Muslihat Mataram Manfaatkan Rakyat Surabaya Taklukkan Sunan Giri

Kamis, 16 Desember 2021 - 08:13 WIB
loading...
Muslihat Mataram Manfaatkan Rakyat Surabaya Taklukkan Sunan Giri
Ilustrasi Sunan Giri. Foto: Istimewa
A A A
SULTAN Agung Hanyokrokusumo, gusar. Sebagai Raja Mataram, dia merasa kekuasaannya (1613-1645) belum sempurna sebelum wilayah Giri Kedathon di Bang Wetan atau Jawa Timur, tunduk.

Setelah mangkatnya Pangeran Surabaya, wilayah Surabaya telah berhasil dia taklukkan melalui jalur pernikahan. Sultan Agung menjodohkan Ratu Pandhansari, adik kandungnya dengan Pangeran Pekik, putra Pangeran Surabaya.

Sebagai penerus Kerajaan Pajang dan Kerajaan Demak, Mataram telah menjadi kerajaan terbesar di Tanah Jawa. Namun Sunan Giri yang menjadi penguasa Giri Kedathon tetap memiliki pengaruh yang besar.



Sunan Giri Prapen merupakan cucu Sunan Giri Gajah sang penghulu para wali yang bergelar Raja Pandita Satmata. Ia seorang wali yang dihormati, sekaligus tetap menjadi rujukan penguasa di sekitarnya.

Dalam “Serat Centhini I, Kisah Pelarian Putra-putri Sunan Giri Menjelajah Nusa Jawa” yang dituturkan ulang Agus Wahyudi, Sultan Agung kurang menyukai hal itu.

Dalam percakapannya dengan Ratu Pandhansari, adik kandungnya, Sultan Agung mengungkapkan uneg-unegnya.

“Asal kamu tahu, semua penguasa di Jawa telah menyatakan diri tunduk kepada Mataram, tak ada yang membangkang. Hanya satu saja yang belum, yakni Giri,” tutur Sultan Agung.



Giri yang sekarang bernama Gresik merupakan wilayah merdeka. Nama Giri mulai dikenal sejak Sunan Giri Gajah atau Raden Paku mendirikan pondok pesantren sekitar tahun 1480-an.

Sebelumnya wilayah tersebut bernama Tandhes atau Garawasi. Mendengar uneg-uneg Sultan, kepala Ratu Pandhansari hanya mengangguk-angguk. Dia tahu yang dimaksud kakak kandung yang juga sekaligus rajanya.

“Sampai saat ini aku belum memutuskan untuk memerangi Giri, sebab sesuai ramalan masa lalu, hanya suami Nyimas saja yang mampu menundukkan Giri karena suamimu itu (Pangeran Pekik) lebih luhur sebagai keturunan Ngampel Denta serta menang dalam keaslian ilmu,” tambah Sultan Agung.

Pangeran Pekik merupakan keturunan langsung Sultan Ampel atau Ngampel Denta. Keturunannya diyakini lebih luhur dan ilmunya lebih asli dibanding keturunan Giri. Sebab Sunan Giri merupakan murid dan sekaligus menantu Sunan Ampel.



Sementara Sultan Agung merupakan keturunan kesatria trah Majapahit enggan memerangi keturunan ulama seperti Giri.

“Kalau kamu memang mau membantu kakakmu ini, ceritakan saja masalah ini kepada suamimu (Pangeran Pekik),” lanjut Sultan Agung.

Singkat cerita, sesampai di kediamannya, Ratu Pandhansari menceritakan kegusaran Sultan Agung kepada Pangeran Pekik, suaminya. Dia sampaikan dengan runut, rinci, serta hati-hati.

Pangeran Pekik yang sebelumnya rebahan, seketika beranjak dari tidurnya, dan duduk bersila. Penguasa Kadipaten Surabaya itu menyatakan kesanggupannya.



“Kalau aku tahu dari dulu, bahwa kanjeng Sultan menginginkan tunduknya Giri, sudah dari dulu aku bawa dia ke Mataram. Dari dulu hingga sekarang, Giri masih ada di tanganku, di bawah kuasaku,” kata Pangeran Pekik kepada Ratu Pandhansari, istrinya.

Pada hari itu juga Pangeran Pekik meminta istrinya menghadap Sultan Agung. “Ayo nyimas, kita menghadap Kangmas Prabu saat ini juga. Aku tak mau menunggu lama,” tambah Pangeran Pekik.

Pasangan suami istri kemudian bergegas menghadap Sultan Agung. Di depan Sultan Agung, Pangeran Pekik langsung menyatakan kesanggupannya.

“Serahkan saja masalah ini kepada hamba, Gusti,” pintanya seperti tertulis dalam Serat Centhini I, Kisah Pelarian Putra-putri Sunan Giri Menjelajah Nusa Jawa”.

Dengan didahului gestur menyembah, Pangeran Pekik juga menyatakan totalitasnya melaksanakan titah raja.



“Sekalipun Sunan Giri mendatangkan seribu raja beserta bala prajuritnya, hamba tak akan gentar. Sejengkal pun hamba tak akan mundur dari medan perang,” janji Pangeran Pekik.

“Jika hamba gagal menundukkan Giri, lebih baik hamba mati saja, gugur di medan laga,” imbuhnya.

Sultan Agung tersenyum. Ia tidak hanya memberi restu dan sekaligus mengutus Pangeran Pekik sebagai senapati perang. Sultan juga meminta Pekik membawa serta istrinya (Ratu Pandhansari) ikut maju ke medan laga.

Begitu titah Sultan diberikan, operasi penaklukkan Giri langsung digelar. Pangeran Pekik dan Ratu Pandhansari yang dikawal prajurit pilihan Kerajaan Mataram langsung menuju Bang Wetan.



Tujuan pertama adalah Kadipaten Surabaya. Kedatangan mereka disambut Tumenggung Sepanjang. Seluruh petinggi dan abdi langsung berkumpul menyambut sang junjungan yang lama menetap di Mataram.

Pangeran Pekik menerangkan maksud kedatangannya. Di hadapan para bawahannya di Surabaya, dia berharap penaklukan berlangsung dengan jalan damai, tanpa adanya perang. Dia akan meminta Sunan Giri menghadap ke Mataram.

“Tak akan ada korban jiwa, tak perlu ada perang, tak bakalan ada prajurit yang gugur. Semua akan berakhir damai tanpa ada kekerasan,” kata Pangeran Pekik.

Secara silsilah, Pangeran Pekik yang bergenealogi langsung kepada Sunan Ampel, lebih tua dari Sunan Giri. Karenanya meski usia Pangeran Pekik lebih muda, dia biasa memanggil Sunan Giri yang lebih sepuh dengan panggilan Anakmas. Pangeran Pekik datang sendiri mengunjungi Giri.



Di depan Sunan Giri dan Endrasena, seorang Cina mualaf yang menjadi putra angkat Sunan Giri, dia menawarkan penaklukkan jalan damai. Namun Sunan Giri menolak tawaran itu. Perang besar pun pecah. Para parajurit Surabaya menyerbu.

Sunan Giri menunjuk Endrasena yang memiliki dua ratus orang prajurit asal Cina sebagai senopati perang. Semua mengenakan pakaian serba putih dengan bersenjata lengkap.

Selembar kain putih yang telah dirajah asma Allah mengikat pinggang mereka. Pada masing-masing pinggang terselip dua pucuk pistol, sebilah pedang, ditambah tombak pendek di punggung.

Dengan teriakan “sabilullah ! sabilullah!" berulang-ulang serta iringan tabuhan bende perang, pasukan Giri menghadang serbuan pasukan Surabaya.



Pada hari pertama peperangan, pasukan Surabaya yang dipimpin Pangeran Pekik dan Tumenggung Sepanjang, kalah. Banyak yang terbunuh dan kocar-kacir. Yang selamat meninggalkan medan pertempuran dan memilih kembali ke Surabaya. Pangeran Pekik merasa sedih. Kepalanya hanya bisa tertunduk lesu.

Melihat suaminya yang patah semangat dan pasukan Surabaya yang tidak lagi bergairah bertempur, Ratu Pandhansari menawarkan diri maju ke medan laga.

“Kalau Kangmas mengizinkan saya akan mencobanya. Saya mau mengobarkan semangat perang mereka. Siapa tahu bisa berhasil,” pinta Ratu Pandhansari kepada Pangeran Pekik dan diijinkan.

Ratu Pandhansari langsung berganti pakaian kesatria perang. Di depan orang-orang Surabaya, adik kandung Sultan Agung itu mengatakan dirinya sekarang yang menjadi pimpinan perang.



Selain membakar semangat dengan retorika, Ratu Pandhansari juga membagi-bagikan hadiah pakaian dan uang kepada pasukan yang bersedia kembali maju ke medan perang.

“Kedatanganku ke sini dibekali berbagai macam pakaian yang indah serta uang 8.000 riyal lebih. Itu semua akan aku hadiahkan kepada kalian semua. Semuanya!,” pekik Pandhansari.

Upaya Pandhansari berhasil. Bende perang ditabuh. Pasukan Surabaya dengan pakaian warna-warni kembali menyerbu Giri. Sementara di Giri Kedathon, Sunan Giri lengah.

Kocar-kacirnya pasukan Surabaya dianggap mereka sudah gentar dan tidak berani menyerang kembali. Pasukan Surabaya tiba disaat Sunan Giri tengah bersantai dengan Endrasena, putra angkatnya.

Di saat pasukan Endrasena belum sepenuhnya siap, orang-orang Surabaya langsung menerjang. Saling tikam, saling tebas, saling tusuk antara orang-orang Giri dan orang Surabaya tak terelakkan.



Dalam waktu singkat pasukan Surabaya berhasil menaklukkan Giri. Tidak ada satupun pasukan Endrasena yang nekat melawan, disisakan. Semuanya dihabisi. Endrasena sendiri tewas setelah peluru menembus tubuhnya dan dirajang pasukan Surabaya.

Melihat pasukannya telah habis, Sunan Giri menyerah. Dia menyatakan takluk kepada Kerajaan Mataram, dan bersedia saat Pangeran Pekik membawanya menghadap Sultan Agung.

Dalam kericuhan perang tersebut, ketiga putra putri Sunan Giri, yakni Jayengresmi, Jayengsari dan Niken Rancangkapti memilih menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan Giri Kedathon. Ketiganya berpisah satu sama lain, yang kelak peristiwa perpisahan mereka itu diabadikan di dalam Kitab Serat Centhini.
(hsk)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1827 seconds (0.1#10.140)