Peran Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno 1965-1967

Senin, 12 Oktober 2015 - 05:05 WIB
Peran Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno 1965-1967
Peran Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno 1965-1967
A A A
DISKUSI mengenai Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu)* yang diikuti dengan pembunuhan massal terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan berakhir dengan tumbangnya Soekarno dari kursi kepresidenan, tidak lengkap tanpa menyinggung peran Amerika Serikat (AS).

Demikian Cerita Pagi akan mengulas secara singkat, sejauh mana peran AS dalam peristiwa yang masih diselimuti kabut misteri hingga saat ini itu.

Jika ditarik mundur ke belakang, peristiwa penggulingan Soekarno dari kursi kekuasaan pada tahun 1965-1967 merupakan kelanjutan dari kejadian-kejadian yang terjadi sebelumnya. Hal ini berarti bahwa, peristiwa 1965-1967 tidak bisa dilihat secara terpisah apalagi berdiri sendiri.

Sebelum masuk kepada inti pembahasan, ada baiknya melihat sejarah masuknya hegemoni AS di Indonesia. Untuk mengungkap sejarah hegemoni AS, ada baiknya dikemukakan sedikit tulisan peneliti University of Maryland Bradley R Simpson.

Dalam penelitiannya itu, pengajar dan peneliti dari University of Maryland ini mengatakan, hegemoni AS di Indonesia dimulai tahun 1950-1964, sejak dikucurkannya dana segar bagi Indonesia yang jumlahnya mencapai USD20 juta.

Bantuan itu dikucurkan oleh dua lembaga kemanusiaan Ford Foundation dan Rockefeller Foundation untuk membiayai berbagai riset ilmu di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, dan bantuan teknis yang diselenggarakan di AS dan Indonesia.

Kedua lembaga ini juga mendanai berbagai kegiatan lainnya, seperti pertukaran pendidikan bagi para teknisi, ahli ekonomi, guru, ahli agraria, personel militer dan insinyur dalam pembangunan jangka panjang Indonesia.

Duta Besar AS untuk Indonesia tahun 1958-1965 Howard Jones menyebut bantuan pendidikan dan penelitian untuk Indonesia itu sebagai, "Perjuangan jangka panjang untuk otak Indonesia."

Selain kedua lembaga yang telah disebutkan, kucuran dana segar juga datang dari Komisi Penasehat Riset Ilmu Sosial tentang Perbandingan Politik (Social Science Research Councils Committee on Comparative Politics) AS. Melalui lembaga ini, AS mendanai berbagai kajian politik dan ekonomi tentang Indonesia.

Beberapa tahun setelah program bantuan itu dijalankan, rencana AS untuk mendorong terjadinya krisis di berbagai daerah membuahkan hasil. Pada 1957-1958, terjadi pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA).

Pemberontakan itu dilakukan oleh partai-partai sayap kanan yang mendapat dukungan dan bantuan dana dari AS, seperti Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Berbagai bantuan itu terungkap dalam dokumen rahasia Dewan Keamanan Nasional (National Security Council atau NSC) AS yang telah dibuka. Dalam dokumen itu disebutkan, Masyumi dan PSI telah mendapatkan bantuan jutaan dolar dari AS dan CIA.

Selain mendapat kucuran dana, para pemberontak juga mendapatkan bantuan senjata dan personel tambahan dari CIA. Operasi tertutup AS ini terbongkar setelah pesawat Amerika ditembak jatuh dan pilotnya J Popper tertangkap.

Belakangan diketahui bahwa J Popper merupakan agen CIA yang ditugaskan untuk membunuh Soekarno. Rencana pembunuhan Soekarno oleh agen CIA ini diungkap pada tahun 1957 oleh sebuah Komisi Pilihan Senat AS.

Mantan Diplomat Kanada Peter Dale Scott mengatakan, hubungan AS dengan sejumlah politikus sayap kanan dan perwira AD sejak PRRI/PERMESTA terus terjalin hingga tahun 1965-1967. Bahkan, makin bertambah kuat. Sejak peristiwa itu, AS mengucurkan dananya USD20 juta setahun untuk AD dan membina kelompok sipil dalam melawan PKI.

Rahasia ini terungkap dalam nota Kepala Staf Gabungan AS tahun 1958. Nota itu mengatakan, bantuan itu diberikan kepada AD sebagai dorongan kepada salah seorang perwira AD yakni Nasution untuk mengendalikan PKI/komunisme di Indonesia.

Nasution merupakan tentara yang sangat dikenal oleh AS, karena jasanya dalam menumpas PKI, di Madiun tahun 1948. Dalam peristiwa Madiun, ratusan anggota dan simpatisan PKI ditangkap dan dibunuh secara keji.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelum terjadinya pemberontakan PRRI/PERMESTA, sejak terjadinya peristiwa itu AS dan CIA makin agresif. Mereka tidak segan tampil secara terbuka dan terang-terangan, baik melalui sejumlah jurnal ilmiah dan pers, menyerukan kepada AD dan kelompok sipil untuk segera mengambil kekuasaan dari tangan Soekarno dan menghabisi PKI.

Hal ini tampak dari tulisan peneliti dan akademisi Universitas California-Barkeley Guy Pauker pada tahun 1958. Dalam bukunya Rand Corp, Pauker mendesak AD untuk, "melaksanaan suatu misi", "menyerang", dan "menyapu bersih rumahnya". Kata-kata itu sering digunakan militer kepada para mahasiswa Islam, pada awal Oktober 1965, agar melakukan pembunuhan.

Selain Nasution, salah seorang perwira AD yang menyambut seruan Pauker adalah Jenderal Soewarto. Dengan bantuan langsung Pentagon, CIA, Rand Corporation dan Yayasan Ford, Soewarto mendirikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD).

Dalam sebuah dokumen, Pauker mengatakan, bahwa SESKOAD telah mengembangkan doktrin perang teritorial yang sesuai dengan program civic mission, civic action, dan organisasi teritorial.

Atas usulan Pauker itulah, pada tahun 1962, Departemen Luar Negeri AS menempatkan Kelompok Penasehat Latihan Militer AS (Military Training Assistancy Group atau MILTAG) di Jakarta, khusus untuk membantu penerapan "civic mission" atau "civic action" atau "organisasi teritorial" yang mendukung doktrin perang teritorial AD.

Selain doktrin perang teritorial, SESKOAD juga membekali tentara dengan ilmu ekonomi dan administrasi pemerintahan, sebagai persiapan untuk menyelenggarakan pemerintahan atau negara yang terlepas dari pemerintahan sipil Soekarno.

Program latihan ini dimentori oleh para perwira AD dan sipil dari PSI. Di antara perwira AD yang aktif dan menonjol dalam SESKOAD adalah Soeharto yang kemudian menjadi Presiden Indonesia kedua menggantikan Soekarno.

Saat itu, Soeharto baru saja dipecat dari kedudukannya sebagai Panglima AD di Jawa Tengah, karena diduga terlibat korupsi. Namun, ternyata pemecatan itu tidak pernah diumumkan kepada masyarakat, karena operasi penyelundupannya di Pelabuhan Semarang tidak cukup berat untuk dilakukan penuntutan.

Tuduhan korupsi terhadap Soeharto akhirnya dipetieskan, dan dia dikirim ke SESKOAD, pada tahun 1959. Di sekolah ini, dia dibina langsung oleh Soewarto. Dari Soewarto inilah, Soeharto berkenalan secara langsung AS dan CIA dan mulai menyusun kembali karirnya militernya yang sempat tersandung kasus korupsi tersebut.

Sejarawan militer Indonesia Ulf Sundhaussen mengatakan, saat berada di SESKOAD Soeharto sangat mendalami doktrin perang teritorial dan civic mission yang dibawa oleh AS dan CIA.

Bintang Soeharto mulai bersinar saat Ahmad Yani dan stafnya merekrut Soeharto sebagai agen rahasia dalam menggembosi kampanye anti-Malaysia Soekarno. Pada awalnya, para jenderal AD ini tidak menolak rencana Soekarno mengonfrontasi Malaysia sejak September 1963. Tetapi belakangan, ketika pertempuran kecil menghebat pada 1964, mereka mulai berubah pikiran.

Salah satu alasan berubahnya pikiran para jenderal kanan dalam AD menolak kebijakan konfrontasi Soekarno adalah masalah dana. Namun begitu, para jenderal ini tidak ingin berkonfrontasi langsung dengan Soekarno dan PKI.

Politik yang dimainkan AD saat itu adalah muka dua, yakni mendukung konfrontasi Malaysia dan menolaknya sekaligus. Dengan perlahan tetapi pasti, mereka juga memengaruhi Soekarno untuk memberi nama baru komando multifungsi ini menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga), pada September 1964, dan memintanya agar memasukkan Soeharto sebagai Wakil Panglima Kolaga.

Usul AD untuk memasukkan Soeharto sebagai Wakil Panglima Kolaga disetujui pada 1 Januari 1965. Dengan mulai pulihnya kekuasaan Soeharto dalam AD, bersama agen-agennya di Kostrad dia menyabot konfrontasi dengan Malaysia.

Soeharto mulai menghubungi wakil-wakil Malaysia dan Inggris secara diam-diam dan menyakinkan mereka, bahwa AD telah berubah haluan menentang pertempuran-pertempuran kecil dengan pasukan Malaysia dan Inggris dan akan membatasi diri.

Untuk memuluskan rencananya, Soeharto meminta bantuan perwira intelijennya di Kostrad, yakni Ali Moertopo dan orang-orang sipil yang pernah terlibat dalam peristiwa PRRI/PERMESTA dan hidup dalam pengasingan di Singapura dan Malaysia, agar kembali ke Indonesia dan turut menghentikan konfrontasi dengan Malaysia.

Soeharto juga meminta sahabatnya Kolonel Yoga Sugama dari Belgrado untuk kembali ke Indonesia dan menggantikan Ali Moertopo dalam memimpin operasi menghentikan konfrontasi dengan Malaysia, dan mengirim perwira Kostrad Benny Moerdani ke Bangkok untuk menghubungi para pejabat yang pro-Barat di sana dengan menyamar sebagai manajer penjualan Garuda.

Dalam analisanya, kelompok Soeharto berpendapat bahwa konfrontasi dengan Malaysia merugikan AD, karena akan menjauhkan misi AD yang didukung AS dan CIA dalam kampanye melawan PKI. Hal ini tertuang dalam laporan rahasia intelijen Kostrad, pada tahun 1964 yang menyatakan, konfrontasi mengacaukan upaya AD untuk mengendalikan PKI.

Setelah konfrontasi Malaysia bisa diselesaikan, AS dan CIA melihat kemampuan Soeharto dalam mengatasi "keadaan" dapat diandalkan dalam misi menggulingkan Soekarno dari kekuasaan dan menghancurkan PKI.

Ketika kondisi kesehatan Seokarno memburuk akibat ginjalnya yang harus dioperasi, kelompok Soeharto dari Kostrad mulai menghembuskan provokasi tentang ancaman PKI yang akan mengambil alih kekuasaan dan sangat membahayakan AD.

Menurut analisa CIA yang telah diterbitkan tentang G30S, sejak Januari 1965, Kelompok Pemikir Jenderal AD yang terdiri dari Jenderal Suprapto, Jenderal Harjono, Jenderal Parman, dan Jenderal Sukendro sering membuat pertemuan rutin dan rahasia untuk merundingkan situasi terburuk yang akan terjadi dan tugas AD. Pimpinan kelompok ini adalah A Yani.

Kelompok rahasia Yani ini bocor ke telinga Soekarno dan Yani dipanggil ke Istana Negara untuk dimintai keterangan, pada 22 Mei 1965. Kepada Soekarno, Yani memaparkan apa yang didengarnya sebagai Dewan Jenderal.

Menurut Yani, banyak orang telah salah kaprah dalam menyebut Dewan Jenderal yang sebenarnya adalah dewan kenaikan pangkat di kalangan perwira tinggi AD, Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti).

Namun, Duta Besar AD Howard Jones menyebut bahwa diskusi Kelompok Yani yang dilangsungan antara tahun 1965 adalah untuk menyusun rencana khusus mengambil alih pemerintahan pada saat Soekarno turun panggung. Hal ini dilaporkan informan AS yang ikut dalam rapat dengan Jenderal Parman yang merupakan anggota dari kelompok rahasia Yani.

Untuk memastikan informasi yang didengarnya dan mengetahui sejauh mana kebenaran hubungan Indonesia-AS, pada April 1965, Diplomat AS Ellsworth Bunker diutus Pentagon ke Jakarta. Dalam pandangan Bunker yang menyeluruh, dilaporkan bahwa sangat sulit untuk menghadapi Soekarno secara terbuka dan terang-terangan, karena harapan rakyat yang besar terhadapnya.

"Tidak perlu disangsikan kesetiaan rakyat yang tidak bisa diserang itu. Bangsa Indonesia dalam sangat mengharapkan kepemimpinan darinya, mempercayai kepemimpinannya, dan bersedia mengikutinya," tulis Bunker kepada Presiden Johnson.

Dalam laporannya itu, dia melanjutkan bahwa tidak ada kekuatan di Tanah Air yang bisa menyerangnya, tidak pula ada bukti bahwa suatu kelompok penting ingin berbuat demikian.

Assistant Professor di Departemen Sejarah University of British Columbia, Vancouver, Kanada, John Roosa melihat, bahwa cukup beralasan ketika dibutuhkan dalih untuk menghancurkan PKI dengan cara hendak menyelamatkan Soekarno, dan AD harus tampil sebagai penyelamat itu, bukan sebagai penggali liang kubur bagi dirinya sendiri.

Saat terjadi Gerakan September Tiga Puluh atau Gestapu, skenario lama AS dan CIA, serta AD, akhirnya mendapatkan momennya yang tepat. Apalagi, dalam peristiwa itu AD jadi memiliki dalih untuk menghancurkan PKI dan menggulingkan Soekarno.

Skenario dibuat dalam beberapa tahapan sesuai dengan laporan Bunker, bahwa AD harus berperan seolah-olah menyelamatkan Soekarno dan menuding PKI melakukan kup, lalu melancarkan represi besar-besaran terhadap PKI diseluruh negeri, dan tetap mempertahankan Soekarno sebagai Presiden boneka, serta membangun pemerintahan baru yang dikuasai oleh AD.

Lima hari setelah terjadinya Gestapu, yakni 5 Oktober 1965, para jenderal sayap kanan AD telah berkumpul dan sepakat untuk menghancurkan PKI dan menjalankan skenario yang telah lama direncanakan.

Di Jawa Tengah, AD mempersenjatai sukarelawan pemuda Muslim untuk berhadap-hadapan dengan PKI. Untuk mempermudah jalinan komunikasi dalam pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI, AS mengirimkan perangkat radio lapangan (mobile radio) yang sangat canggih dari Pangkalan Udara Clark di Filipina ke markas besar Kostrad.

Melalui radio itulah, AS memantau gerakan AD dalam membasmi komunis di Indonesia. Hal ini diungkap wartawan Kathy Kadane yang mewawancarai para pejabat tinggi AS diakhir 1980 yang menyatakan AS memantau gerakan AD melalui radio itu.

AD dan CIA juga mengucurkan uang dalam jumlah besar untuk pendirian kelompok sipil oleh AD yang disebut dengan Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (Kap-Gestapu) dan mengerahkan aksi-aksi demonstrasi mahasiswa. Pada awal Desember 1965, Dubes AS Green memerintahkan untuk mengucurkan dana Rp50 juta rupiah kepada Wakil Kap Gestapu Adam Malik.

Setelah menghancurkan PKI, dan mendemisionerkan kabinet Soekarno, pada pertengahan Maret 1966 dengan memenjarakan 15 menteri, serta menyiapkan pengganti mereka, dan mempertahankan Soekarno sebagai Presiden, AS menepati janjinya dalam memberikan bantuan kepada Pemerintahan AD yang baru lahir.

Dengan bantuan 50.000 ton beras pada April 1966, dan 75.000 ton kapas, serta USD60 juta kredit pertukaran mata uang asing secara cepat dari Jerman, Jepang, Inggris, dan AS pada Juni 1966, pemerintahan baru AD itu ingin menunjukkan kepada rakyat Indonesia bahwa AD mampu memimpin mereka dan memerbaiki keadaan perekonomian yang buruk di masa Soekarno.

Sampai di sini, ulasan singkat Cerita Pagi tentang Keterlibatan AS dalam Gestapu yang diikuti dengan pembunuhan massal terhadap anggota dan simpatisan PKI dan berakhir dengan tumbangnya Soekarno dari kursi kepresidenan.

*Prof Benedict Anderson mempunyai kesan bahwa singkatan Gestapu itu sendiri merupakan satu alasan lain dengan menganggap bahwa Gestapu adalah buatan Amerika Serikat. Kata Gerakan September Tiga Puluh sendiri terdengar janggal dalam bahasa Indonesia. Hal ini sama dengan mengatakan Teenth Four (Mei Sepuluh Empat) sebagai ganti May Four Teenth (Empat Belas Mei).

Sumber Tulisan:
Bradley R Simpson, Economists with Guns, Amerika Serikat, CIA, dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2010.
Pater Dale Scott, Ameri Serikat dan Penggulingan Soekarno 1965-1967, Vision 03, Cetakan Kedua September 2003.
John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, Hasta Mitra, Jakarta 2008.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9099 seconds (0.1#10.140)