Kisah Ranggawarsita, Pujangga Sakti dari Surakarta yang Ramalkan Kemerdekaan Indonesia dan Kematiannya Sendiri
loading...
A
A
A
Amenangi zaman édan,
Ewuhaya ing pambudi,
Mélu ngédan nora tahan,
Yén tan mélu anglakoni,
Boya keduman mélik,
Kaliren wekasanipun,
Ndilalah kersa Allah,
Begja-begjaning kang lali,
Luwih begja kang éling klawan waspada.
Salah satu syair karya Ranggawarsita, yang hingga kini masih sangat relevan. Diduga, syair ini diciptakan pujangga besar dari Kasunanan Surakarta ini, pada era pemerintahan Pakubuwono IX.
Syair yang termuat dalam Serat Kalatida, dan terdiri atas 12 bait tembang Sinom tersebut, diduga merupakan ungkapan kekesalan hati Ranggawarsita, terhadap situasi masa itu. Di mana banyak penjilat yang mencari keuntungan pribadi. Kalau diterjemahkan, kurang lebih memiliki arti, sebagai berikut:
Menyaksikan zaman gila,
Serba susah dalam bertindak,
Ikut gila tidak akan tahan,
Tapi kalau tidak mengikuti (gila),
Tidak akan mendapat bagian,
Kelaparan pada akhirnya,
Namun telah menjadi kehendak Allah,
Sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
Akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Seperti melintasi zaman. Syair tersebut juga masih sangat relevan dengan kondisi masa kini. Di mana praktik mencari keuntungan pribadi masih terus terjadi, dan tak mempedulikan lagi kerugiannya bagi orang lain.
Tak hanya syairnya saja yang mampu melintasi zaman. Ranggawarsita yang terlahir pada 14 Maret 1802, dengan nama asli Bagus Burhan ini, ramalannya juga melintasi zaman dan banyak yang meyakini kebenarannya.
Bahkan, kematiannya pada 24 Desember 1873, juga telah diramalkan sendiri oleh pujangga besar ini, melalui Serat Sabdajati. Ranggawarsita merupakan putra dari Mas Pajangswara, yang merupakan cucu dari pujangga utama Kasunanan Surakarta, Yasadipura II.
Ewuhaya ing pambudi,
Mélu ngédan nora tahan,
Yén tan mélu anglakoni,
Boya keduman mélik,
Kaliren wekasanipun,
Ndilalah kersa Allah,
Begja-begjaning kang lali,
Luwih begja kang éling klawan waspada.
Salah satu syair karya Ranggawarsita, yang hingga kini masih sangat relevan. Diduga, syair ini diciptakan pujangga besar dari Kasunanan Surakarta ini, pada era pemerintahan Pakubuwono IX.
Syair yang termuat dalam Serat Kalatida, dan terdiri atas 12 bait tembang Sinom tersebut, diduga merupakan ungkapan kekesalan hati Ranggawarsita, terhadap situasi masa itu. Di mana banyak penjilat yang mencari keuntungan pribadi. Kalau diterjemahkan, kurang lebih memiliki arti, sebagai berikut:
Menyaksikan zaman gila,
Serba susah dalam bertindak,
Ikut gila tidak akan tahan,
Tapi kalau tidak mengikuti (gila),
Tidak akan mendapat bagian,
Kelaparan pada akhirnya,
Namun telah menjadi kehendak Allah,
Sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
Akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Seperti melintasi zaman. Syair tersebut juga masih sangat relevan dengan kondisi masa kini. Di mana praktik mencari keuntungan pribadi masih terus terjadi, dan tak mempedulikan lagi kerugiannya bagi orang lain.
Tak hanya syairnya saja yang mampu melintasi zaman. Ranggawarsita yang terlahir pada 14 Maret 1802, dengan nama asli Bagus Burhan ini, ramalannya juga melintasi zaman dan banyak yang meyakini kebenarannya.
Bahkan, kematiannya pada 24 Desember 1873, juga telah diramalkan sendiri oleh pujangga besar ini, melalui Serat Sabdajati. Ranggawarsita merupakan putra dari Mas Pajangswara, yang merupakan cucu dari pujangga utama Kasunanan Surakarta, Yasadipura II.