Sultan Nuku, Keberanian dan Kekuatan Batin Mengusir Penjajah dari Tidore

Senin, 21 Desember 2020 - 05:00 WIB
loading...
Sultan Nuku, Keberanian dan Kekuatan Batin Mengusir Penjajah dari Tidore
Sultan Nuku atau Sultan Tidore ke-30 dengan gelar Sri Paduka Maha Tuan Sultan Syaedul Jehad Amiruddin Syaifuddin Syah Muhammad El Mabus Kaicil Paparangan Jou Barakati. Foto/Ist
A A A
Sultan Nuku identik dengan sejarah dan kejayaan Kerajaan Tidore, Maluku Utara. Di masanya, Sultan Tidore ke-30 ini sangat berkuasa dan membawa banyak perubahan, seperti perluasan wilayah kekuasaan mulai dari Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, Pulau Seram dan sekitarnya hingga Papua dan Gugusan Pulau Raja Ampat.

(Baca juga: Kisah Keraton Merapi, Kerajaan Jin hingga Penampakan Awan Petruk)

Lahir dengan nama Muhammad Amiruddin yang merupakan putra Sultan Jamaluddin (1757-1779) dari Kerajaan Tidore. Pada 13 April 1779, Nuku dinobatkan sebagai Sultan Tidore dengan gelar Sri Paduka Maha Tuan Sultan Syaedul Jehad Amiruddin Syaifuddin Syah Muhammad El Mabus Kaicil Paparangan Jou Barakati.

(Baca juga: Menelusuri Kisah Raja Nong Isa, Penguasa Pertama Pulau Batam)

Jou Barakati adalah sebutan untuk panglima perang. Nuku berjuang selama 25 tahun untuk mempertahankan tanah airnya dari tangan kolonialisme. Hingga atas kegigihannya tersebut, ia dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Sebuah kebanggaan dari masa lalu hingga masa depan bagi Tidore yang tidak dapat dipisahkan.

Sultan Nuku, Keberanian dan Kekuatan Batin Mengusir Penjajah dari Tidore

Makam Sultan Nuku di wilayah Soa Sio, Tidore. Foto/Ist

Sultan Nuku wafat pada 14 November 1805 di Tidore dan dimakamkan di Tidore. Kini lokasi makam tersebut termasuk di wilayah Soa Sio. Di masa lalu Soa Sio adalah sebuah kawasan Kedaton Sultan Tidore, dan masa sekarang adalah ibu kota Tidore Kepulauan. Sebuah tempat yang sangat strategis dan bermakna dari kedua masa.

Akses mencapai makam sangat gampang, karena terletak di pinggir jalan. Kondisi makam Sultan Nuku sendiri masih terawat dan sudah mengalami pemugaran, namun bentuk dan bahan batu nisan masih asli. Makam Sultan Nuku pun ternyata tidak sendiri karena ada beberapa makam Sultan lainnya yang turut dimakamkan di sana.

Sultan Nuku, Keberanian dan Kekuatan Batin Mengusir Penjajah dari Tidore

Kompleks Makam Sultan Nuku di wilayah Soa Sio, Tidore. Di masa lalu Soa Sio merupakan kawasan Kedaton Sultan Tidore, dan sekarang jadi ibukota Tidore Kepulauan. Dok/Kemendikbud

Pada awalnya, memang hanya terdapat makam saja. Namun saat pemugaran, juga ditambahkan bangunan pelindung (lengkap dengan tembok, atap dan pagar keliling), sehingga makam Sultan Nuku dan makam lainnya tidak terkena hujan maupun sinar matahari yang berpotensi merusak cagar budaya itu sendiri.

Dalam buku "Kepulauan Rempah-rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950" karya Adnan Amal, diceritakan bahwa Nuku, seperti disebut Andaya, adalah “salah satu pemimpin yang sukar dicari padanannya di Asia Tenggara.”

Sultan Nuku, Keberanian dan Kekuatan Batin Mengusir Penjajah dari Tidore

KRI Sultan Nuku-373, kapal perang TNI Angkatan Laut yang tergabung dalam Satuan Kapal Eskorta Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim). Foto/Dok.TNI AL

Selain memiliki kecerdasan dan kharisma yang kuat, Nuku terkenal akan keberanian dan kekuatan batinnya. Ia berhasil mentransformasi masa lalu Maluku yang kelam ke dalam era baru yang mampu memberikan kepadanya kemungkinan menyeluruh untuk bangkit dan melepaskan diri dari segala bentuk keterikatan, ketidakbebasan dan penindasan.

Perjuangan Nuku berlangsung pada perempatan terakhir abad ke-18 dan permulaan abad ke-19. Ketika itu, Pemerintah Kolonial Belanda mulai merampungkan kekuasaannya atas kerajaan-kerajaan Maluku yang sudah lemah.

Sultan Nuku, Keberanian dan Kekuatan Batin Mengusir Penjajah dari Tidore

Perdana Menteri Kesultanan Tidore (Jajou), Provinsi Maluku Utara, M Amin Faaroek saat menjamu rombongan Jelajah Negeri Rempah, di Kedaton Kesultanan Tidore. Foto/Ist

Maluku, pada dekade-dekade tersebut benar-benar telah kehilangan kedigdayaannya di bidang politik, ekonomi, dan terutama militer. Itulah sebabnya Belanda dengan mudah dapat mendikte segala kehendaknya. Ternate, yang memegang supremasi di antara kerajaan-kerajaan yang bersaing di Maluku, mengandalkan kewibawaannya hanya pada otoritas Belanda. Hal serupa juga berlaku bagi Bacan dan Tidore pada masa pemerintahan Patra Alam (1780-1784) dan Kamaluddin (1784-1787).

Dalam situasi semacam itulah Nuku tampil di atas pentas historis dan berupaya melakukan restorasi Maluku dengan mentransfer ide-ide kemandirian dan kebebasan penuh bagi kerajaan-kerajaan di kawasan itu.

Kaicil Nuku yang berhasil meloloskan diri dari Tidore menjelang penobatan Patra Alam, kemudian mendirikan markas besar perlawanannya di antara Patani dan Weda. Ia mengirim pembantu-pembantunya ke Maba, Seram Timur, Kepulauan Raja Ampat serta Papua untuk mencari dukungan.

Nuku juga merekrut orang-orang Mindanao yang ada di Patani, orang-orang Tobelo, Galela dan Loloda yang bermukim di Halmahera Timur dan Seram Pasir. Kepada para pembantunya, Nuku menginstruksikan agar mengontak orang Spanyol dan Inggris jika bertemu di perairan Maluku untuk membantunya melikuidasi kekuasaan Kompeni.

Pada 1780, Nuku memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Tidore dan menyatakan kesultanannya sebagai sebuah negara merdeka yang lepas dari kekuasaan Kompeni Belanda. Kesultanan Tidore yang dimaksudkannya meliputi seluruh wilayah Tidore yang utuh, termasuk Makian dan Kayoa, di samping Halmahera Tengah dan Timur, Kepulauan Raja Ampat dan Papua daratan, seluruh Seram Timur, pulau-pulau Keffing, Geser, Seram Laut, pulau-pulau Garang, Watubela, dan Tor.

Setelah berjuang beberapa tahun, Nuku memperoleh kemenangan yang gemilang. Ia berhasil membebaskan kesultanannya dari kekuasaan Belanda dan mengembalikan pamornya. Pengujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 adalah era keemasan Tidore di bawah Nuku.

Ada empat konsep politik yang ingin diwujudkan Nuku. Pertama, mempersatukan seluruh wilayah kesultanan Tidore sebagai suatu kebulatan yang utuh. Kedua, memulihkan kembali empat pilar kekuasaan kerajaan Maluku. Ketiga, mengupayakan sebuah persekutuan antara keempat kerajaan Maluku. Keempat, mengenyahkan kekuasaan dan penjajahan asing dari Maluku.

Untuk butir pertama, gagasan ini langsung dilaksanakan begitu Nuku menduduki takhta Kesultanan Tidore. Bahkan, pembebasan Seram telah dimulai sejak Nuku mengawali pemberontakannya.

Aneksasi Makian, Kayoa, seluruh Halmahera Selatan dari Gane hingga Foya –yang sebelumnya di bawah kekuasaan Ternate– dimaksudkan untuk menekan Ternate agar kesultanan itu bersedia ikut dalam perdamaian dan menerima konsep politik Nuku. Sementara Kesultanan Bacan sudah sejak awal menjalin persekutuan dengan Nuku.

Untuk butir kedua, Nuku merealisasikannya dengan menghidupan kembali Kerajaan Jailolo. Ia menunjuk Muhammad Arif Billah –mantan Jojou (jogugu) Tidore di masa Sultan Kamaluddin, yang ketika itu menjabat sebagai Sangaji Tahane dan pembantu setia Nuku dalam pemberontakan– sebagai Sultan Jailolo. Sama dengan pendahulunya, Sultan Saifuddin, Nuku berpendapat “selama empat kerajaan Maluku belum pulih, tidak akan ada keamanan dan ketentraman di kepulauan ini.”

Untuk butir ketiga, Nuku tidak memperoleh dukungan Ternate, walaupun Bacan dan Jailolo menyetujuinya. Peperangan dan pengepungan yang dijalankan Nuku atas Ternate, dalam rangka mengusir Belanda, barangkali membuat Ternate tidak dapat menyetujui gagasan tentang persekutuan empat kerajaan Maluku.

Butir keempat gagasan Nuku juga sulit terlaksana sepenuhnya. Terkecuali Tidore yang secara militer cukup kuat, Ternate, Bacan dan Jailolo praktis tidak berdaya, sehingga upaya mengenyahkan kekuasaan asing di Maluku merupakan impian di siang bolong

Bagi Tidore sendiri, keempat gagasan politik Nuku itu berhasil dijalankan. Nuku berhasil menghidupkan kembali kebesaran Kesultanan Tidore dengan kembali menguasai seluruh wilayah Tidore seutuhnya.

Nuku juga berhasil menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo, sehingga untuk pertama kalinya dalam jangka waktu yang relatif cukup lama, Maluku berdiri tegak di atas empat pilar seperti di masa awal kelahirannya. Selanjutnya, ia berhasil menciptakan persekutuan tiga dari empat kerajaan Maluku: Tidore, Bacan, dan Jailolo, kecuali Ternate.

Sementara terusirnya Belanda untuk sementara waktu dari Tidore merupakan keberhasilan Nuku yang lain. Pada titik ini, kebesaran Nuku dapat dibandingkan dengan keagungan Sultan Babullah yang telah mengenyahkan Portugis dari Ternate.

Tetapi, pekerjaan Nuku belum sempat diselesaikan secara tuntas, ketika Tuhan memanggilnya pulang ke haribaan-Nya. Pada 14 November 1805, Maluku kehilangan seorang sultan yang semasa hidupnya dikenal sebagai Jou Barakati, atau di kalangan orang Inggris disapa dengan Lord of Fortune.

Kepergian Nuku merupakan kehilangan besar bagi rakyat Maluku, khususnya warga Kesultanan Tidore. Wafatnya Nuku dalam usia 67 tahun tidak hanya membawa kesedihan bagi rakyat Kesultanan Tidore yang wilayahnya meliputi Halmahera Timur (Weda, Patani, Gebe dan Bicoli), Seram Utara dan Timur, kepulauan Raja Ampat dan Papua daratan.

Wafatnya Nuku juga memberi kedukaan bagi rakyat Tobelo, Galela dan Loloda yang telah bergabung ke dalam barisan Nuku sejak awal perjuangannya, ketika Nuku menyingkir ke kepulauan Raja Ampat, Papua daratan, Seram dan Halmahera Timur, hingga saat terakhir ketika ia menghembuskan napas yang penghabisan.

Setelah Nuku wafat, sejarah lama Tidore berulang kembali. Perebutan kekuasaan oleh pengganti-pengganti Nuku dan campur tangan pemerintah Belanda dalam suksesi Tidore, menyebabkan pamor Tidore terpuruk kembali menjadi kesultanan yang lemah.

Untuk mengenang kepahlawanan Sultan Nuku, namanya digunakan sebagai nama salah satu kapal perang Indonesia, yaitu KRI Sultan Nuku-373. Kapal ini merupakan kapal perang TNI Angkatan Laut yang tergabung dalam Satuan Kapal Eskorta Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim), yang bertugas mengamankan perairan teritorial dan yuridiksi Indonesia khususnya wilayah Timur.

Perdana Menteri Kesultanan Tidore (Jajou), Provinsi Maluku Utara, M Amin Faaroek saat menjamu rombongan Jelajah Negeri Rempah, di Kedaton Kesultanan Tidore, bercerita bahwa di masa kepemimpinan Sultan Nuku, pengaruh Kesultanan Tidore tak hanya di Nusantara tapi sampai ke Samudera Pasifik dan Filipina.

Karena luasnya pengaruh kepemimpinan Sultan Nuku, membuat Tidore memiliki nilai historis serta strategis selama lebih dari 800 tahun di level global maupun kawasan Asia, yang tentunya pula sangat memengaruhi dan menentukan daya saing serta posisi tawar Indonesia di kancah dunia.

Tidore juga terpilih masuk dalam jaringan kota-kota Magellan sebagai salah satu kota yang disinggahi Ferdinand Magellan dan Juan Bastian Calcutta saat mengelilingi dunia untuk mencari rempah, dan menentukan bahwa dunia bulat pada beberapa abad lalu sebagai bukti kebesaran wilayah Maluku.

Tidore bersama empat pulau lainnya, yakni Ternate, Mare, Mutir dan Makian disebut Jazirat-al-mulk atau kumpulan/semenanjung kerajaan yang terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil. Kawasan ini pula yang menjadi asal muasal nama Maluku atau tanah para raja. Pada abad 16 Masehi, padagang asal Portugal menyebut Mulk sebagai Moluco atau Moluccas.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Kesultanan Tidore dikenal sangat memegang teguh prinsip berkeyakinan sesuai ajaran Islam. Kesultanan Tidore juga berpandangan terbuka dan sangat menghargai perbedaan. Luar biasanya, jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Kesultanan Tidore sudah menerapkan yang namanya demokrasi.

Itulah kenapa, Kesultanan Tidore tidak mengenal istilah Putra Mahkota. Sultan sebagai pemimpin, dipilih secara demokrasi. Dan, siapapun berhak menjadi sultan yang dicalonkan melalui perwakilan empat marga di Tidore.

Komitmen kebangsaan Kesultanan Tidore terhadap keutuhan NKRI juga tak usah diragukan. Malah Tidore ibarat kunci di saat Papua dinyatakan bagian dari NKRI. Ini lantaran pengaruh kekuasaan Kesultanan Tidore (jauh di masa sebelum terbentuknya NKRI), terjejak di hampir seluruh tanah Papua.

Sebagai kesultanan yang punya pengaruh besar di kawasan timur Indonesia bahkan sampai Filipina dan Samudera Pasifik, sekarang ini wilayah Kesultanan Tidore terbilang kecil. Karena memang, sejak dulu Kesultanan Tidore tidak pernah berhasrat untuk menguasai atau menjajah negeri-negeri yang berada di dalam pengaruhnya, sekalipun negeri itu sudah mereka taklukkan.

"Tidore ibarat kalajengking kecil mematikan, yang sejak dulu kala setia menjaga keutuhan NKRI. Tidore, tak akan mengorbankan komitmen ini, kendati ruang untuk itu sangat memungkinkan," kata Amin.
(shf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2069 seconds (0.1#10.140)