'Zona Hitam' Berkesenian di Kota Pahlawan Mati Sebelum Pandemi
loading...
A
A
A
"Galeri sendiri sebelumnya aktif digunakan ruang ekspresi para generasi muda Surabaya. Sudah puluhan tahun galeri ini dijadikan aktivitas yang bisa dijadikan tolak ukur pertumbuhan kesenian Kota Surabaya. Sekarang tidak hanya ditutup seng, tapi nanti jika seng sudah dibuka di depannya sudah ada peruntukan lain. Ada bangunan yang diwujudkan di depan galeri. Ini kan juga indikasi ada ruang-ruang yang dimatikan secara massif," paparnya.
Upaya itu juga terlihat dengan adaya pembatasan-pebatasan ruang gerak para pelaku seni yang biasanya berproses dan berlatih di lingkungan Balai Pemuda. Para seniman musik, komunitas film indie, dan pelaku seni lain yang biasa memanfaatkan parkir timur Balai Pemuda juga gigit jari. Ruang ekspresi mereka kini juga sudah terlindas oleh pembangunan untuk memoles kecantikan kota.
Menurut Luhur, Balai Pemuda selama ini menjadi pusat berkegiatan generasi muda Surabaya dalam segala hal yang menyangkut seni tradisi. Balai Pemuda juga menjadi tempat jujugan para pelaku seni dari berbagai genre tanpa berpikir materi yang mustahil bisa digayuh oleh seniman muda.
"Pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kota sekarang sangat tidak mengakar pada realitasnya. Ini kan secara tidak langsung mematikan ruang-ruang kesenian itu," tuturnya.
Tidak berhenti di situ, jeratan kuasa atas kebebasan ekspresi seniman Surabaya juga dirasakan. Beberapa hari yang lalu, para seniman cukup kecewa lantaran harus menanggalkan karya hasil renungan yang sekian lama digagas. Konsep matang serta properti yang disiapkan sekian minggu untuk meluapkan uneg-uneg dalam wujud Happening Art terhadang atas alasan keamanan.
(Baca juga: Pemerintah dan YLKI Soroti Ponsel BM yang Masih Banyak Dijual Online )
Demi mengobati kekecawaan, para pelaku seni akhirnya menancapkan properti berupa dua peti mati di Balai Pemuda Surabaya. Luhur menjelaskan, penataan properti bak monumen kematian itu merupakan sebuah perubahan bentuk dari rencana awal yang semestinya Happening Art. Dimana mereka akan konvoi yang dimulai dari Balai Pemuda, DPRD kota Surabaya, Balai Kota, Grahadi dan berakhir Balai Pemuda.
"Karena ada pertimbangan situasi keamanan akhirnya teman-teman memilih dari happening art dijadikan satu instalasi. Pada esensinya tetap sama," kata dia. Aksi tersebut merupakan ungkapan keprihatianan terhadap matinya kebudayaan di Kota Surabaya.
Lewat seni isntalasi bertajuk Zona Hitam, "Perjalanan Peti Mati Mencari Tuannya", para seniman Surabaya itu ingin menegaskan bahwa kantong-kantong kesenian di Surabaya, yang menjadi ruang tumbuh keseniah dan seharusnya diwadahi secara positif telah hilang.
Upaya itu juga terlihat dengan adaya pembatasan-pebatasan ruang gerak para pelaku seni yang biasanya berproses dan berlatih di lingkungan Balai Pemuda. Para seniman musik, komunitas film indie, dan pelaku seni lain yang biasa memanfaatkan parkir timur Balai Pemuda juga gigit jari. Ruang ekspresi mereka kini juga sudah terlindas oleh pembangunan untuk memoles kecantikan kota.
Menurut Luhur, Balai Pemuda selama ini menjadi pusat berkegiatan generasi muda Surabaya dalam segala hal yang menyangkut seni tradisi. Balai Pemuda juga menjadi tempat jujugan para pelaku seni dari berbagai genre tanpa berpikir materi yang mustahil bisa digayuh oleh seniman muda.
"Pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kota sekarang sangat tidak mengakar pada realitasnya. Ini kan secara tidak langsung mematikan ruang-ruang kesenian itu," tuturnya.
Tidak berhenti di situ, jeratan kuasa atas kebebasan ekspresi seniman Surabaya juga dirasakan. Beberapa hari yang lalu, para seniman cukup kecewa lantaran harus menanggalkan karya hasil renungan yang sekian lama digagas. Konsep matang serta properti yang disiapkan sekian minggu untuk meluapkan uneg-uneg dalam wujud Happening Art terhadang atas alasan keamanan.
(Baca juga: Pemerintah dan YLKI Soroti Ponsel BM yang Masih Banyak Dijual Online )
Demi mengobati kekecawaan, para pelaku seni akhirnya menancapkan properti berupa dua peti mati di Balai Pemuda Surabaya. Luhur menjelaskan, penataan properti bak monumen kematian itu merupakan sebuah perubahan bentuk dari rencana awal yang semestinya Happening Art. Dimana mereka akan konvoi yang dimulai dari Balai Pemuda, DPRD kota Surabaya, Balai Kota, Grahadi dan berakhir Balai Pemuda.
"Karena ada pertimbangan situasi keamanan akhirnya teman-teman memilih dari happening art dijadikan satu instalasi. Pada esensinya tetap sama," kata dia. Aksi tersebut merupakan ungkapan keprihatianan terhadap matinya kebudayaan di Kota Surabaya.
Lewat seni isntalasi bertajuk Zona Hitam, "Perjalanan Peti Mati Mencari Tuannya", para seniman Surabaya itu ingin menegaskan bahwa kantong-kantong kesenian di Surabaya, yang menjadi ruang tumbuh keseniah dan seharusnya diwadahi secara positif telah hilang.