Sultan Nuku, Keberanian dan Kekuatan Batin Mengusir Penjajah dari Tidore

Senin, 21 Desember 2020 - 05:00 WIB
Maluku, pada dekade-dekade tersebut benar-benar telah kehilangan kedigdayaannya di bidang politik, ekonomi, dan terutama militer. Itulah sebabnya Belanda dengan mudah dapat mendikte segala kehendaknya. Ternate, yang memegang supremasi di antara kerajaan-kerajaan yang bersaing di Maluku, mengandalkan kewibawaannya hanya pada otoritas Belanda. Hal serupa juga berlaku bagi Bacan dan Tidore pada masa pemerintahan Patra Alam (1780-1784) dan Kamaluddin (1784-1787).

Dalam situasi semacam itulah Nuku tampil di atas pentas historis dan berupaya melakukan restorasi Maluku dengan mentransfer ide-ide kemandirian dan kebebasan penuh bagi kerajaan-kerajaan di kawasan itu.

Kaicil Nuku yang berhasil meloloskan diri dari Tidore menjelang penobatan Patra Alam, kemudian mendirikan markas besar perlawanannya di antara Patani dan Weda. Ia mengirim pembantu-pembantunya ke Maba, Seram Timur, Kepulauan Raja Ampat serta Papua untuk mencari dukungan.

Nuku juga merekrut orang-orang Mindanao yang ada di Patani, orang-orang Tobelo, Galela dan Loloda yang bermukim di Halmahera Timur dan Seram Pasir. Kepada para pembantunya, Nuku menginstruksikan agar mengontak orang Spanyol dan Inggris jika bertemu di perairan Maluku untuk membantunya melikuidasi kekuasaan Kompeni.

Pada 1780, Nuku memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Tidore dan menyatakan kesultanannya sebagai sebuah negara merdeka yang lepas dari kekuasaan Kompeni Belanda. Kesultanan Tidore yang dimaksudkannya meliputi seluruh wilayah Tidore yang utuh, termasuk Makian dan Kayoa, di samping Halmahera Tengah dan Timur, Kepulauan Raja Ampat dan Papua daratan, seluruh Seram Timur, pulau-pulau Keffing, Geser, Seram Laut, pulau-pulau Garang, Watubela, dan Tor.

Setelah berjuang beberapa tahun, Nuku memperoleh kemenangan yang gemilang. Ia berhasil membebaskan kesultanannya dari kekuasaan Belanda dan mengembalikan pamornya. Pengujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 adalah era keemasan Tidore di bawah Nuku.

Ada empat konsep politik yang ingin diwujudkan Nuku. Pertama, mempersatukan seluruh wilayah kesultanan Tidore sebagai suatu kebulatan yang utuh. Kedua, memulihkan kembali empat pilar kekuasaan kerajaan Maluku. Ketiga, mengupayakan sebuah persekutuan antara keempat kerajaan Maluku. Keempat, mengenyahkan kekuasaan dan penjajahan asing dari Maluku.

Untuk butir pertama, gagasan ini langsung dilaksanakan begitu Nuku menduduki takhta Kesultanan Tidore. Bahkan, pembebasan Seram telah dimulai sejak Nuku mengawali pemberontakannya.

Aneksasi Makian, Kayoa, seluruh Halmahera Selatan dari Gane hingga Foya –yang sebelumnya di bawah kekuasaan Ternate– dimaksudkan untuk menekan Ternate agar kesultanan itu bersedia ikut dalam perdamaian dan menerima konsep politik Nuku. Sementara Kesultanan Bacan sudah sejak awal menjalin persekutuan dengan Nuku.

Untuk butir kedua, Nuku merealisasikannya dengan menghidupan kembali Kerajaan Jailolo. Ia menunjuk Muhammad Arif Billah –mantan Jojou (jogugu) Tidore di masa Sultan Kamaluddin, yang ketika itu menjabat sebagai Sangaji Tahane dan pembantu setia Nuku dalam pemberontakan– sebagai Sultan Jailolo. Sama dengan pendahulunya, Sultan Saifuddin, Nuku berpendapat “selama empat kerajaan Maluku belum pulih, tidak akan ada keamanan dan ketentraman di kepulauan ini.”
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More