Muslihat PKI Mendulang Suara di Jatim dan Aksi Jihad Ansor NU

Sabtu, 25 September 2021 - 05:00 WIB
loading...
A A A
Di lapangan seni dan kebudayaan, para aktivis Lekra turut ambil bagian. Para seniman mensinergikan program partai (PKI) dengan berbagai kegiatan seni di lapangan. Gerakan para kader Lekra dalam sering menimbulkan kemarahan massa NU. Pada Juli 1965. Sebuah pertunjukkan ludruk di rumah kader PKI di Dampit, Kabupaten Malang menyulut kemarahan pemuda Banser NU. Ludruk yang mengambil lakon cerita "Malaikat Kawin", memaksa sejumlah anggota Banser meloncat ke atas panggung dan mengobrak-abriknya.

"Kemudian dengan pisau terhunus satu demi satu para pemain dicengkram tubuhnya dan kemudian disobek mulutnya dengan pisau," tutur Soeprapto, mantan pimpinan Ansor Tajinan Malang dalam buku "Banser Berjihad Menumpas PKI". Begitu juga di Desa Krenceng, Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar. Pada tanggal 14 Oktober 1964, pentas ludruk Lekra yang mementaskan lakon "Lahire Gusti Allah", terpaksa digagalkan pemuda Ansor yang marah.

Selain untuk memviralkan kerja-kerja para kadernya. PKI juga memakai kekuatan media massa untuk menghabisi lawan-lawan politiknya. Sejak awal Njoto mengedepankan konsep pentingnya relasi antara massa rakyat dengan pers. Media massa betul-betul ditempatkan sebagai alat agitasi dan propaganda partai. Karenanya PKI juga melakukan politik infiltrasi pada media massa.

Di Jawa Timur ada sejumlah media yang kebijakan redaksionalnya memperjuangkan program politik PKI. Salah satunya Majalah Suropati yang berkantor di Jalan Genteng Kali Surabaya. Sebuah pavilyun gedung kuno bekas milik seorang pengusaha Tionghoa kaya di jaman kolonial Belanda, sebagai kantornya. Majalah yang berformat kecil (18 x 22 cm) tersebut dipimpin Abdul Manan Adinda atau AM Adinda. "Di tempat itu pada tahun 1952 mereka mendirikan majalah PKI yang pertama di Jawa Timur sesudah kedaulatan RI pulih kembali," tulis Amak Syariffudin dalam "Penyusupan PKI ke Dalam Media Massa Indonesia 1948-1965"

AM Adinda yang asli Surabaya merupakan otak sebuah unit di Brigade-29 di Kediri yang bernama Biro Pendidikan Politik Tentara (Biro Pepolit). Saat peristiwa Madiun 1948, Brigade-29 berafiliasi dengan PKI. Majalah Suropati yang memiliki rubrik "Sketsa", dijual murah. Dengan gaya jurnalisme yang khas, isinya selalu mengeritik pemerintah, peraturan-peraturan atau pelaksanaan peraturan yang tidak sejalan dengan politik PKI.

Tidak berhenti di majalah Suropati. AM Adinda yang menjadi penentu kebijakan redaksi Suropati juga menyusup ke dalam harian Trompet Masjarakat. Goei Poo An mendirikan Trompet Masjarakat pada 26 September 1947, di Surabaya. Dengan gaya bahasa Melayu-China, Trompet Masjarakat sejak awal berdiri sudah dikenal berkarakter revolusiner. Trompet Masjarakat yang mengusung tag line : Membawa Suara Kaum Kecil, Bebas dari Segala Pengaruh, mudah disusupi PKI.

AM Adinda berhasil duduk sebagai redaktur utama sekaligus wakil pemimpin redaksi. Atas upayanya, posisi pimpinan umum dan pimpinan redaksi diambil alih Goei Hok Gie, anak Goei Poo An. "Di bawah pimpinan dia, berubahlah sepenuhnya harian itu menjadi trompet PKI," kata Amak Syariffudin. Pada tahun 1962, Juki Abdul Azis, adik AM Adinda mendirikan Harian Jawa Timur. Media massa ini juga berafiliasi dengan PKI. Upaya menghimpun sebanyak-banyaknya opini publik dan kehidupan politik di Jawa Timur melalui kekuatan media massa terus dilakukan PKI. Selain majalah Suropati, dan harian Trompet Masjarakat, di Jawa Timur juga ada harian Jalan Rakyat. Kemudian juga Mingguan Indonesia serta Mingguan Pemuda.

Sementara di tingkat nasional digawangi Harian Rakyat dengan Njoto sebagai pimpinan redaksinya. Di Jawa Timur, media massa yang berafiliasi dengan PKI memakai jasa percetakan kecil. Sebab percetakan besar dikuasai pemerintah dan ditempatkan di bawah kendali Pelaksana Penguasa Perang Daerah (Papelrada). Di kalangan rakyat kecil yang menjadi basis massanya. Gaya penulisan media PKI yang lugas, tajam sekaligus menohok, relatif disukai.

Gaya jurnalisme media massa PKI selalu agitatif, dengan kalimat sloganisme yang kasar. Kata "Ganyang", "Kabir" (Kapitalis Birokrat), "Setan Desa", "Setan Kota", "Offensif Revolusioner", dan "Kontra-Revolusi", familiar dipakai. Menurut Amak Syariffudin," suatu ciri jurnalisme mereka (PKI) ialah melakukan penggiringan dengan membentuk opini publik untuk kepentingan PKI".

Sinergi antara agitasi propaganda media massa PKI dengan kerja politik turba (turun ke bawah) ke grass root, terbukti mengejutkan lawan-lawan politiknya di Pemilu 1955. Di Karsidenan Madiun, perolehan suara PKI juga mengejutkan. PKI meraup 447.000 suara, mengungguli PNI yang hanya mendapat dukungan 254.000 suara, Masyumi 137.000 suara dan NU 92.000 suara.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1519 seconds (0.1#10.140)