Laksamana Muda John Lie, Si 'Hantu' Selat Malaka yang Selalu Lolos dari Kepungan Belanda
loading...
A
A
A
JAKARTA - Selat Malaka menghasilkan banyak cerita horor. Letaknya yang strategis sebagai jalur perdagangan internasional membuat selat yang sempit ini ramai dilayari pelaut dari berbagai belahan dunia. Namun, justru ini menjadi ladang kehidupan bagi para perompak laut. Kapal pedagang asing kerap jatuh ke tangan para perompak yang garang dan bengis.
Kisah Laksamana Muda John Lie, bagian dari cerita bagaimana ganasnya melayari selat yang bertepi pesisir Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya itu. Tapi, John Lie bukan bagian dari perompak atau gerombolan pengacau keamanan Selat Malaka. Juga, dia bukan korban dari para perompak laut.
John Lie adalah sosok yang selalu dicari, dikejar, diadang dan dikepung armada Angakatan Laut dan Angakatan Udara Belanda. Namun, selama mereka melakukan pengepungan, John Lie selalu lolos dari maut. Karena itulah, dia dijuluki 'Hantu' Selat Malaka, sosok yang ditemukan, dikepung, namun menghilang seperti hantu. Baca juga: Kapal Tanker Berbendera Liberia Ditangkap di Selat Malaka
Siapa Laksamana Muda John Lie? Dikutip dari berbagai sumber, nama asli John Lie adalah Jahja Daniel Dharma, seorang Indonesia keturunan Tionghoa. Pada masa Perang Dunia Kedua, dia dan beberapa pemuda lainnya bekerja di maskapai pelayaran Koninlijk Paketvaart Maatschapij (KPM).
Pada Februari 1946, usai kekalahan Jepang akibat pemboman Nagasaki dan Hiroshima (6 dan 9 Agustus 1945), John Lie dan teman-temannya pulang ke Indonesia. Namun, saat singgah 10 hari di Singapura John Lie memanfaatkan waktu tersebut untuk mempelajari sistem pembersihan ranjau laut.
Kebetukan waktu itu, Royal Navy di Singapura mengadakan pelatihan. Dengan mengikuti pelatihan ini, John Lie meningkatkan kemampuannya soal taktik perang laut, khususnya terkait operasi kapal logistik di saat perang.
John Lie berharap, pelatihan itu menjadi modal untuk bisa bergabung dalam laskar perjuangan mengusir penjajah dari Indonesia. Sesampainya di Indonesia, tepatnya pada Mei 1946, John Lie menghadapi pimpinan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia (LKRI), Hans Pandelaki dan Mohede di Jakarta. Saat bertemu kedua orang penting ini, John Lie menyampaikan niatnya.
Hasilnya, John Lie diterima bergabung di LKRI dan diberi surat pengantar untuk bertemu Menteri Keuangan AA Maramis. Sang Menteri Keuangan lalu meminta John Lie menghadap Kepala Staf Angkatan Laut RI (ALRI) di Yogyakarta yang saat dijabat Laksamana M Pardi. John Lie pun berangkat menghadap M Pardi. Kepada Pardi, John Lie menyampaikan bahwa dirinya ingin ikut mempertahankan kemerdekaan NKRI.
Karena pengalaman dan kemampuannya yang sangat baik, Pardi menerimanya. Namun, Pardi bingung mau diberi pangkat apa kepada John Lie yang memiliki kemampuan sangat baik di bidang kelautan. "John Lie maunya pangkat apa? Karena pengalaman saudara banyak," tanya Pardi.
Kisah Laksamana Muda John Lie, bagian dari cerita bagaimana ganasnya melayari selat yang bertepi pesisir Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya itu. Tapi, John Lie bukan bagian dari perompak atau gerombolan pengacau keamanan Selat Malaka. Juga, dia bukan korban dari para perompak laut.
John Lie adalah sosok yang selalu dicari, dikejar, diadang dan dikepung armada Angakatan Laut dan Angakatan Udara Belanda. Namun, selama mereka melakukan pengepungan, John Lie selalu lolos dari maut. Karena itulah, dia dijuluki 'Hantu' Selat Malaka, sosok yang ditemukan, dikepung, namun menghilang seperti hantu. Baca juga: Kapal Tanker Berbendera Liberia Ditangkap di Selat Malaka
Siapa Laksamana Muda John Lie? Dikutip dari berbagai sumber, nama asli John Lie adalah Jahja Daniel Dharma, seorang Indonesia keturunan Tionghoa. Pada masa Perang Dunia Kedua, dia dan beberapa pemuda lainnya bekerja di maskapai pelayaran Koninlijk Paketvaart Maatschapij (KPM).
Pada Februari 1946, usai kekalahan Jepang akibat pemboman Nagasaki dan Hiroshima (6 dan 9 Agustus 1945), John Lie dan teman-temannya pulang ke Indonesia. Namun, saat singgah 10 hari di Singapura John Lie memanfaatkan waktu tersebut untuk mempelajari sistem pembersihan ranjau laut.
Kebetukan waktu itu, Royal Navy di Singapura mengadakan pelatihan. Dengan mengikuti pelatihan ini, John Lie meningkatkan kemampuannya soal taktik perang laut, khususnya terkait operasi kapal logistik di saat perang.
John Lie berharap, pelatihan itu menjadi modal untuk bisa bergabung dalam laskar perjuangan mengusir penjajah dari Indonesia. Sesampainya di Indonesia, tepatnya pada Mei 1946, John Lie menghadapi pimpinan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia (LKRI), Hans Pandelaki dan Mohede di Jakarta. Saat bertemu kedua orang penting ini, John Lie menyampaikan niatnya.
Hasilnya, John Lie diterima bergabung di LKRI dan diberi surat pengantar untuk bertemu Menteri Keuangan AA Maramis. Sang Menteri Keuangan lalu meminta John Lie menghadap Kepala Staf Angkatan Laut RI (ALRI) di Yogyakarta yang saat dijabat Laksamana M Pardi. John Lie pun berangkat menghadap M Pardi. Kepada Pardi, John Lie menyampaikan bahwa dirinya ingin ikut mempertahankan kemerdekaan NKRI.
Karena pengalaman dan kemampuannya yang sangat baik, Pardi menerimanya. Namun, Pardi bingung mau diberi pangkat apa kepada John Lie yang memiliki kemampuan sangat baik di bidang kelautan. "John Lie maunya pangkat apa? Karena pengalaman saudara banyak," tanya Pardi.