Kisah si Lancang, Anak Durhaka yang Tak Mengakui Ibunya karena Miskin

Jum'at, 19 Agustus 2022 - 07:43 WIB
loading...
Kisah si Lancang, Anak Durhaka yang Tak Mengakui Ibunya karena Miskin
Si Lancang, kisah dari Kampar, Riau, anak durhaka yang tak mengakui ibunya karena miskin. Foto: Tangkapan Layar Cover Buku Adi Cita
A A A
Pada zaman dahulu, di sebuah desa terpencil bernama Kampar, Riau , hiduplah seorang janda miskin bersama anak semata wayangnya bernama Si Lancang di sebuah gubuk. Kehidupan mereka sangatlah sederhana dan dalam serba kekurangan.

Karena lama hidup miskin dan memprihatinkan Si Lancang mulai berpikir untuk memperbaiki nasib, salah satu caranya dengan pergi merantau kota, dia pun berdiskusi dengan ibunya dan meminta izin untuk pergi ke negeri orang.

Si lancang dengan semangat dan tekad yang kuat membuat dia bekerja keras hingga bertahun-tahun lamanya. Akhirnya apa yang dia perjuangkan tidak sia-sia dan mendapatkan apa yang dia inginkan.

Segala perjuangannya tidak sia-sia, ia berhasil menggapai cita-citanya menjadi orang kaya raya.


Si Lancang menjadi saudagar yang memiliki berpuluh-puluh kapal dagang. Namun, dia melupakan ibunya yang selama ini mendoakannya agar menjadi orang sukses. Dia lupa segala janji manisnya dulu kepada ibu yang melahirkannya.

Karena telah sukses dan menjadi kaya raya, Si Lancang kini bisa dengan mudah mendapatkan apa yang diiginkannya, termasuk wanita-wanita cantik. Dia bahkan memiliki 7 orang istri yang cantik, dengan kekayaan yang dimiilikinya dia bebas pergi kemana saja berkeliling samudera menggunakan kapalnya.

Suatu hari, Si Lancang singgah di Kampar. Berita kedatangan Si Lancang yang kini menjadi suadagar sukses yang kaya raya terdengar oleh ibunya. Ia mengira bahwa Si Lancang pulang untuk dirinya.

Dengan penuh suka cita ibu tua itu berlari ke dermaga untuk menemui anaknya yang telah lama dinantikannya. Dia pun memberanikan diri naik ke geladak kapal mewah Si Lancang. Si ibu langsung menghampiri si Lancang dan ketujuh istrinya.



Betapa terkejutnya Si Lancang ketika menyaksikan bahwa perempuan berpakaian compang camping itu adalah ibunya. Akan tetapi, harapan ibu Si Lancang hanya tinggal harapan. Rasa malu dan marah pun tak dapat ia tahan. Ibunya segera menghampirinya.

“Engkau Lancang, Anakku! Oh… betapa rindunya hati emak padamu.” Mendengar sapaan itu, si Lancang begitu tega menepis pengakuan ibunya sambil berteriak.

“Mana mungkin aku mempunyai ibu perempuan miskin seperti kamu. Kelasi! usir perempuan gila ini!”

Dengan perasaan hancur, ibunya pergi meninggalkan semua angan-angan tentang anaknya. Luka hati seperti disayat sembilu. Setibanya di rumah, hilang sudah akal sehatnya dan kasih sayangnya karena perlakuan buruk yang diterimanya.

Dia mengambil pusaka yang dimilikinya berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru. Diputarnya lesung itu dan dikibas-kibaskan nyiru itu sambil berkata, “Ya Tuhanku… hukumlah si anak durhaka itu.”

Setelah sang ibu berdoa tidak lama kemudian doanya dikabulkan. Tiba-tiba datanglah badai topan yang besar sehingga membuat kapal-kapal yang dimiliki Si Lancang lenyap bahkan harta benda yang lainya ikut lenyap dalam seketika karena doa seorang ibu.



Tidak perlu waktu lama, Tuhan mengabulkan permintaan ibu tua renta itu. Dalam sekejap, turunlah badai topan. Badai tersebut meluluhlantakkan kapal-kapal dagang milik Si Lancang dan harta benda miliknya.

Menurut cerita rakyat setempat, kain suteranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Ogong.

Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah, sedangkan tiang bendera kapal si Lancang terlempar hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang. Hingga sekarang, nama tempat itu masih ada dan dapat disaksikan.

Kisah Si Lancang memberikan kita pelajaran bahwa apa pun kondisinya jangan pernah lupakan ibu yang telah melahirkan, karena doa orang tua paling ampuh. Jadilah anak yang sholeh dan berbakti kepada orang tua.

Sumber: dongeng dan cerita rakyat
(nic)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2310 seconds (0.1#10.140)