Kehebatan Jung Jawa, Kapal Induk Kerajaan Majapahit yang Menyerang Portugis
loading...
A
A
A
Sejak berabad-abad silam, Indonesia dikenal dengan pelaut-pelautnya yang handal . Mereka merajai ekspedisi laut menyalurkan komoditas rempah-rempah menggunakan kapal-kapal kargo.
Teknologi perkapalan yang luar biasa sudah dimiliki Indonesia sebelum bangsa Eropa menguasainya. Seorang astronomer kesohor dari Yunani bernama Claudius Ptolemaeus mengakui hal ini. Claudius Ptolemaeus menyebutnya kolandiaphonta, yang berarti kapal dari Sumatera atau Jawa.
Mengutip nationalgeographic, sejarahnya dimulai pada era 1500-an ketika orang Jawa dikenal menguasai kawasan Asia Tenggara dengan menguasai jalur rempah antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Lambat laun, pelabuhan Malaka juga menjadi pusat perdagangan pada masa itu.
Terpusatnya perdagangan di pelabuhan Nusantara itu menjadi dorongan bagi orang di Jawa untuk terus mengembangkan kapal-kapal besar demi ekspansi kawasan dagangnya.
Pada abad ke-8, perkapalan Nusantara pun mencapai puncak kejayaannya ketika orang Jawa berhasil membuat kapal terbesar dalam sejarah dunia. Orang Jawa menyebutnya “jung”, yang dalam bahasa Jawa kuno berarti perahu.
Baca juga: Tan Peng Nio, Mulan Van Java yang Gagah Berani Melawan Kebengisan Tentara VOC Belanda
Kapal Jung adalah kapal layar tradisional yang digunakan oleh orang Jawa pada jaman dahulu. Jung merupakan kapal laut yang besar biasanya dipakai untuk berdagang dengan jarak yang jauh ataupun untuk berperang. Jung Jawa memiliki sepasang kemudi di buritan, sebuah rumah di atas geladak.
Kapasitas Jung Jawa ini berkisar 200-300 ton dan mampungi mengarungi Laut Jawa, Laut Cina hingga Teluk Benggala. Jung Jawa yang terbesar dapat mencapai hingga 1000 ton, yaitu Jung yang dipakai orang Jawa untuk menyerang Malaka pada tahun 1513. Lambung kapal Jung dibentuk dengan menyambungkan papan-papan pada lunas kapal.
Kemudian disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut, atau paku besi. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip. Kapal ini dilengkapi dengan dua batang kemudi menyerupai dayung, serta layar berbentuk segi empat. Pelaut Portugis menyebut juncos, pelaut Italia menyebut zonchi.
Istilah jung dipakai pertama kali dalam catatan perjalanan Rahib Odrico, Jonhan de Marignolli, dan Ibnu Battuta yang berlayar ke Nusantara, awal abad ke-14. Mereka memuji kehebatan kapal Jawa berukuran raksasa sebagai penguasa laut Asia Tenggara.
Gambaran tentang jung Jawa secara spesifik dilaporkan Alfonso de Albuquerque, komandan armada Portugis yang menduduki Malaka pada 1511. Orang Portugis mengenali Jawa sebagai asal usul jung-jung terbesar.
Kapal jenis ini digunakan angkatan laut kerajaan Jawa (Demak) untuk menyerang armada Portugis. Jung Jawa memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat serta mampu menahan tembakan meriam kapal kapal Portugis. Bobot jung rata-rata sekitar 600 ton, melebihi kapal perang Portugis
Jung terbesar dari Kerajaan Demak bobotnya mencapai 1.000 ton yang digunakan sebagai pengangkut pasukan Jawa untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513. Bisa dikatakan, kapal jung jawa ini disandingkan dengan kapal induk di era modern sekarang ini.
"Anunciada (kapal Portugis yang terbesar yang berada di Malaka pada tahun 1511) sama sekali tidak menyerupai sebuah kapal bila disandingkan dengan Jung Jawa," tulis pelaut Portugis Tom Pires dalam Summa Orientel (1515).
Hanya saja jung Jawa raksasa ini, menurut Tome Pires, lamban bergerak saat bertempur dengan kapal-kapal portugis yang lebih ramping dan lincah. Dengan begitu, armada Portugis bisa menghalau jung Jawa dari perairan Malaka.
Diego de Couto , pelaut Portugis yang menjelajahi samudera pada pertengahan abad ke-16 di buku "Da Asia", terbitan 1645 menyebutkan, orang Jawa lebih dulu berlayar sampai ke Tanjung Harapan, Afrika, dan Madagaskar.
Ia mendapati penduduk Tanjung Harapan awal abad ke-16 berkulit cokelat seperti orang Jawa. "Mereka mengaku keturunan Jawa," kata Couto, sebagaimana dikutip Anthony Reid dalam buku" Sejarah Modern Awal Asia Tenggara."
Baca juga: Kisah Cinta Terlarang Amangkurat 1 dengan Ratu Malang dan Dikurungnya 60 Dayang
Ketika pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal Jung Jawa. Kapal dagang milik orang Jawa ini menguasai jalur rempah rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka.
Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu menjadi kota orang Jawa. Di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap, dan sekaligus mengendalikan perdagangan internasional. Tukang-tukang kayu Jawa yang terampil membangun galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara itu.
Hadirnya kapal raksasa ini turut tercatat dalam laporan sejarah abad 16 yang ditulis oleh Gaspar Correia. Dalam catatan itu, ia menceritakan tentang kapal raksasa dari Jawa yang tidak mempan ditembak meriam terbesar. Dari empat lapis papan kapal, hanya dua saja yang bisa ditembus.
Pada abad ke-14, Kapal Jung Jawa semakin dikenal oleh para pelaut di dunia. Kapal-kapal tersebut digunakan secara besar-besaran oleh Kerajaan Majapahit sebagai kapal angkut militer.
Jumlah terbesar jung perang Majapahit mencapai 400 kapal yang dikelompokkan menjadi 5 armada. Kapal-kapal itu mampu menampung hingga 800 prajurit dengan panjang mencapai 50 depa atau setara 100 meter. Untuk ukuran kecil, kapal ini memiliki panjang 33 meter dengan kapasitas 121 prajurit.
Dari waktu ke waktu, jung Majapahit mengalami alih fungsi. Melihat kapasitasnya yang cukup besar, kapal ini akhirnya juga dijadikan sebagai kapal dagang.
Niccolo da Conti pada abad ke-15 menggambarkan kargo Jawa tersebut memiliki ukuran yang lebih besar dari kapal terbesar bangsa Portugis pada masa itu, yakni kapal Flor de La Mar.
Menurut buku “Majapahit Peradaban Maritim” yang ditulis oleh Irwan Djoko Nugroho, Jung Jawa memiliki ukuran 4 hingga 5 kali lipat Kapal Flor de La Mar. Bahkan, kapal jung bisa memuat komoditas hingga 2.000 ton.
Berdasarkan catatan Duarte Barosa, Jung Jawa digunakan untuk melakukan perdagangan dari Asia Tenggara hingga Timur Tengah. Barang dagangan yang dibawa adalah beras, daging sapi, kambing, babi, bawang, senjata tajam, emas, sutra, kamper, hingga kayu gaharu.
Pada masa itu pula, penjelajahan orang-orang Nusantara mencapai prestasi terbesarnya. Sebab, hampir semua komoditas rempah-rempah dari Asia ditemukan di Jawa.
Baca juga: Awal Mula Panembahan Senopati Bercinta dengan Nyi Roro Kidul di Laut Selatan
Zaman Majapahit
Kapal Jung digunakan secara besar-besaran oleh Kerajaan Majapahit sebagai kekuatan lautnya. Tidak diketahui berapa tepatnya jumlah total jong yang digunakan oleh Majapahit, tetapi mereka dikelompokkan menjadi 5 armada.
Dalam buku Hikayat Raja-Raja Pasai disebutkan, jumlah terbesar Jung yang dikerahkan dalam sebuah ekspedisi adalah sekitar 400 Jung yang disertai dengan malangbang dan kelulus yang tak terhitung banyaknya, yakni ketika Majapahit menyerang Pasai.
Ekspedisi militer terbesar kedua, invasi Singapura pada 1398, Majapahit mengerahkan 300 Jung dengan tidak kurang dari 200.000 orang (lebih dari 600 orang di setiap jong).[50] Di antara Jung terkecil yang tercatat, yang digunakan oleh Chen Yanxiang untuk mengunjungi Korea, panjangnya 33 meter dengan perkiraan kapasitas 220 ton bobot mati, dengan awak 121 orang.
Yang besar dapat membawa 800 orang dan panjangnya mencapai 50 depa (sekitar 91,44–100 m). Sebuah Jung Bali yang digunakan oleh Bujangga Manik untuk melakukan perjalanan dari Bali ke Blambangan memiliki lebar 8 depa (14,6-16 m) dan panjang 25 depa (45,7-50 m).
Kapal ini dipersenjatai meriam sepanjang 3 meter, dan banyak cetbang berukuran kecil. Sebelum tragedi Bubat tahun 1357, raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut Jawa dalam armada dengan 200 kapal besar dan 2000 kapal yang lebih kecil.
Kapal yang dinaiki keluarga kerajaan adalah sebuah jong hibrida Cina-Asia tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno: Jong sasanga wagunan ring Tatarnagari tiniru). Kapal hibrida ini mencampurkan teknik Cina dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan sekat kedap air (watertight bulkhead), dan penambahan kemudi sentral.
Pelaut Melayu dan Tionghoa
Pada abad ke-15 hingga ke-16, Jung tidak hanya digunakan pelaut Jawa. Para pelaut Melayu dan Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Jung memegang peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau.
Ia menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara yang meliputi Campa (ujung selatan Vietnam), Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka dan Makassar. Menjelang akhir abad ke-17, ketika perang Jawa tidak bisa lagi membawa hasil bumi dengan jungnya ke pelbagai penjuru dunia.
Bahkan, orang Jawa sudah tidak lagi punya galangan kapal. Kantor Maskapai Perdagangan Hindia-Belanda (VOC) di Batavia melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah tidak lagi memiliki kapal-kapal besar.
Para sejarawan menyimpulkan sebagaimana ditulis Okezone.com, Jung dan tradisi besar maritim Jawa hancur akibat ekspansi militer-perniagaan Belanda. Serta, sikap represif Sultan Agung dari Mataram terhadap kota kota pesisir utara Jawa. Raja-raja Mataram pengganti Sultan Agung bersikap anti perniagaan.
Terdapat pula perahu Jung pada masa Majapahit. Kerajaan Majapahit merupakan sebuah kerajaan besar pada abad 13-15 Masehi yang hampir menguasai hampir seluruh Nusantara dan beberapa daerah di luar Indonesia serta memiliki perdagangan dan pelayaran yang begitu maju.
Perahu-perahu jung pada masa Majapahit ini memiliki berbagai ukuran mulai dari kecil hingga besar yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perjalanan yang ditempuh. Perjalanan mencari rempah-rempah ke daerah Ambon, Sumbawa, Flores dan lain-lain, perahu yang digunakan adalah perahu Jung besar dengan bobot ratusan ton. S
Sedangkan pelayaran dalam wilayah sekitar pulau Jawa menggunakan perahu jung kecil atau perahu jungkung. Bukti kepiawaian orang Jawa dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief Candi Borobudur yang memvisualkan perahu bercadik - belakangan disebut sebagai "Kapal Borobudur".
Teknologi pembuatan Jung tak jauh berbeda dengan pengerjaan kapal Borobudur; seluruh badan kapal dibangun tanpa menggunakan paku. Kapal Borobudur tercantum dalam relief candi Borobudur. Kapal Borobudur telah memainkan peran besar dalam segenap urusan orang Jawa di bidang pelayaran, selama beratus ratus tahun.
Memasuki awal abad ke-8, peran kapal Borobudur digeser oleh kapal kapal Jawa yang berukuran lebih besar, dengan tiga atau empat layar sebagai Jung.
Sumber tulisan :
- Nationalgeographic,
- Hikayat Raja-Raja Pasai, -
- Okezone
- Diolah dari berbagai sumber
Teknologi perkapalan yang luar biasa sudah dimiliki Indonesia sebelum bangsa Eropa menguasainya. Seorang astronomer kesohor dari Yunani bernama Claudius Ptolemaeus mengakui hal ini. Claudius Ptolemaeus menyebutnya kolandiaphonta, yang berarti kapal dari Sumatera atau Jawa.
Mengutip nationalgeographic, sejarahnya dimulai pada era 1500-an ketika orang Jawa dikenal menguasai kawasan Asia Tenggara dengan menguasai jalur rempah antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Lambat laun, pelabuhan Malaka juga menjadi pusat perdagangan pada masa itu.
Terpusatnya perdagangan di pelabuhan Nusantara itu menjadi dorongan bagi orang di Jawa untuk terus mengembangkan kapal-kapal besar demi ekspansi kawasan dagangnya.
Pada abad ke-8, perkapalan Nusantara pun mencapai puncak kejayaannya ketika orang Jawa berhasil membuat kapal terbesar dalam sejarah dunia. Orang Jawa menyebutnya “jung”, yang dalam bahasa Jawa kuno berarti perahu.
Baca juga: Tan Peng Nio, Mulan Van Java yang Gagah Berani Melawan Kebengisan Tentara VOC Belanda
Kapal Jung adalah kapal layar tradisional yang digunakan oleh orang Jawa pada jaman dahulu. Jung merupakan kapal laut yang besar biasanya dipakai untuk berdagang dengan jarak yang jauh ataupun untuk berperang. Jung Jawa memiliki sepasang kemudi di buritan, sebuah rumah di atas geladak.
Kapasitas Jung Jawa ini berkisar 200-300 ton dan mampungi mengarungi Laut Jawa, Laut Cina hingga Teluk Benggala. Jung Jawa yang terbesar dapat mencapai hingga 1000 ton, yaitu Jung yang dipakai orang Jawa untuk menyerang Malaka pada tahun 1513. Lambung kapal Jung dibentuk dengan menyambungkan papan-papan pada lunas kapal.
Kemudian disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut, atau paku besi. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip. Kapal ini dilengkapi dengan dua batang kemudi menyerupai dayung, serta layar berbentuk segi empat. Pelaut Portugis menyebut juncos, pelaut Italia menyebut zonchi.
Istilah jung dipakai pertama kali dalam catatan perjalanan Rahib Odrico, Jonhan de Marignolli, dan Ibnu Battuta yang berlayar ke Nusantara, awal abad ke-14. Mereka memuji kehebatan kapal Jawa berukuran raksasa sebagai penguasa laut Asia Tenggara.
Gambaran tentang jung Jawa secara spesifik dilaporkan Alfonso de Albuquerque, komandan armada Portugis yang menduduki Malaka pada 1511. Orang Portugis mengenali Jawa sebagai asal usul jung-jung terbesar.
Kapal jenis ini digunakan angkatan laut kerajaan Jawa (Demak) untuk menyerang armada Portugis. Jung Jawa memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat serta mampu menahan tembakan meriam kapal kapal Portugis. Bobot jung rata-rata sekitar 600 ton, melebihi kapal perang Portugis
Jung terbesar dari Kerajaan Demak bobotnya mencapai 1.000 ton yang digunakan sebagai pengangkut pasukan Jawa untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513. Bisa dikatakan, kapal jung jawa ini disandingkan dengan kapal induk di era modern sekarang ini.
"Anunciada (kapal Portugis yang terbesar yang berada di Malaka pada tahun 1511) sama sekali tidak menyerupai sebuah kapal bila disandingkan dengan Jung Jawa," tulis pelaut Portugis Tom Pires dalam Summa Orientel (1515).
Hanya saja jung Jawa raksasa ini, menurut Tome Pires, lamban bergerak saat bertempur dengan kapal-kapal portugis yang lebih ramping dan lincah. Dengan begitu, armada Portugis bisa menghalau jung Jawa dari perairan Malaka.
Diego de Couto , pelaut Portugis yang menjelajahi samudera pada pertengahan abad ke-16 di buku "Da Asia", terbitan 1645 menyebutkan, orang Jawa lebih dulu berlayar sampai ke Tanjung Harapan, Afrika, dan Madagaskar.
Ia mendapati penduduk Tanjung Harapan awal abad ke-16 berkulit cokelat seperti orang Jawa. "Mereka mengaku keturunan Jawa," kata Couto, sebagaimana dikutip Anthony Reid dalam buku" Sejarah Modern Awal Asia Tenggara."
Baca juga: Kisah Cinta Terlarang Amangkurat 1 dengan Ratu Malang dan Dikurungnya 60 Dayang
Ketika pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal Jung Jawa. Kapal dagang milik orang Jawa ini menguasai jalur rempah rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka.
Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu menjadi kota orang Jawa. Di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap, dan sekaligus mengendalikan perdagangan internasional. Tukang-tukang kayu Jawa yang terampil membangun galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara itu.
Hadirnya kapal raksasa ini turut tercatat dalam laporan sejarah abad 16 yang ditulis oleh Gaspar Correia. Dalam catatan itu, ia menceritakan tentang kapal raksasa dari Jawa yang tidak mempan ditembak meriam terbesar. Dari empat lapis papan kapal, hanya dua saja yang bisa ditembus.
Pada abad ke-14, Kapal Jung Jawa semakin dikenal oleh para pelaut di dunia. Kapal-kapal tersebut digunakan secara besar-besaran oleh Kerajaan Majapahit sebagai kapal angkut militer.
Jumlah terbesar jung perang Majapahit mencapai 400 kapal yang dikelompokkan menjadi 5 armada. Kapal-kapal itu mampu menampung hingga 800 prajurit dengan panjang mencapai 50 depa atau setara 100 meter. Untuk ukuran kecil, kapal ini memiliki panjang 33 meter dengan kapasitas 121 prajurit.
Dari waktu ke waktu, jung Majapahit mengalami alih fungsi. Melihat kapasitasnya yang cukup besar, kapal ini akhirnya juga dijadikan sebagai kapal dagang.
Niccolo da Conti pada abad ke-15 menggambarkan kargo Jawa tersebut memiliki ukuran yang lebih besar dari kapal terbesar bangsa Portugis pada masa itu, yakni kapal Flor de La Mar.
Menurut buku “Majapahit Peradaban Maritim” yang ditulis oleh Irwan Djoko Nugroho, Jung Jawa memiliki ukuran 4 hingga 5 kali lipat Kapal Flor de La Mar. Bahkan, kapal jung bisa memuat komoditas hingga 2.000 ton.
Berdasarkan catatan Duarte Barosa, Jung Jawa digunakan untuk melakukan perdagangan dari Asia Tenggara hingga Timur Tengah. Barang dagangan yang dibawa adalah beras, daging sapi, kambing, babi, bawang, senjata tajam, emas, sutra, kamper, hingga kayu gaharu.
Pada masa itu pula, penjelajahan orang-orang Nusantara mencapai prestasi terbesarnya. Sebab, hampir semua komoditas rempah-rempah dari Asia ditemukan di Jawa.
Baca juga: Awal Mula Panembahan Senopati Bercinta dengan Nyi Roro Kidul di Laut Selatan
Zaman Majapahit
Kapal Jung digunakan secara besar-besaran oleh Kerajaan Majapahit sebagai kekuatan lautnya. Tidak diketahui berapa tepatnya jumlah total jong yang digunakan oleh Majapahit, tetapi mereka dikelompokkan menjadi 5 armada.
Dalam buku Hikayat Raja-Raja Pasai disebutkan, jumlah terbesar Jung yang dikerahkan dalam sebuah ekspedisi adalah sekitar 400 Jung yang disertai dengan malangbang dan kelulus yang tak terhitung banyaknya, yakni ketika Majapahit menyerang Pasai.
Ekspedisi militer terbesar kedua, invasi Singapura pada 1398, Majapahit mengerahkan 300 Jung dengan tidak kurang dari 200.000 orang (lebih dari 600 orang di setiap jong).[50] Di antara Jung terkecil yang tercatat, yang digunakan oleh Chen Yanxiang untuk mengunjungi Korea, panjangnya 33 meter dengan perkiraan kapasitas 220 ton bobot mati, dengan awak 121 orang.
Yang besar dapat membawa 800 orang dan panjangnya mencapai 50 depa (sekitar 91,44–100 m). Sebuah Jung Bali yang digunakan oleh Bujangga Manik untuk melakukan perjalanan dari Bali ke Blambangan memiliki lebar 8 depa (14,6-16 m) dan panjang 25 depa (45,7-50 m).
Kapal ini dipersenjatai meriam sepanjang 3 meter, dan banyak cetbang berukuran kecil. Sebelum tragedi Bubat tahun 1357, raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut Jawa dalam armada dengan 200 kapal besar dan 2000 kapal yang lebih kecil.
Kapal yang dinaiki keluarga kerajaan adalah sebuah jong hibrida Cina-Asia tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno: Jong sasanga wagunan ring Tatarnagari tiniru). Kapal hibrida ini mencampurkan teknik Cina dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan sekat kedap air (watertight bulkhead), dan penambahan kemudi sentral.
Pelaut Melayu dan Tionghoa
Pada abad ke-15 hingga ke-16, Jung tidak hanya digunakan pelaut Jawa. Para pelaut Melayu dan Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Jung memegang peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau.
Ia menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara yang meliputi Campa (ujung selatan Vietnam), Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka dan Makassar. Menjelang akhir abad ke-17, ketika perang Jawa tidak bisa lagi membawa hasil bumi dengan jungnya ke pelbagai penjuru dunia.
Bahkan, orang Jawa sudah tidak lagi punya galangan kapal. Kantor Maskapai Perdagangan Hindia-Belanda (VOC) di Batavia melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah tidak lagi memiliki kapal-kapal besar.
Para sejarawan menyimpulkan sebagaimana ditulis Okezone.com, Jung dan tradisi besar maritim Jawa hancur akibat ekspansi militer-perniagaan Belanda. Serta, sikap represif Sultan Agung dari Mataram terhadap kota kota pesisir utara Jawa. Raja-raja Mataram pengganti Sultan Agung bersikap anti perniagaan.
Terdapat pula perahu Jung pada masa Majapahit. Kerajaan Majapahit merupakan sebuah kerajaan besar pada abad 13-15 Masehi yang hampir menguasai hampir seluruh Nusantara dan beberapa daerah di luar Indonesia serta memiliki perdagangan dan pelayaran yang begitu maju.
Perahu-perahu jung pada masa Majapahit ini memiliki berbagai ukuran mulai dari kecil hingga besar yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perjalanan yang ditempuh. Perjalanan mencari rempah-rempah ke daerah Ambon, Sumbawa, Flores dan lain-lain, perahu yang digunakan adalah perahu Jung besar dengan bobot ratusan ton. S
Sedangkan pelayaran dalam wilayah sekitar pulau Jawa menggunakan perahu jung kecil atau perahu jungkung. Bukti kepiawaian orang Jawa dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief Candi Borobudur yang memvisualkan perahu bercadik - belakangan disebut sebagai "Kapal Borobudur".
Teknologi pembuatan Jung tak jauh berbeda dengan pengerjaan kapal Borobudur; seluruh badan kapal dibangun tanpa menggunakan paku. Kapal Borobudur tercantum dalam relief candi Borobudur. Kapal Borobudur telah memainkan peran besar dalam segenap urusan orang Jawa di bidang pelayaran, selama beratus ratus tahun.
Memasuki awal abad ke-8, peran kapal Borobudur digeser oleh kapal kapal Jawa yang berukuran lebih besar, dengan tiga atau empat layar sebagai Jung.
Sumber tulisan :
- Nationalgeographic,
- Hikayat Raja-Raja Pasai, -
- Okezone
- Diolah dari berbagai sumber
(msd)