Kisah Jenderal Soedirman dan Nasi Oyek saat Dikepung Tentara Belanda dalam Hutan
loading...
A
A
A
Hingga suatu malam, Ajudan I Jenderal Soedirman, yakni Kapten Soepardjo Rustam, diminta menembus barikade tentara Belanda. Bermodal sarung dan baju bekas untuk menukarkannya dengan makanan, ia berjalan menuju desa terdekat di kawasan hutan rotan.
Akhirnya, warga di desa memberikan nasi oyek kepada Soepardjo. Lalu ia membawa makanan itu ke dalam hutan dan membagikan ke seluruh anggota pasukan Jenderal Sudirman. Semula, pasukan mengira makanan itu adalah nasi, tetapi belakangan Soepardjo baru menjelaskan bahwa masyarakat sekitar hanya memiliki oyek.
Oyek menambah energi seluruh pasukan sehingga tak mudah lapar. Hal ini karena tubuh lambat menyerap oyek yang mengandung karbohidrat kompleks lebih banyak dari nasi. Berbekal nasi oyek, pasukan Jenderal Soedirman mampu bertahan hidup selama beberapa waktu di dalam hutan serta menyerang balik pasukan Belanda.
Perjuangan Jenderal Soedirman bersama pasukannya bertahan dalam hutan dengan mengonsumsi nasi oyek diceritakan Ajudan II Jenderal Soedirman, Abu Arifin, dalam buku ‘Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia’.
Serangan Belanda yang berkelanjutan menyebabkan Soedirman harus mengganti pakaiannya dan memberikan pakaian lamanya pada salah seorang prajuritnya, Letnan Heru Kesser –yang memiliki kemiripan dengan Soedirman. Kesser diperintahkan untuk menuju selatan bersama sekompi besar tentara, mengganti pakaiannya, dan diam-diam kembali ke utara, sedangkan Soedirman menunggu di Karangnongko.
Pengalihan ini berhasil, dan pada 27 Desember, Soedirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa Jambu dan tiba pada 9 Januari 1949. Di sana, Soedirman bertemu dengan beberapa menteri yang tidak berada di Yogyakarta saat penyerangan: Supeno, Susanto Tirtoprojo, dan Susilowati. Bersama para politisi ini, Soedirman berjalan ke Banyutuwo sambil memerintahkan beberapa tentaranya untuk menahan pasukan Belanda.
Di Banyutuwo, mereka menetap selama seminggu lebih. Namun, pada 21 Januari, tentara Belanda mendekati desa. Soedirman dan rombongannya terpaksa meninggalkan Banyutuwo, berjuang menembus jalan dalam hujan lebat.
Soedirman dan pasukannya terus melakukan perjalanan melewati hutan dan rimba, akhirnya tiba di Sobo, di dekat Gunung Lawu, pada tanggal 18 Februari. Selama perjalanannya ini, Soedirman menggunakan sebuah radio untuk memberi perintah pada pasukan TNI setempat jika ia yakin bahwa daerah itu aman. Merasa lemah karena kesulitan fisik yang ia hadapi, termasuk perjuangannya melewati hutan dan kekurangan makanan, Soedirman yakin bahwa Sobo aman dan memutuskan untuk menggunakannya sebagai markas gerilya. Komandan tentara setempat, Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, berperan sebagai perantara antara dirinya dengan pemimpin TNI lain.