Kurangi Beban Lapas/Rutan, Kemenkumham Jatim Dorong Penerapan Restorative Justice
loading...
A
A
A
SURABAYA - Kanwil Kemenkumham Jatim mendorong penerapan restorative justice agar tidak membebani lembaga pemasyarakatan (lapas), rumah tahanan (rutan), lembaga pembinaan khusus anak (LPKA) dan jajarannya. Hal itu dibahas dalam rakor membahas pengendalian tingkat kriminalitas nasional khususnya di Jatim pada Jumat (22/4/2022).
Kegiatan yang digelar di Ruang Rupatama Mapolda Jatim itu diikuti berbagai aparat penegak hukum. Dari Kanwil Kemenkumham Jatim diwakili Kadiv Pemasyarakatan Teguh Wibowo dan Kepala Lapas Surabaya Jalu Yuswa Panjang.
Teguh menjelaskan, lapas/rutan/LPKA sebagai ‘terminal’ terakhir dalam sistem peradilan pidana punya kepentingan dalam kebijakan penegakan hukum. Karena, sistem pemidanaan dengan hukuman badan hanya akan menambah sesak lapas/rutan/LPKA yang ada.
Apalagi, lanjut Teguh, Jatim memiliki tingkat kasus tertinggi kedua di Indonesia. “Saat ini, sebanyak 39 lapas/rutan di Jatim telah dihuni 28.103 warga binaan pemasyarakatan (WBP) atau overkapasitas 109 persen,” ujar Teguh.
Berdasarkan data Bareskrim Mabes Polri, sepanjang 2021 terjadi 29.784 kasus tindak pidana di Jawa Timur (Jatim). Jumlah itu adalah terbesar kedua setelah Sumatera Utara.
Agar tingkat overkapasitas terkendali, pihak Kanwil Kemenkumham Jatim mendorong aparat penegak hukum lain untuk mulai menggalakkan penegakan keadilan restoratif (Restorative Justice). Pihaknya, tutur Teguh, juga tidak akan tinggal diam.
“Kami akan mengoptimalkan peran Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang selama ini punye peran penting dalam mempengaruhi keputusan hakim,” terangnya.
Teguh menjelaskan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang ada di Bapas berperan penting dalam proses peradilan. Karena PK memiliki dokumen pendukung berupa penilitian kemasyarakatan (litmas).
Nah, litmas inilah yang bisa dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan. “Untuk itu, butuh kesepahaman antar aparat penegak hukum pentingnya penerapan keadilan restoratif,” tegasnya.
Melalui keadilan retoratif, lanjut Teguh, pihaknya akan fokus mencarikan solusi pemulihan yang adil bagi semua pihak yang terlibat. Baik korban, pelaku hingga masyarakat. Pria asal Jakarta ini menjelaskan bahwa penerapan keadilan restoratif bukan hal baru di jajaran pemasyarakatan.
Melalui UU Nomor 11/2012, Bapas telah berperan besar dalam menerapkan keadilan restoratif bagi pelaku anak. “Kami yakin keadilan restoratif tidak hanya untuk pelaku anak, namun juga bisa diterapkan untuk pelaku dewasa,” jelasnya.
Kegiatan yang digelar di Ruang Rupatama Mapolda Jatim itu diikuti berbagai aparat penegak hukum. Dari Kanwil Kemenkumham Jatim diwakili Kadiv Pemasyarakatan Teguh Wibowo dan Kepala Lapas Surabaya Jalu Yuswa Panjang.
Teguh menjelaskan, lapas/rutan/LPKA sebagai ‘terminal’ terakhir dalam sistem peradilan pidana punya kepentingan dalam kebijakan penegakan hukum. Karena, sistem pemidanaan dengan hukuman badan hanya akan menambah sesak lapas/rutan/LPKA yang ada.
Apalagi, lanjut Teguh, Jatim memiliki tingkat kasus tertinggi kedua di Indonesia. “Saat ini, sebanyak 39 lapas/rutan di Jatim telah dihuni 28.103 warga binaan pemasyarakatan (WBP) atau overkapasitas 109 persen,” ujar Teguh.
Berdasarkan data Bareskrim Mabes Polri, sepanjang 2021 terjadi 29.784 kasus tindak pidana di Jawa Timur (Jatim). Jumlah itu adalah terbesar kedua setelah Sumatera Utara.
Agar tingkat overkapasitas terkendali, pihak Kanwil Kemenkumham Jatim mendorong aparat penegak hukum lain untuk mulai menggalakkan penegakan keadilan restoratif (Restorative Justice). Pihaknya, tutur Teguh, juga tidak akan tinggal diam.
“Kami akan mengoptimalkan peran Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang selama ini punye peran penting dalam mempengaruhi keputusan hakim,” terangnya.
Teguh menjelaskan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang ada di Bapas berperan penting dalam proses peradilan. Karena PK memiliki dokumen pendukung berupa penilitian kemasyarakatan (litmas).
Nah, litmas inilah yang bisa dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan. “Untuk itu, butuh kesepahaman antar aparat penegak hukum pentingnya penerapan keadilan restoratif,” tegasnya.
Melalui keadilan retoratif, lanjut Teguh, pihaknya akan fokus mencarikan solusi pemulihan yang adil bagi semua pihak yang terlibat. Baik korban, pelaku hingga masyarakat. Pria asal Jakarta ini menjelaskan bahwa penerapan keadilan restoratif bukan hal baru di jajaran pemasyarakatan.
Melalui UU Nomor 11/2012, Bapas telah berperan besar dalam menerapkan keadilan restoratif bagi pelaku anak. “Kami yakin keadilan restoratif tidak hanya untuk pelaku anak, namun juga bisa diterapkan untuk pelaku dewasa,” jelasnya.
(don)