Akhir Hidup Mahapatih Gajah Mada di Tempat Pertapaan Madakaripura
loading...
A
A
A
JAKARTA - Air terjun di kawasan Madakaripura yang saat ini ramai dikunjungi wisatawan baik domestik maupun mancanegara, ternyata tempat Mahapatih Gajah Mada melakukan meditasi terakhirnya. Dikisahkan bawah di tempat ini Gajah Mada bertapa untuk menyucikan diri demi mencapai moksa.
Menurut kitab Negarakertagama, kawasan Madakaripura merupakan hadiah Raja Hayam Wuruk untuk Mahapatih Gajah Mada. Oleh sebab itu, di tempat ini dibangun sebuah patung sang Mahapatih di dekat lokasi air terjun.
Masyarakat yang ada di sekitar tempat ini percaya bahwa sang Mahapatih menjadikan air terjun tersebut sebagai tempat untuk meditasi terakhir untuk menyucikan diri demi mencapai moksa atau menghilang dari muka bumi. Tidak heran jika banyak orang yang menganut aliran Kejawen yang datang untuk bermeditasi, khususnya pada hari-hari yang dikeramatkan.
Air terjun Madakaripura , tempat Mahapatih Gajah Mada bertapa ini mendapat julukan sebagai air terjun abadi karena tidak pernah berhenti mengalir. Kawasan ini masih termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru dan secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Probolinggo. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di sana, suasana sejuk seakan memberikan aura mistis.
Jika benar apa yang disampaikan Empu Prapanca dalam kitab Negarakertagama itu, maka sesungguhnya tidak ada keraguan soal di mana Gajah Mada menghabiskan sisa hidupnya setelah tidak menjadi Mahapatih. Juga akhir hidupnya di pertapaan Madakaripura setidaknya sedikit menjawab pertanyaan terkait asal usul Gajah Mada.
Dalam lontar Badad Gajah Maddha diceritakan bahwa orangtua Gajah Mada adalah pendeta hindu di Wilatikta (Majapahit). Ayahnya bernama Mpu Curadharmayogi dan ibunya bernama Patni Nuriratih, keduanya diangkat menjadi pendeta oleh Mpu Ragarunting.
Dalam aturan yang berlaku untuk pendeta, kedua pasangan ini dilarang bersetubuh meski sudah berstatus nikah. Selanjutnya Curadharmayogi memilih berdomisili di luar Wilatikta, di asrama Gili Madri, sedangkan Patni Nariratih berdomisili di Wilatikta.
Meski terpisah, namun keduanya intens bertemu. Patni setiap hari mengunjungi sang suami untuk mengantarkan sarapan dan kebutuhan harian lainnya. Hingga pada suatu hari kejadian tidak biasa terjadi di antara keduanya.
Saat hendak menyantap masakan sang istri, tanpa sengaja gelas tersenggol dan air pun tumpah. Melihat hal itu, Curadharmayogi pun pergi mencari air minum. Patni ditinggal sendirian.
Proses kehamilan Patni diawali dengan perbuatan Hyang Brahma (Dewa Api) yang tergoda untuk bersetubuh dengan Patni. Maka berubahlah wujud sang Dewa ini menyerupai Curadharmayogi dan mendatangi Patni, di saat suaminya yang asli sedang pergi mencari air minum.
Kehamilan Patni seolah tamparan bagi keduanya. Bagaimana tidak, keduanya sudah berjanji untuk meninggalkan kenikmatan dunia demi agama. Karena didorong rasa malu itulah keduanya memutuskan kabur ke hutan.
Menurut kitab Negarakertagama, kawasan Madakaripura merupakan hadiah Raja Hayam Wuruk untuk Mahapatih Gajah Mada. Oleh sebab itu, di tempat ini dibangun sebuah patung sang Mahapatih di dekat lokasi air terjun.
Masyarakat yang ada di sekitar tempat ini percaya bahwa sang Mahapatih menjadikan air terjun tersebut sebagai tempat untuk meditasi terakhir untuk menyucikan diri demi mencapai moksa atau menghilang dari muka bumi. Tidak heran jika banyak orang yang menganut aliran Kejawen yang datang untuk bermeditasi, khususnya pada hari-hari yang dikeramatkan.
Air terjun Madakaripura , tempat Mahapatih Gajah Mada bertapa ini mendapat julukan sebagai air terjun abadi karena tidak pernah berhenti mengalir. Kawasan ini masih termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru dan secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Probolinggo. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di sana, suasana sejuk seakan memberikan aura mistis.
Jika benar apa yang disampaikan Empu Prapanca dalam kitab Negarakertagama itu, maka sesungguhnya tidak ada keraguan soal di mana Gajah Mada menghabiskan sisa hidupnya setelah tidak menjadi Mahapatih. Juga akhir hidupnya di pertapaan Madakaripura setidaknya sedikit menjawab pertanyaan terkait asal usul Gajah Mada.
Dalam lontar Badad Gajah Maddha diceritakan bahwa orangtua Gajah Mada adalah pendeta hindu di Wilatikta (Majapahit). Ayahnya bernama Mpu Curadharmayogi dan ibunya bernama Patni Nuriratih, keduanya diangkat menjadi pendeta oleh Mpu Ragarunting.
Dalam aturan yang berlaku untuk pendeta, kedua pasangan ini dilarang bersetubuh meski sudah berstatus nikah. Selanjutnya Curadharmayogi memilih berdomisili di luar Wilatikta, di asrama Gili Madri, sedangkan Patni Nariratih berdomisili di Wilatikta.
Meski terpisah, namun keduanya intens bertemu. Patni setiap hari mengunjungi sang suami untuk mengantarkan sarapan dan kebutuhan harian lainnya. Hingga pada suatu hari kejadian tidak biasa terjadi di antara keduanya.
Saat hendak menyantap masakan sang istri, tanpa sengaja gelas tersenggol dan air pun tumpah. Melihat hal itu, Curadharmayogi pun pergi mencari air minum. Patni ditinggal sendirian.
Proses kehamilan Patni diawali dengan perbuatan Hyang Brahma (Dewa Api) yang tergoda untuk bersetubuh dengan Patni. Maka berubahlah wujud sang Dewa ini menyerupai Curadharmayogi dan mendatangi Patni, di saat suaminya yang asli sedang pergi mencari air minum.
Kehamilan Patni seolah tamparan bagi keduanya. Bagaimana tidak, keduanya sudah berjanji untuk meninggalkan kenikmatan dunia demi agama. Karena didorong rasa malu itulah keduanya memutuskan kabur ke hutan.