Rampogan Macan, Kisah Tradisi Gladiator di Tanah Jawa
loading...
A
A
A
Dalam situasi mencekam tersebut, masih ada juga orang yang mengambil kesempatan. Kartawibawa menuliskan: "Wonten tijang djaler ingkang anggagapi badanipoen tijang estri, konangan ing oepas poelisi, dipoen sambleg pedang (Ada laki-laki yang mendekap tubuh perempuan, ketahuan upas polisi, langsung disabet pedang,".
Rampogan Macan adalah tradisi masyarakat Jawa membinasakan harimau di dalam arena pertempuran, layaknya pertunjukkan gladiator. Macan dilepas ke tengah barisan laki-laki pilihan atau gandek.
Ada tiga sampai empat lapis barisan melingkar dengan tombak terhunus. Posisi mereka mengepung. Sementara di atas tratag, yakni panggung terbuka yang ditopang tiang-tiang besi, para petinggi penting menyaksikan jalannya acara. Bupati, tamu-tamu undangan Belanda beserta istri-istrinya.
Di panggung lain yang lebih sederhana, berdiri para priyayi dan orang-orang berkantong tebal. Panggung ini milik pengusaha Tionghoa. Mereka yang bisa naik panggung terlebih dahulu membayar ongkos sewa.
Sementara rakyat jelata, kaum kromo berdiri menonton di atas rumput alun-alun dengan jarak 36 kaki dari arena dengan pembatas seutas tali. Diiringi tabuhan gamelan serta tiupan terompet yang memekakkan telinga. Macan dikeluarkan dari sekapan kotak kayu jati.
Macan yang menolak keluar, dipaksa dengan sundutan api serta siraman air mendidih. Di tengah alun-alun. Macan yang usai bertarung melawan kerbau dalam tradisi Sima Maesa (Harimau Kerbau) tersebut, dihabisi.
"Rampog Macan umumnya dilakukan setelah pertarungan Sima Maesa," tulis Dihan Amiluhur dalam buku "Kolonialisme Dalam Gladiator Jawa, Sima Maesa Rampog Macan di Jawa Abad Ke-19".
Di Jawa, tradisi mengadu binatang sudah ada sejak era kerajaan Mataram Islam. Tahun 1792. Saat Gubernur Jendral Belanda Pieter Van Overstraten mengunjungi Yogyakarta, ia menyaksikan acara tradisi Sima Maesa yang dilanjut Rampogan Macan. Saat itu bertepatan meninggalnya Sultan Hamengkuwono I.
Baca Juga
Rampogan Macan adalah tradisi masyarakat Jawa membinasakan harimau di dalam arena pertempuran, layaknya pertunjukkan gladiator. Macan dilepas ke tengah barisan laki-laki pilihan atau gandek.
Ada tiga sampai empat lapis barisan melingkar dengan tombak terhunus. Posisi mereka mengepung. Sementara di atas tratag, yakni panggung terbuka yang ditopang tiang-tiang besi, para petinggi penting menyaksikan jalannya acara. Bupati, tamu-tamu undangan Belanda beserta istri-istrinya.
Di panggung lain yang lebih sederhana, berdiri para priyayi dan orang-orang berkantong tebal. Panggung ini milik pengusaha Tionghoa. Mereka yang bisa naik panggung terlebih dahulu membayar ongkos sewa.
Sementara rakyat jelata, kaum kromo berdiri menonton di atas rumput alun-alun dengan jarak 36 kaki dari arena dengan pembatas seutas tali. Diiringi tabuhan gamelan serta tiupan terompet yang memekakkan telinga. Macan dikeluarkan dari sekapan kotak kayu jati.
Macan yang menolak keluar, dipaksa dengan sundutan api serta siraman air mendidih. Di tengah alun-alun. Macan yang usai bertarung melawan kerbau dalam tradisi Sima Maesa (Harimau Kerbau) tersebut, dihabisi.
"Rampog Macan umumnya dilakukan setelah pertarungan Sima Maesa," tulis Dihan Amiluhur dalam buku "Kolonialisme Dalam Gladiator Jawa, Sima Maesa Rampog Macan di Jawa Abad Ke-19".
Di Jawa, tradisi mengadu binatang sudah ada sejak era kerajaan Mataram Islam. Tahun 1792. Saat Gubernur Jendral Belanda Pieter Van Overstraten mengunjungi Yogyakarta, ia menyaksikan acara tradisi Sima Maesa yang dilanjut Rampogan Macan. Saat itu bertepatan meninggalnya Sultan Hamengkuwono I.