Sri Sultan Hamengkubuwana IV, Politik Keraton dan Misteri Kematian Saat Bertamasya
loading...
A
A
A
Sri Sultan Hamengkubuwana IV atau Hamengkubuwana IV adalah putra ke-18 Hamengkubuwana III. Nama aslinya Gusti Raden Mas Ibnu Jarot lahir dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencono pada 3 April 1804. Hamengkubuwana IV naik tahta menggantikan ayahnya pada usia sepuluh tahun, yaitu 1814.
Karena usianya yang masih belia, pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana IV didampingi oleh wali raja. Salah satu wali raja yang ditunjuk saat itu adalah Pangeran Notokusumo yang telah bergelar Paku Alam I.
Baca juga: Gunung Lawu Diselimuti Misteri Moksanya Prabu Brawijaya V Raja Majapahit Terakhir
Kedudukannya sebagai wali ditentukan hingga sultan mencapai akil baligh di usia 16 tahun pada 1820. Walaupun demikian, menjelang penyerahan kekuasaan Inggris ke Belanda pada tahun 1816, Ibunda Sultan –kemudian disebut Ratu Ibu, dan Patih Danurejo IV lah yang menjalankan wewenang sebagai wali sultan sehari-hari.
Pada pemerintahan Hamengkubuwono IV, kekuasaan Patih Danurejo IV semakin merajalela. Ia menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan penting di keraton.
Keluarga Danurejan ini terkenal tunduk pada Belanda. Mereka juga mendukung pelaksanaan sistem sewa tanah untuk swasta, yang hasilnya justru merugikan rakyat kecil.
Mengutip Wikipedia, pada 20 Januari 1820 Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali raja. Pemerintahan mandiri Hamengkubuwono IV itu hanya berjalan dua tahun karena ia tiba-tiba meninggal dunia pada 6 Desember 1823 saat sedang bertamasya. Sri Sultan Hamengku Buwono IV dimakamkan di Astana Besiyaran Pajimatan, Imogiri. Hamengkubuwono IV pun mendapat gelar anumerta Sinuhun Jarot, Seda Besiyar.
Kematian Hamengkubuwono IV yang serba mendadak ini menimbulkan desas-desus ia tewas diracun ketika sedang bertamasya. Putra mahkota yang belum genap berusia tiga tahun diangkat sebagai raja, bergelar Hamengkubuwono V.
Dalam situs kratonjogja.id disebutkan, kedekatan Pangeran Diponegoro dengan adiknya, Sri Sultan Hamengkubuwana IV, digambarkan seperti Kresna yang mengajari Arjuna. Ketika sang raja dikhitan pada 22 Maret 1815, Pangeran Diponegoro sendiri yang menutupi mata adiknya dengan kedua belah tangannya.
Kemudian, dalam Kitab Kedung Kebo dan Babad Ngayogyakarta disebutkan bahwa Pangeran Diponegoro sangat memperhatikan pendidikan sang raja. Tidak jarang, dari Tegalrejo Pangeran Diponegoro menemui sultan belia untuk menceritakan kisah-kisah budi pekerti dari kitab Fatah Al-Mulk dan Raja-Raja khayali Arab maupun Syiria.
Karena usianya yang masih belia, pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana IV didampingi oleh wali raja. Salah satu wali raja yang ditunjuk saat itu adalah Pangeran Notokusumo yang telah bergelar Paku Alam I.
Baca juga: Gunung Lawu Diselimuti Misteri Moksanya Prabu Brawijaya V Raja Majapahit Terakhir
Kedudukannya sebagai wali ditentukan hingga sultan mencapai akil baligh di usia 16 tahun pada 1820. Walaupun demikian, menjelang penyerahan kekuasaan Inggris ke Belanda pada tahun 1816, Ibunda Sultan –kemudian disebut Ratu Ibu, dan Patih Danurejo IV lah yang menjalankan wewenang sebagai wali sultan sehari-hari.
Pada pemerintahan Hamengkubuwono IV, kekuasaan Patih Danurejo IV semakin merajalela. Ia menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan penting di keraton.
Keluarga Danurejan ini terkenal tunduk pada Belanda. Mereka juga mendukung pelaksanaan sistem sewa tanah untuk swasta, yang hasilnya justru merugikan rakyat kecil.
Mengutip Wikipedia, pada 20 Januari 1820 Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali raja. Pemerintahan mandiri Hamengkubuwono IV itu hanya berjalan dua tahun karena ia tiba-tiba meninggal dunia pada 6 Desember 1823 saat sedang bertamasya. Sri Sultan Hamengku Buwono IV dimakamkan di Astana Besiyaran Pajimatan, Imogiri. Hamengkubuwono IV pun mendapat gelar anumerta Sinuhun Jarot, Seda Besiyar.
Kematian Hamengkubuwono IV yang serba mendadak ini menimbulkan desas-desus ia tewas diracun ketika sedang bertamasya. Putra mahkota yang belum genap berusia tiga tahun diangkat sebagai raja, bergelar Hamengkubuwono V.
Dalam situs kratonjogja.id disebutkan, kedekatan Pangeran Diponegoro dengan adiknya, Sri Sultan Hamengkubuwana IV, digambarkan seperti Kresna yang mengajari Arjuna. Ketika sang raja dikhitan pada 22 Maret 1815, Pangeran Diponegoro sendiri yang menutupi mata adiknya dengan kedua belah tangannya.
Kemudian, dalam Kitab Kedung Kebo dan Babad Ngayogyakarta disebutkan bahwa Pangeran Diponegoro sangat memperhatikan pendidikan sang raja. Tidak jarang, dari Tegalrejo Pangeran Diponegoro menemui sultan belia untuk menceritakan kisah-kisah budi pekerti dari kitab Fatah Al-Mulk dan Raja-Raja khayali Arab maupun Syiria.