Kisah Raden Patah Adopsi Hukum Kerajaan Majapahit Aturan Penggal Kepala Pencuri
loading...
A
A
A
Kerajaan Demak berdiri seiring dengan runtuhnya kekuasaan Majapahit. Raden Patah merupakan putra Prabu Brawijaya, raja terakhir Majapahit yang menikahi seorang perempuan Cina.
Ibu Raden Patah merupakan selir Prabu Brawijaya yang dibuang ke Palembang karena dicemburui permaisuri asal Campa.
Sementara meski sebagai undang-undang baru di Demak, aturan atau pasal-pasal dalam Angger Surya Ngalam yang dianggap bernafas syariat Islam itu ternyata banyak dipengaruhi undang-undang Majapahit.
Sebagian besar aturan di dalam Angger Surya Ngalam tidak jauh berbeda dengan undang-undang hukum Kutara Manawa Dharmasasthra, yakni undang-undang pada masa Kerajaan Majapahit.
Kutara Manawa Dharmasasthra memuat 19 bagian yang intinya berkaitan dengan masalah hukum publik. Di antaranya Astadusta yang mengatur delapan jenis tindakan membunuh dan melukai orang dengan hukuman mulai denda sampai mati.
Kemudian Kawula, Astacorah, Sahasa, Adol Tinuku, Sanda, Ahutang apihutang, Titipan, Tukon, Kawarangan, Paradara, Drewe Kaliliran, Wakparusya, Dandaparusya, Kagelehan, Atukaran, Bhumi dan Duwilatek yang menyangkut hukuman memfitnah mulai hukuman badan, denda, hingga mati.
“Cukup banyak pasal-pasal dalam Angger Surya Ngalam yang sejatinya berasal dari pasal-pasal kitab undang-undang hukum Kutara Manawa Dharmasasthra yang diberlakukan pada zaman Majapahit”.
Di bawah kekuasaan Raden Patah yang bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, Kerajaan Demak Bintara berkembang pesat.
Ibu Raden Patah merupakan selir Prabu Brawijaya yang dibuang ke Palembang karena dicemburui permaisuri asal Campa.
Sementara meski sebagai undang-undang baru di Demak, aturan atau pasal-pasal dalam Angger Surya Ngalam yang dianggap bernafas syariat Islam itu ternyata banyak dipengaruhi undang-undang Majapahit.
Baca Juga
Sebagian besar aturan di dalam Angger Surya Ngalam tidak jauh berbeda dengan undang-undang hukum Kutara Manawa Dharmasasthra, yakni undang-undang pada masa Kerajaan Majapahit.
Kutara Manawa Dharmasasthra memuat 19 bagian yang intinya berkaitan dengan masalah hukum publik. Di antaranya Astadusta yang mengatur delapan jenis tindakan membunuh dan melukai orang dengan hukuman mulai denda sampai mati.
Kemudian Kawula, Astacorah, Sahasa, Adol Tinuku, Sanda, Ahutang apihutang, Titipan, Tukon, Kawarangan, Paradara, Drewe Kaliliran, Wakparusya, Dandaparusya, Kagelehan, Atukaran, Bhumi dan Duwilatek yang menyangkut hukuman memfitnah mulai hukuman badan, denda, hingga mati.
“Cukup banyak pasal-pasal dalam Angger Surya Ngalam yang sejatinya berasal dari pasal-pasal kitab undang-undang hukum Kutara Manawa Dharmasasthra yang diberlakukan pada zaman Majapahit”.
Di bawah kekuasaan Raden Patah yang bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, Kerajaan Demak Bintara berkembang pesat.