Kehebatan Jung Jawa, Kapal Induk Kerajaan Majapahit yang Menyerang Portugis
loading...
A
A
A
Dalam buku Hikayat Raja-Raja Pasai disebutkan, jumlah terbesar Jung yang dikerahkan dalam sebuah ekspedisi adalah sekitar 400 Jung yang disertai dengan malangbang dan kelulus yang tak terhitung banyaknya, yakni ketika Majapahit menyerang Pasai.
Ekspedisi militer terbesar kedua, invasi Singapura pada 1398, Majapahit mengerahkan 300 Jung dengan tidak kurang dari 200.000 orang (lebih dari 600 orang di setiap jong).[50] Di antara Jung terkecil yang tercatat, yang digunakan oleh Chen Yanxiang untuk mengunjungi Korea, panjangnya 33 meter dengan perkiraan kapasitas 220 ton bobot mati, dengan awak 121 orang.
Yang besar dapat membawa 800 orang dan panjangnya mencapai 50 depa (sekitar 91,44–100 m). Sebuah Jung Bali yang digunakan oleh Bujangga Manik untuk melakukan perjalanan dari Bali ke Blambangan memiliki lebar 8 depa (14,6-16 m) dan panjang 25 depa (45,7-50 m).
Kapal ini dipersenjatai meriam sepanjang 3 meter, dan banyak cetbang berukuran kecil. Sebelum tragedi Bubat tahun 1357, raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut Jawa dalam armada dengan 200 kapal besar dan 2000 kapal yang lebih kecil.
Kapal yang dinaiki keluarga kerajaan adalah sebuah jong hibrida Cina-Asia tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno: Jong sasanga wagunan ring Tatarnagari tiniru). Kapal hibrida ini mencampurkan teknik Cina dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan sekat kedap air (watertight bulkhead), dan penambahan kemudi sentral.
Pelaut Melayu dan Tionghoa
Pada abad ke-15 hingga ke-16, Jung tidak hanya digunakan pelaut Jawa. Para pelaut Melayu dan Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Jung memegang peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau.
Ia menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara yang meliputi Campa (ujung selatan Vietnam), Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka dan Makassar. Menjelang akhir abad ke-17, ketika perang Jawa tidak bisa lagi membawa hasil bumi dengan jungnya ke pelbagai penjuru dunia.
Bahkan, orang Jawa sudah tidak lagi punya galangan kapal. Kantor Maskapai Perdagangan Hindia-Belanda (VOC) di Batavia melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah tidak lagi memiliki kapal-kapal besar.
Para sejarawan menyimpulkan sebagaimana ditulis Okezone.com, Jung dan tradisi besar maritim Jawa hancur akibat ekspansi militer-perniagaan Belanda. Serta, sikap represif Sultan Agung dari Mataram terhadap kota kota pesisir utara Jawa. Raja-raja Mataram pengganti Sultan Agung bersikap anti perniagaan.
Terdapat pula perahu Jung pada masa Majapahit. Kerajaan Majapahit merupakan sebuah kerajaan besar pada abad 13-15 Masehi yang hampir menguasai hampir seluruh Nusantara dan beberapa daerah di luar Indonesia serta memiliki perdagangan dan pelayaran yang begitu maju.
Ekspedisi militer terbesar kedua, invasi Singapura pada 1398, Majapahit mengerahkan 300 Jung dengan tidak kurang dari 200.000 orang (lebih dari 600 orang di setiap jong).[50] Di antara Jung terkecil yang tercatat, yang digunakan oleh Chen Yanxiang untuk mengunjungi Korea, panjangnya 33 meter dengan perkiraan kapasitas 220 ton bobot mati, dengan awak 121 orang.
Yang besar dapat membawa 800 orang dan panjangnya mencapai 50 depa (sekitar 91,44–100 m). Sebuah Jung Bali yang digunakan oleh Bujangga Manik untuk melakukan perjalanan dari Bali ke Blambangan memiliki lebar 8 depa (14,6-16 m) dan panjang 25 depa (45,7-50 m).
Kapal ini dipersenjatai meriam sepanjang 3 meter, dan banyak cetbang berukuran kecil. Sebelum tragedi Bubat tahun 1357, raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut Jawa dalam armada dengan 200 kapal besar dan 2000 kapal yang lebih kecil.
Kapal yang dinaiki keluarga kerajaan adalah sebuah jong hibrida Cina-Asia tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno: Jong sasanga wagunan ring Tatarnagari tiniru). Kapal hibrida ini mencampurkan teknik Cina dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan sekat kedap air (watertight bulkhead), dan penambahan kemudi sentral.
Pelaut Melayu dan Tionghoa
Pada abad ke-15 hingga ke-16, Jung tidak hanya digunakan pelaut Jawa. Para pelaut Melayu dan Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Jung memegang peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau.
Ia menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara yang meliputi Campa (ujung selatan Vietnam), Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka dan Makassar. Menjelang akhir abad ke-17, ketika perang Jawa tidak bisa lagi membawa hasil bumi dengan jungnya ke pelbagai penjuru dunia.
Bahkan, orang Jawa sudah tidak lagi punya galangan kapal. Kantor Maskapai Perdagangan Hindia-Belanda (VOC) di Batavia melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah tidak lagi memiliki kapal-kapal besar.
Para sejarawan menyimpulkan sebagaimana ditulis Okezone.com, Jung dan tradisi besar maritim Jawa hancur akibat ekspansi militer-perniagaan Belanda. Serta, sikap represif Sultan Agung dari Mataram terhadap kota kota pesisir utara Jawa. Raja-raja Mataram pengganti Sultan Agung bersikap anti perniagaan.
Terdapat pula perahu Jung pada masa Majapahit. Kerajaan Majapahit merupakan sebuah kerajaan besar pada abad 13-15 Masehi yang hampir menguasai hampir seluruh Nusantara dan beberapa daerah di luar Indonesia serta memiliki perdagangan dan pelayaran yang begitu maju.