Rampogan Macan, Kisah Tradisi Gladiator di Tanah Jawa
loading...
A
A
A
Dalam tradisi yang digelar, orang Jawa mengambil kerbau sebagai simbol alegori identitasnya. Hewan yang besar, kuat, sabar, kalem, penurut sekaligus mudah diajak kerjasama. Namun kerbau bisa tiba-tiba berubah beringas dan menakutkan bila sudah tersakiti.
Sedangkan Belanda disimbolkan seekor harimau. Hewan galak, bengis, kejam namun bagi orang Jawa dipandang lemah dan pengecut. Karenanya dalam tradisi gladiator tersebut, harimau harus binasa.
Macan yang menang dalam arena Sima Maesa akan dibawa ke gelanggang Rampogan Macan. Matinya harimau dicincang tombak para gandek ditafsirkan tumpasnya keangkara murkaan kolonial Belanda.
Menurut K.R.T Jatingrat atau Romo Tirun, sentimen anti etnis kulit putih dalam tradisi Sima Maesa, terlihat jelas pada masa pemerintahan Mangkubumi dan Hamengkubuwono II.
"Hamengkubuwono II adalah sultan yang mencetuskan semangat perlawanan anti kolonialisme Eropa, baik Inggris maupun Belanda melalui tradisi Sima Maesa. Ia menunjukkan bagaimana sebuah pertunjukan dapat digunakan untuk membangkitkan semangat kebangsaan," kata K.R.T Jatingrat dalam buku "Kolonialisme Dalam Gladiator Jawa, Sima Maesa Rampog Macan di Jawa Abad Ke-19".
Belanda tahu telah diolok-olok orang Jawa. Mengerti telah disimbolkan sebagai macan yang harus dilawan. Namun tidak ambil pusing. Belanda memilih menikmati tradisi Sima Maesa dan Rampogan Macan yang digelar rutin setiap tahun.
Dalam ideologi kebudayaan masyarakat Belanda, mereka juga kurang menyukai harimau. Selain itu, harimau dipandang sebagai hama yang mengganggu proyek pembukaan perkebunan dan lahan baru. Karenannya tidak masalah jika dihabisi.
Selama berlangsung tradisi Sima Maesa dan Rampogan Macan, pemerintah Belanda tidak pernah melarang. Bahkan ikut menyebarluaskan tradisi yang sebelumnya hanya terpusat di Yogyakarta ke luar daerah.
"Orang-orang Belanda ikut menyebarluaskan tradisi Sima Maesa dan Rampog Macan ke daerah yang belum mengenal acara itu," tulis Peter Boomgaard dalam artikel "Death to The Tiger".
Sedangkan Belanda disimbolkan seekor harimau. Hewan galak, bengis, kejam namun bagi orang Jawa dipandang lemah dan pengecut. Karenanya dalam tradisi gladiator tersebut, harimau harus binasa.
Macan yang menang dalam arena Sima Maesa akan dibawa ke gelanggang Rampogan Macan. Matinya harimau dicincang tombak para gandek ditafsirkan tumpasnya keangkara murkaan kolonial Belanda.
Menurut K.R.T Jatingrat atau Romo Tirun, sentimen anti etnis kulit putih dalam tradisi Sima Maesa, terlihat jelas pada masa pemerintahan Mangkubumi dan Hamengkubuwono II.
"Hamengkubuwono II adalah sultan yang mencetuskan semangat perlawanan anti kolonialisme Eropa, baik Inggris maupun Belanda melalui tradisi Sima Maesa. Ia menunjukkan bagaimana sebuah pertunjukan dapat digunakan untuk membangkitkan semangat kebangsaan," kata K.R.T Jatingrat dalam buku "Kolonialisme Dalam Gladiator Jawa, Sima Maesa Rampog Macan di Jawa Abad Ke-19".
Baca Juga
Belanda tahu telah diolok-olok orang Jawa. Mengerti telah disimbolkan sebagai macan yang harus dilawan. Namun tidak ambil pusing. Belanda memilih menikmati tradisi Sima Maesa dan Rampogan Macan yang digelar rutin setiap tahun.
Dalam ideologi kebudayaan masyarakat Belanda, mereka juga kurang menyukai harimau. Selain itu, harimau dipandang sebagai hama yang mengganggu proyek pembukaan perkebunan dan lahan baru. Karenannya tidak masalah jika dihabisi.
Selama berlangsung tradisi Sima Maesa dan Rampogan Macan, pemerintah Belanda tidak pernah melarang. Bahkan ikut menyebarluaskan tradisi yang sebelumnya hanya terpusat di Yogyakarta ke luar daerah.
"Orang-orang Belanda ikut menyebarluaskan tradisi Sima Maesa dan Rampog Macan ke daerah yang belum mengenal acara itu," tulis Peter Boomgaard dalam artikel "Death to The Tiger".