Kisah Mistis Bung Tomo Hadapi Agresi Militer Belanda, Bertemu Wanita-wanita Cantik di Lereng Wilis

Senin, 20 September 2021 - 06:57 WIB
loading...
Kisah Mistis Bung Tomo Hadapi Agresi Militer Belanda, Bertemu Wanita-wanita Cantik di Lereng Wilis
Bung Tomo, pahlawan nasional yang namanya tersohor lewat pidato-pidatonya. Foto/Ist.
A A A
Gelegar suara Bung Tomo masuk ke telingga pejuang lewat udara. Pekik semangat dan heroisme untuk terus berjuang, menyalak membangkitkan keberanian. Namanya tersohor lewat pidato yang berhasil membakar semangat warga Surabaya di masa pertempuran.

Baca Juga: Bung Tomo dan Kisah Kolam Kanuragan Mbah Kiai Pucung di Blitar

Pekik merdekanya menumbuhkan gerak langkah untuk terus berjuang. Dari radio, Bung Tomo mengerakan ribuan anak muda untuk angkat senjata. Mereka dengan gagah berani menghadapi pasukan Sekutu yang tak menginginkan Indonesia merdeka.



Bismillahirrohmanirrohim..Merdeka!!! Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya. Kita semuanya telah mengetahui. Bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua.



Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan, menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara Jepang. Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan. Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka

Saudara-saudara.

Di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya. Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, Pemuda-pemuda yang berawal dari Sulawesi, Pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali, Pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan, Pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera, Pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing.

Dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung. Telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol. Telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana. Hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara. Dengan mendatangkan Presiden dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini. Maka kita ini tunduk untuk memberhentikan pertempuran.



Tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri. Dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya. Saudara-saudara kita semuanya. Kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu, dan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya. Ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia. Ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini.

Dengarkanlah ini tentara Inggris!!!

Ini jawaban kita. Ini jawaban rakyat Surabaya. Ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian. Hai tentara Inggris! Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu. Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu.

Kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu. Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita:

Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah. Yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih. Maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga. Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah keadaan genting! Tetapi saya peringatkan sekali lagi. Jangan mulai menembak, Baru kalau kita ditembak, Maka kita akan ganti menyerang mereka itu kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita saudara-saudara.

Baca Juga: Kisah Sendang Sinongko dan Pelarian Prajurit Kasultanan Mataram

Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati! Dan kita yakin saudara-saudara. Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara. Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Pidato berapi-api yang dilontarkan Bung Tomo, membakar semangat seluruh rakyat. Semangat untuk melawan penjajahan inilah yang membuat seluruh elemen rakyat bersatu di Kota Surabaya, bertempur dengan gagah berani pada 10 November 1945 menghadapi pasukan Sekutu yang memiliki persenjataan lengkap.

Pasca pertempuran hebat itu, Bung Tomo yang dikisahkan oleh istrinya, Sulistina Soetomo, dalam buku berjudul "Bung Tomo Suamiku", sempat mundur jauh ke lereng Gunung Wilis bersama Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) yang dipimpinnya akibat adanya agresi militer Belanda.

Dalam perjalanan di Gunung Wilis, Bung Tomo yang menawarkan diri menjadi penunjuk jalan, justru terperosok masuk ke dalam jurang. Saat berada di dalam jurang tersebut, Bung Tomo sempat termenung. Namun akhirnya dia memilih untuk melanjutkan perjalanan.

Saat berhadapan dengan dinding gunung, dia mencoba menaikinya tetapi gagal. Upaya untuk menaiki dinding gunung tersebut, terus dilakukannya. Saat berupaya keras, Bung Tomo dikagetkan dengan suara "Jangan di situ!". Namun ketika dicari sumber suara itu, ternyata tidak ada satu orang pun di dekatnya.



Bung Tomo akhirnya mencoba kembaku untuk menaiki dinding gunung, namun suara misterius bernada larangan itu kembali muncul. Setelah mencoba untuk kali ketiga, akhirnya dia berhasil menaiki dinding gunung.

Tubuhnya menggigil kedinginan di tengan hamparan ilalang. Bajunya yang masih basah kuyub, setelah terjebur ke sungai, membuatnya semakin diterkam rasa lapar dan kelelahan. Hujan gerimis yang turun malam itu, membuatnya semakin menderita dan memaksanya untuk bermalam di belantara hutan yang gelap.

Di tengah kelelahan, dan rasa lapar yang menerjangnya. Bung Tomo memilih untuk salat. Usai salat dia dikagetkan dengan soro cahaya, yang dikiranya lampu dari pasukan Belanda. Diapun kembali berdoa, saat itulah sekelebatan didengarnya beberapa kuda berlari cepat membawa kereta kencana ke arah timur.

Dengan kondisi badan yang mulai demam karena semalaman di dera kelaparan, lelah, dan basah kuyub akibat hujan. Bung Tomo akhirnya memutuskan untuk turun gunung. Dalam perjalanannya akhirnya Bung Tomo mencapai Desa Ngliman, dan ditampung di rumah seorang guru untuk mendapatkan perawatan.



Di Desa Ngliman itu pula Bung Tomo akhirnya bertemu dengan kawan-kawannya yang terpisah diperjalanan. Saat berada di lereng Gunung Wilis, Bung Tomo memutuskan untuk menelusuri jejak gerilya Panglima Besar Jenderal Soerdiman. Dia mengajak rekannya, Hartadi.

Dalam perjalanannya, Bung Tomo sempat berhenti untuk melakukan salah magrib. Usai salat, baru disadarinya cincin pernikahannya tak ada di jari manisnya. Hartadi diajaknya kembali ke sendang tempat mereka wudhu, untuk mencari cincin yang hilang.

Saat dalam perjalanan ke sedang, Bung Tomo dikagetkan dengan munculnya banyak perempuan membawa kendi untuk tempa air. Perempuan-perempuan itu mengenakan kain sebagai kemben penutup tubuhnya. Bung Tomo, dan Hartadi sempat bertanya-tanya dalam hatinya, karena mereka berada dalam hutan belantara, namun muncul serombongan perempuan mencari air.

Usai tersadar, Bung Tomo langsung mengajak Hartadi bergegas mencari cincin pernikahannya di sekitar sedang yang sudah kembali sepi dan tidak ada lagi perempuan-perempuan mencari air. Beruntung cincin itu berhasil ditemukan di balik batu.

Baca Juga: Merapah Asal Mula Penduduk Surabaya

Bung Tomo dan Hartadi akhirnya bergegas kembali ke desa, dan menceritakan pengalamannya bertemu dengan perempuan-perempuan mengenakan kemben dan mencari air di sendang. Orang-orang desa mengatakan tidak ada desa di sekitar sendang tersebut, sehingga tidak mungkin ada perempuan-perempuan mengenakan kemben di tengah hutan belantara.

Dalam menghadapi masa revolusi, Bung Tomo juga pernah digembleng ilmu kanuragan di kediaman KH. Manshur, yang ada di Desa Kalipucung, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Bahkan Bung Tomo dan pasukannya juga sempat membuat bambu runcing di tempat tersebut, yang kemudian digunakan untuk berjuang melawan penjajah Jepang. Di kediaman KH Manshur inilah, terdapat kolam tempat pengemblengan Bung Tomo bersama pasukannya sebelum bertempur pada 10 November 1945.

Di kolam 2,5 x 1 meter yang ada di kediaman KH Manshur inilah, tempat merendam bambu runcing sebelum digunakan oleh Bung Tomo dan serta para pejuang dalam pertempuran 10 November 1945.



Setelah selesai direndam, bambu runcing-bambu runcing ini diberikan doa dan nama sesuai pemiliknya oleh KH Manshur, atau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Kiai Pucung. Konon salah satu keampuhannya jika bambu runcing ditancapkan tanah, maka tidak terlihat oleh musuh.

Untuk mengetes keampuhan bambu runcing tersebut, biasanya dilakukan dengan cara mengarahkan bambu runcing ke arah cicak. Jika cicak jatuh maka bambu runcing tersebut berhasil didoakan.

Tidak hanya kolam bambu runcing, di bawah kolam tersebut juga terdapat kolam yang digunakan untuk mensucikan para pejuang sebelum berangkat bertempur ke Surabaya. Konon di kolam ini para pejuang termasuk Bung Tomo didoakan oleh KH Manshur.

Di tempat ulama kharismatik yang terkenal dengan ilmu kanuragan, dan tersohor kesaktiannya ini. Bung Tomo dan para pejuang juga digembleng ilmu tauhid keagamaan.

Baca Juga: Misteri Kampung Kolam dan Mandor Sukmo Ilang Lenyap di Perkebunan Tebu Tanah Deli

Zainuri salah satu santri KH Manshur mengatakan, pada saat itu banyak pejuang dan warga sekitar yang meminta doa kepada KH Manshur sebelum berangkat ke medan perang pada 10 November 1945. Mereka terdiri dari pejuang Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan pejuang Hisbullah.

"Mereka berjajar dan berbaris untuk disuwuk atau diijazahi oleh Kiai Manshur terlebih dahulu. Mereka meyakini setelah didoakan oleh Mbah Kiai Pucung akan kebal dan dengan doa-doa itulah yang membuat para pejuang merasa yakin dan bersemangat bertempur walau memakai alat seadanya melawan pasukan Inggris dengan peralatan canggih," ujar pria sepuhini, saat ditemui pada Kamis 9 November 2017.

KH Manshur wafat pada 1964, dan dimakamkan sekitar 300 meter dari rumahnya. Kiai kharismatik ini wafat pada usia 84 tahun, dan merupakan sahabat karib KH M. Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama. Setelah KH Manshur wafat, kedua kolam itu tidak ada yang mengurus. Bahkan musala tempat menempa ilmu agama juga nampak tidak terurus.

Sumber:
- wikipedia
- historia.id, dan diolah dari berbagai sumber
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2605 seconds (0.1#10.140)