Chung Ho (Sarawak), dan Soebandrio (Indonesia) mengadakan pertemuan di Sintang dan muncul gagasan untuk membentuk suatu pasukan bersenjata.

Pertemuan kedua di Bogor dihadiri Soebandrio, Njoto, Soeroto, Perdana Menteri NNKU Azahari, dan kelompok Yap Chung Ho dari SUPP (Sarawak United People Party).

Dalam pertemuan itu, diputuskan membentuk pasukan bersenjata yang berkedudukan di perbatasan Kalimantan Barat (Asuangsang di sebelah Utara Sambas).

Soebandrio dengan BPI (Badan Pusat Intelijen) Indonesia membantu melatih sepuluh orang anak buah Yap Chung Ho selama sebulan di Bogor, kemudian dibawa ke Asuangsang untuk melatih 60 orang pasukan lagi.

Dengan basis pasukan ini, dibentuk cikal bakal Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) sebagai bagian dari Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU). (Baca juga: Misteri Kampung Kolam dan Mandor Sukmo Ilang Lenyap di Perkebunan Tebu Tanah Deli)

Menurut Lie Sau Fat atau XF Asali, budayawan Tionghoa Kalimantan Barat dan saksi sejarah, ketika peristiwa Dwikora, banyak sukarelawan yang tergabung di Paraku membantu perang dengan Malaysia.

Mereka terdiri dari para pelarian dari Sarawak, yang umumnya etnis Tionghoa dan partisipan komunis, juga sukarelawan dari Singkawang, Bengkayang, dan berbagai wilayah di Indonesia yang terdiri atas berbagai etnis seperti Melayu, Dayak, dan Tionghoa.

Kodam Tanjungpura pada Mei dan Juni 1964 bahkan sempat memberikan latihan militer pada 28 orang sukarelawan dari SUPP (Sarawak United People Party) yang lari ke Kalimantan Barat dan juga para sukarelawan yang dikirim dari Jakarta. Latihan militer tersebut dilakukan di Dodiktif 18 – Tandjungpura, Bengkayang.

Letnan Kolonel Harsono Subardi, mantan Biro Intel POM Kodam XII Tanjungpura, mengungkapkan, “Saat itu, kita melatih PGRS/Paraku untuk dipergunakan membantu memerdekakan Malaysia. Mereka dilatih oleh RPKAD di Bengkayang.”

Jumlah pasukan PGRS ada sekitar 800 orang yang berbasis di Batu Hitam, Kalimantan Barat, bersama dengan 120 pasukan dari Indonesia dan sedikit kader yang dilatih di RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Partai Komunis Indonesia (PKI) terbukti memiliki keterlibatan dan dipimpin oleh Syarif Ahmad Sofyan Al Barakbah, seorang etnis Arab yang revolusioner.

PGRS beberapa kali melakukan perampokan di Serawak, tetapi lebih banyak lagi berusaha meningkatkan pendukung mereka dari wilayah tersebut. Militer Indonesia tidak menyukai kecondongan PGRS ke sayap kiri sehingga secara umum menghindari mereka.

Paraku/PGRS bahu-membahu bersama TNI dan sukarelawan Indonesia menghadapi pasukan Malaysia yang dibantu balatentara Gurkha, Inggris, dan Australia sepanjang masa konfrontasi.

Wilayah perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Kalimantan Utara menjadi garis depan pertempuran.

Seorang peneliti Tionghoa, Benny Subianto, mengungkapkan kehebatan gerilyawan Paraku-PGRS ketika melawan pasukan Gurkha Inggris.

Kedua pasukan itu hampir berhasil menghancurkan garnisun 1/2 British Gurkha Rifles dalam sebuah serangan terhadap distrik Long Jawi pada 28 September 1963.

Buku A Face Like A Chicken Backside-An Unconventional Soldier in Malaya and Borneo 1948-1971 karya JP Cross mencatat kehebatan serangan relawan Indonesia serta Paraku/PGRS yang menewaskan beberapa prajurit Gurkha dan anggota Border Scout.

Dari fakta-fakta sejarah tersebut, Paraku/PGRS tampak menjadi pahlawan bagi Indonesia selama era konfrontasi.

Namun sayang, pergantian kepemimpinan nasional dari Sukarno ke Soeharto dan situasi politik saat itu, lantas mengubah segalanya, hingga menjadi “Perang guru dan murid” pasca peristiwa G30/SPKI.

Tendensi politik anti-komunis serta keinginan untuk berdamai dengan Malaysia-Inggris, akhirnya menempatkan Paraku/PGRS sebagai musuh pemerintah Indonesia dan TNI.

Kehadiran gerakan PGRS/Paraku yang memiliki dasar ideologi komunis, dianggap sebagai ancaman sosial politik terhadap eksistensi suatu Negara.

Kisah Pemberangusan Prajurit Rakyat di Kalimantan Utara


AM Hendropriyono, eks prajurit Para Komando tahun 1969-1972 di belantara Kalimantan Barat-Sarawak, mengungkapkan, “Kita ini (TNI) melatih Tentara Nasional Kalimantan Utara & PGRS di Surabaya, Bogor, dan Bandung. Akhirnya, setelah pergantian pemerintah, Presiden Soeharto memutuskan berdamai dengan Malaysia dan gerilyawan tersebut diminta meletakkan senjata. Karena PGRS tidak menyerah, terpaksa kita sebagai guru harus menghadapi murid dengan bertempur di hutan rimba Kalimantan.”

TNI akhirnya bersekutu dengan militer Malaysia dan Inggris dalam menumpas Paraku-PGRS (yang ketika itu berkekuatan ± 1 batalyon), dan memberikan julukan baru bagi Paraku-PGRS, yaitu Gerombolan Tjina Komunis (GTK). Sementara pihak Malaysia yang sudah berdamai dengan Indonesia, turut memberi label Communist Terrorist (CT) pada mereka.

Karena putusnya jalur logistik, ditambah dengan mengungsinya ribuan orang Tionghoa, menyebabkan lumpuhnya sirkulasi perdagangan di daerah pedalaman Kalimantan.

Pihak PGRS/Paraku yang dipimpin Bong Kee Chok (menyerah 1973) dan Wen Ming Chyuan (menyerah 1990) yang keadaannya semakin terjepit pun berangsur-angsur menyerah dan menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah Malaysia dan Indonesia.

Gerakan pembasmian PGRS/Paraku oleh Indonesia dimulai sejak 1967. Gerakan ini kemudian menyebar luas di masyarakat lokal Dayak.

Apalagi setelah didapati seorang Temenggung Dayak Iban, tewas dibunuh hingga upacara ‘mangkok merah’ diadakan. (Baca juga: Ki Ageng Wonokusumo, Tokoh Islam Ditakuti Belanda, Adzan di Bukit Terdengar Keseluruh Penjuru)

Dinamai mangkok merah, karena mangkok yang digunakan berwarna merah darah, dan upacara dilakukan sebagai pertanda seluruh masyarakat adat Dayak bersiap untuk perang.

Gerakan ini dengan cepat berubah menjadi sentimen rasial, dengan mengidentikkan etnis Tionghoa Kalimantan sebagai anggota PGRS/Paraku, dan turut menjadi korban dalam gerakan pembersihan. Akibat situasi ini, setidaknya ada 27.000 orang mati dibunuh, 101.700 warga mengungsi, dan 43.425 orang di antaranya direlokasi ke Pontianak.
(boy)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1229 seconds (0.1#10.140)