Sandi Senam Revolusi dan Ibu Pertiwi Hamil Tua, Misteri G30S PKI yang Belum Terungkap
Senin, 25 September 2023 - 04:53 WIB
Di depan pimpinan Ansor dan PBNU, Subandrio terang-terangan mengatakan Ansor NU tidak akan mampu melawan orang-orang PKI, karena PKI menguasai intelijen. Ia justru meminta Ansor NU ikut menjaga ketenangan, dan tidak terlalu agresif menghadapi PKI.
"Di bidang intelijen, saudara-saudara kalah dengan PKI. Orang PKI tahu di mana saudara sekarang sedang berada. Bahkan tahu di mana Pak Idham Chalid (Ketua PBNU), dan tokoh-tokoh lainnya berada. Tetapi saudara dan tokoh NU tidak tahu di mana DN Aidit berada. Saudara harus mengerti hal ini," kata Subandrio seperti dikutip dari buku "Benturan NU PKI 1948-1965 (2013)".
Kebijakan intelijen Subandrio, juga banyak memojokkan Angkatan Darat. Isu Dewan Jenderal, yakni terkait adanya sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang tidak loyal kepada Presiden Soekarno atau Bung Karno, juga datang darinya.
Selain istilah Senam Revolusioner, menjelang peristiwa berdarah 30 September 1965, juga muncul ungkapan "Ibu Pertiwi Sudah Hamil Tua". Ungkapan itu pertama kali datang dari anggota CC PKI, Anwar Sanusi.
Di tengah situasi krisis ekonomi dan politik tanah air, pernyataan Ibu Pertiwi sudah hamil tua itu dilontarkan berkali-kali oleh para tokoh PKI. Para lawan-lawan PKI menangkap pernyataan itu sebagai sebuah sandi gerakan politik. "Ibu Pertiwi sudah hamil tua, yang akan segera melahirkan satu kekuatan baru".
Pada 30 September 1965, sebuah gerakan yang menamakan diri Gerakan 30 September melakukan aksi penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat, yang dituding sebagai Dewan Jenderal.
Gerakan penculikan sekaligus pembunuhan dilakukan Dewan Revolusi, yang dipimpin oleh Letkol Untung Sutopo. Upaya perebutan kekuasaan itu dalam waktu cepat berhasil dipadamkan.
Pasca terjadinya Gerakan 30 September 1965, sejumlah pimpinan, kader, serta seluruh simpatisan PKI di Indonesia diburu dan ditangkap. Ketua CC PKI, DN Aidit, Njoto dan Untung Sutopo dieksekusi mati. Pada 12 Maret 1966, PKI dibubarkan dan secara resmi dinyatakan sebagai partai terlarang.
"Di bidang intelijen, saudara-saudara kalah dengan PKI. Orang PKI tahu di mana saudara sekarang sedang berada. Bahkan tahu di mana Pak Idham Chalid (Ketua PBNU), dan tokoh-tokoh lainnya berada. Tetapi saudara dan tokoh NU tidak tahu di mana DN Aidit berada. Saudara harus mengerti hal ini," kata Subandrio seperti dikutip dari buku "Benturan NU PKI 1948-1965 (2013)".
Kebijakan intelijen Subandrio, juga banyak memojokkan Angkatan Darat. Isu Dewan Jenderal, yakni terkait adanya sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang tidak loyal kepada Presiden Soekarno atau Bung Karno, juga datang darinya.
Selain istilah Senam Revolusioner, menjelang peristiwa berdarah 30 September 1965, juga muncul ungkapan "Ibu Pertiwi Sudah Hamil Tua". Ungkapan itu pertama kali datang dari anggota CC PKI, Anwar Sanusi.
Di tengah situasi krisis ekonomi dan politik tanah air, pernyataan Ibu Pertiwi sudah hamil tua itu dilontarkan berkali-kali oleh para tokoh PKI. Para lawan-lawan PKI menangkap pernyataan itu sebagai sebuah sandi gerakan politik. "Ibu Pertiwi sudah hamil tua, yang akan segera melahirkan satu kekuatan baru".
Pada 30 September 1965, sebuah gerakan yang menamakan diri Gerakan 30 September melakukan aksi penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat, yang dituding sebagai Dewan Jenderal.
Gerakan penculikan sekaligus pembunuhan dilakukan Dewan Revolusi, yang dipimpin oleh Letkol Untung Sutopo. Upaya perebutan kekuasaan itu dalam waktu cepat berhasil dipadamkan.
Pasca terjadinya Gerakan 30 September 1965, sejumlah pimpinan, kader, serta seluruh simpatisan PKI di Indonesia diburu dan ditangkap. Ketua CC PKI, DN Aidit, Njoto dan Untung Sutopo dieksekusi mati. Pada 12 Maret 1966, PKI dibubarkan dan secara resmi dinyatakan sebagai partai terlarang.
tulis komentar anda