Kisah Gayatri Rajapatni, Perempuan Bijaksana Dibalik Penyusunan Kitab Hukum Majapahit
loading...
A
A
A
Gayatri Rajapatni, istri Raden Wijaya konon terlibat dalam persoalan penting di internal Kerajaan Majapahit. Istri pendiri Kerajaan Majapahit Raden Wijaya itu memang masih berstatuskan dewan penasehat kerajaan setingkat dewan pertimbangan presiden alias Watimpres.
Konon beberapa kali diskusi antara Raja Majapahit, Mahapatih Gajah Mada, dan Gayatri cukup intens terjadi. Bahkan Gayatri pernah memanggil secara khusus Gajah Mada usai pidato pelantikan menjadi Mahapatih Majapahit menuai kontroversi akibat ucapan Sumpah Palapa-nya.
Di momen lain, pembahasan antara Gajah Mada dengan Gayatri juga berkutat pada permasalahan internal di istana hingga persoalan sosial di rakyat Majapahit kala itu. Salah satu isu yang penting konon berkaitan pengaturan hukum bagi pejabat dan rakyat Majapahit sendiri.
Usulan menciptakan tata hukum bersama menggantikan peraturan dan sanksi tradisional ini terungkap dari "”Gayatri Rajapatni: Perempuan Dibalik Kejayaan Majapahit”, tulisan Earl Drake.
Di pembicaraan antara Gajah Mada dan Gayatri itu beranggapan aturan agama dan sanksi hukuman yang ada dinilai membingungkan dan saling tumpang tindih, yang diterapkan secara gegabah di banyak keraton yang berbeda.
Gajah Mada menyambut gembira usulan ini, setelah diangkat Mahapatih, ia bekerja keras bersama sekelompok pakar guna menyusun Kutara Manawa Sastra, yang sekaligus mencakupi peraturan pidana dan perdata karena memang keduanya saling berdekatan.
Kombinasi dua tata hukum itu meliputi 270 paragraf, tentang sejumlah topik, delapan jenis kejahatan pembunuhan dan delapan dengan pencurian, kekerasan, kebohongan, dan fitnah. Berikutnya penganiayaan terhadap orang lain, perbudakan, pegadaian, dan penyimpanan uang.
Sementara bab utang, jual - beli, perkawinan, dan perceraian, hasutan, dan kepemilikan tanah, juga tak lepas yang diatur dalam hukum Kerajaan Majapahit. Seluruh hakim sipil dan agama diwajibkan, untuk menguasai hukum ini sebelum memimpin persidangan.
Konon beberapa kali diskusi antara Raja Majapahit, Mahapatih Gajah Mada, dan Gayatri cukup intens terjadi. Bahkan Gayatri pernah memanggil secara khusus Gajah Mada usai pidato pelantikan menjadi Mahapatih Majapahit menuai kontroversi akibat ucapan Sumpah Palapa-nya.
Di momen lain, pembahasan antara Gajah Mada dengan Gayatri juga berkutat pada permasalahan internal di istana hingga persoalan sosial di rakyat Majapahit kala itu. Salah satu isu yang penting konon berkaitan pengaturan hukum bagi pejabat dan rakyat Majapahit sendiri.
Usulan menciptakan tata hukum bersama menggantikan peraturan dan sanksi tradisional ini terungkap dari "”Gayatri Rajapatni: Perempuan Dibalik Kejayaan Majapahit”, tulisan Earl Drake.
Di pembicaraan antara Gajah Mada dan Gayatri itu beranggapan aturan agama dan sanksi hukuman yang ada dinilai membingungkan dan saling tumpang tindih, yang diterapkan secara gegabah di banyak keraton yang berbeda.
Gajah Mada menyambut gembira usulan ini, setelah diangkat Mahapatih, ia bekerja keras bersama sekelompok pakar guna menyusun Kutara Manawa Sastra, yang sekaligus mencakupi peraturan pidana dan perdata karena memang keduanya saling berdekatan.
Kombinasi dua tata hukum itu meliputi 270 paragraf, tentang sejumlah topik, delapan jenis kejahatan pembunuhan dan delapan dengan pencurian, kekerasan, kebohongan, dan fitnah. Berikutnya penganiayaan terhadap orang lain, perbudakan, pegadaian, dan penyimpanan uang.
Sementara bab utang, jual - beli, perkawinan, dan perceraian, hasutan, dan kepemilikan tanah, juga tak lepas yang diatur dalam hukum Kerajaan Majapahit. Seluruh hakim sipil dan agama diwajibkan, untuk menguasai hukum ini sebelum memimpin persidangan.