Kisah si Lancang, Anak Durhaka yang Tak Mengakui Ibunya karena Miskin
loading...
A
A
A
“Engkau Lancang, Anakku! Oh… betapa rindunya hati emak padamu.” Mendengar sapaan itu, si Lancang begitu tega menepis pengakuan ibunya sambil berteriak.
“Mana mungkin aku mempunyai ibu perempuan miskin seperti kamu. Kelasi! usir perempuan gila ini!”
Dengan perasaan hancur, ibunya pergi meninggalkan semua angan-angan tentang anaknya. Luka hati seperti disayat sembilu. Setibanya di rumah, hilang sudah akal sehatnya dan kasih sayangnya karena perlakuan buruk yang diterimanya.
Dia mengambil pusaka yang dimilikinya berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru. Diputarnya lesung itu dan dikibas-kibaskan nyiru itu sambil berkata, “Ya Tuhanku… hukumlah si anak durhaka itu.”
Setelah sang ibu berdoa tidak lama kemudian doanya dikabulkan. Tiba-tiba datanglah badai topan yang besar sehingga membuat kapal-kapal yang dimiliki Si Lancang lenyap bahkan harta benda yang lainya ikut lenyap dalam seketika karena doa seorang ibu.
Tidak perlu waktu lama, Tuhan mengabulkan permintaan ibu tua renta itu. Dalam sekejap, turunlah badai topan. Badai tersebut meluluhlantakkan kapal-kapal dagang milik Si Lancang dan harta benda miliknya.
Menurut cerita rakyat setempat, kain suteranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Ogong.
Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah, sedangkan tiang bendera kapal si Lancang terlempar hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang. Hingga sekarang, nama tempat itu masih ada dan dapat disaksikan.
Kisah Si Lancang memberikan kita pelajaran bahwa apa pun kondisinya jangan pernah lupakan ibu yang telah melahirkan, karena doa orang tua paling ampuh. Jadilah anak yang sholeh dan berbakti kepada orang tua.
“Mana mungkin aku mempunyai ibu perempuan miskin seperti kamu. Kelasi! usir perempuan gila ini!”
Dengan perasaan hancur, ibunya pergi meninggalkan semua angan-angan tentang anaknya. Luka hati seperti disayat sembilu. Setibanya di rumah, hilang sudah akal sehatnya dan kasih sayangnya karena perlakuan buruk yang diterimanya.
Dia mengambil pusaka yang dimilikinya berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru. Diputarnya lesung itu dan dikibas-kibaskan nyiru itu sambil berkata, “Ya Tuhanku… hukumlah si anak durhaka itu.”
Setelah sang ibu berdoa tidak lama kemudian doanya dikabulkan. Tiba-tiba datanglah badai topan yang besar sehingga membuat kapal-kapal yang dimiliki Si Lancang lenyap bahkan harta benda yang lainya ikut lenyap dalam seketika karena doa seorang ibu.
Tidak perlu waktu lama, Tuhan mengabulkan permintaan ibu tua renta itu. Dalam sekejap, turunlah badai topan. Badai tersebut meluluhlantakkan kapal-kapal dagang milik Si Lancang dan harta benda miliknya.
Menurut cerita rakyat setempat, kain suteranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Ogong.
Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah, sedangkan tiang bendera kapal si Lancang terlempar hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang. Hingga sekarang, nama tempat itu masih ada dan dapat disaksikan.
Kisah Si Lancang memberikan kita pelajaran bahwa apa pun kondisinya jangan pernah lupakan ibu yang telah melahirkan, karena doa orang tua paling ampuh. Jadilah anak yang sholeh dan berbakti kepada orang tua.