Merapah Asal Mula Penduduk Surabaya
A
A
A
Surabaya tercatat sebagai kota terbesar kedua setelah DKI Jakarta. Kota berpenduduk 3 juta jiwa ini secara perlahan berkembang menjadi kota metropolitan yang memiliki andil besar bagi perekonomian Indonesia.
Bagaimana tidak, kota berjuluk Kota Pahlawan ini merupakan pintu masuk bagi perdagangan di Indonesia timur. Lantas bagaimana sebenarnya jejak atau asal-usul dari kota yang multikultural ini?
Mengutip buku 'Riwayat Surabaya Rek' karya Yousri Nur Raja Agam, penduduk Surabaya boleh dikatakan berasal dari pendatang.
Para pendatang mulai menetap dan mendirikan perkampungan di sekitar pelabuhan dan berkembang sampai ke darat. Terutama di pinggir Sungai Kalimas yang merupakan anak Sungai Kali Brantas.
Lama kelamaan, nama Ujung Galuh mulai dilupakan. Lalu namanya berubah menjadi Surabaya di bawah pemerintahan Adipati Jayengrono. Pusat Pemerintahan Adipati Jayengrono ini diperkirakan di sekitar Kramat Gantung, Bubutan dan Alun-alun Contong saat ini.
Ada temuan sejarah yang mencantumkan pada abad ke-15, bahwa waktu itu di Surabaya sudah terjadi kehidupan yang cukup ramai. Tidak kurang 1.000 Kepala Keluarga (KK) bermukim di Surabaya.
Orang Surabaya yang dicatat pada data itu umumnya keluarga kaya yang bertempat tinggal di sekitar pelabuhan. Mereka melakukan kegiatan bisnis dan usaha jasa di pelabuhan.
Dari hari ke hari penduduk Surabaya terus bertambah. Para pendatang yang menetap di Surabaya umumnya datang melalui laut. Ada yang berasal dari Madura, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Di samping ada yang berasal dari daratan Jawa datang terbanyak melalui Sungai Kali Brantas dan jalan darat melewati hutan. Tidak hanya itu, para pelaut itu juga banyak yang berasal dari China, India dan Arab, serta Eropa.
Warga pendatang di Surabaya itu, hidup berkelompok. Misalnya, mereka yang berasal dari Madura, Kalimantan, Sulawesi atau suku Melayu dari Sumatera. Di samping bermukim di pantai, juga banyak yang membangun perumahan di daerah Pabean dan Pegirian. Sedangkan pendatang dari ras Arab banyak bermukim di sekitar Masjid Ampel.
Etnis China menempati kawasan Kembang Jepun, Bongkaran dan sekitarnya. Ini terkait dengan dermaga pelabuhan waktu itu berada di sungai Kalimas, di sekitar Jembatan Merah sekarang. Jumlah warga pendatang terus-menerus terjadi, akibat semakin pesatnya kegiatan dagang dan perkembangan budaya di Surabaya.
Khusus masyarakat di sekitar Ampel, sebagian besar adalah rombongan yang ikut bersama Sunan Ampel dari wilayah Majapahit pada abad 14. Berdasarkan Babad Ngampeldenta, Sunan Ampel melakukan aktivitas di Surabaya sekitar tahun 1331 M hingga 1400 M. Jumlah rombongan Sunan Ampel itu berkisar antara 800 hingga 1.000 keluarga.
Dalam buku Oud Soerabaia (1931) karangan GH von Faber, halaman 288 dinyatakan Raden Rahmat pindah bersama 3.000 keluarga (drieduezend huisgezinnen}
Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of java (1817), halaman 117 menulis saat kepindahan Raden Rachmad dari keraton Majapahit ke Ampel, dia disertai 3.000 keluarga (three thousand families).
Sementara itu menurut Babad Ngampel Denta, jumlah orang yang boyongan bersama Raden Rahmat ke Ampel Surabaya sebanyak 800 keluarga (sun paringi loenggoeh domas). “Domas” menurut S.Prawiroatmodjo dalam buku Bausastra [awa Indonesia (1981) artinya 800.
Sejak berdirinya permukiman di Surabaya, pertumbuhan penduduk berkembang cukup pesat. Ada yang datang melalui laut maupun transportasi melalui sungai. Umumnya yang melewati sungai adalah warga yang datang dari arah Blitar, Madiun, Tulungagung, dan Kediri.
Mojokerto yang merupakan pusat kerajaan Majapahit, menjadikan Surabaya sebagai pelabuhan lautnya. Mereka mendirikan pemukiman di sepanjang Kalimas, anak Kali Brantas yang dijadikan poros lalu lintas utama saat itu. Kemudian menyebar sampai ke Keputran, Kaliasin, Kedungdoro, Kampung Malang, Surabayan dan Tegalsari.
Setelah koloni dagang dari Eropa yang dimotori bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda datang dan menetap di Surabaya, di tahun 1500-an, mereka mendirikan gudang dan tempat tinggal di sekitar pusat pemerintahan Adipati Surabaya, yakni di sekitar Alun-alun Contong, Bubutan, Gemblongan, Blauran, Pasar Besar dan wilayah sekitarnya.
Belanda yang merupakan koloni dagang rempah-rempah terbesar saat itu, mulai membentuk pemerintahan. Tanpa disadari oleh Bangsa Indonesia, Belanda mulai mencengkeramkan “kukunya” di Bumi Pertiwi ini sebagai penjajah. Termasuk di Surabaya.
Ketika pemerintahan kota pertama kali dibentuk tanggal 1 April 1906, penduduk Kota Surabaya berjumlah 150.000 orang lebih. Limabelas tahun kemudian, dalam cacah jiwa atau sensus penduduk tahun 1920, penduduk Surabaya tercatat 192.180 orang. Sepuluh tahun kemudian pada sensus penduduk tahun 1930, warga Kota Surabaya sudah berkembang menjadi 341.675 orang.
Pada zaman Jepang, di bulan September 1943 diselenggarakan cacah jiwa, Jumlah penduduk Surabaya waktu itu tercatat 518.729 orang. Lalu dalam sensus penduduk tahun 1961 tercatat resmi 1.007.945 jiwa dan tahun 1971 naik lagi menjadi 1.556.255 jiwa.
Tahun 1980 penduduk resmi yang terdaftar sebagai penduduk Surabaya berkembang menjadi 2.027.913 jiwa dan tahun 1990 naik menjadi 2.473.272 jiwa. Di tahun 2020 ini, Badan Pusat Statistik (BPS) Surabaya mencatat, jumlah penduduk Surabaya sebanyak 3,15 juta.
Di samping penduduk tetap, ada penduduk tetap tetapi tidak terdaftar. Di kota Surabaya juga bermukim penduduk musiman. Akhir 2008 jumlahnya mencapai 20.000 jiwa. Kecuali itu, sebagai sebuah kota dengan kegiatan ekonomi dan pemerintahan di berbagai sektor, ada penduduk siang dan penduduk malam.
Penduduk pada siang hari di bisa mencapai 5 sampai 6 juta jiwa. Pada malam hari, 'penduduk Surabaya' sebagian besar pulang dan tidur di Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Lamongan, Bangkalan, Pasuruan, bahkan di Malang. Yah, Surabaya ibarat gula, yang akan dikerubuti semut disekitarnya.
Kesenjangan sosial, ekonomi dan budaya akan turut menempel di dalamnya. Puluhan gedung pencakar langit berdiri gagah membentang di setiap sudut kota. Tentu saja, multikultural, multi ras dan bahkan multi agama lah yang menghidupkan kota ini.
Bagaimana tidak, kota berjuluk Kota Pahlawan ini merupakan pintu masuk bagi perdagangan di Indonesia timur. Lantas bagaimana sebenarnya jejak atau asal-usul dari kota yang multikultural ini?
Mengutip buku 'Riwayat Surabaya Rek' karya Yousri Nur Raja Agam, penduduk Surabaya boleh dikatakan berasal dari pendatang.
Para pendatang mulai menetap dan mendirikan perkampungan di sekitar pelabuhan dan berkembang sampai ke darat. Terutama di pinggir Sungai Kalimas yang merupakan anak Sungai Kali Brantas.
Lama kelamaan, nama Ujung Galuh mulai dilupakan. Lalu namanya berubah menjadi Surabaya di bawah pemerintahan Adipati Jayengrono. Pusat Pemerintahan Adipati Jayengrono ini diperkirakan di sekitar Kramat Gantung, Bubutan dan Alun-alun Contong saat ini.
Ada temuan sejarah yang mencantumkan pada abad ke-15, bahwa waktu itu di Surabaya sudah terjadi kehidupan yang cukup ramai. Tidak kurang 1.000 Kepala Keluarga (KK) bermukim di Surabaya.
Orang Surabaya yang dicatat pada data itu umumnya keluarga kaya yang bertempat tinggal di sekitar pelabuhan. Mereka melakukan kegiatan bisnis dan usaha jasa di pelabuhan.
Dari hari ke hari penduduk Surabaya terus bertambah. Para pendatang yang menetap di Surabaya umumnya datang melalui laut. Ada yang berasal dari Madura, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Di samping ada yang berasal dari daratan Jawa datang terbanyak melalui Sungai Kali Brantas dan jalan darat melewati hutan. Tidak hanya itu, para pelaut itu juga banyak yang berasal dari China, India dan Arab, serta Eropa.
Warga pendatang di Surabaya itu, hidup berkelompok. Misalnya, mereka yang berasal dari Madura, Kalimantan, Sulawesi atau suku Melayu dari Sumatera. Di samping bermukim di pantai, juga banyak yang membangun perumahan di daerah Pabean dan Pegirian. Sedangkan pendatang dari ras Arab banyak bermukim di sekitar Masjid Ampel.
Etnis China menempati kawasan Kembang Jepun, Bongkaran dan sekitarnya. Ini terkait dengan dermaga pelabuhan waktu itu berada di sungai Kalimas, di sekitar Jembatan Merah sekarang. Jumlah warga pendatang terus-menerus terjadi, akibat semakin pesatnya kegiatan dagang dan perkembangan budaya di Surabaya.
Khusus masyarakat di sekitar Ampel, sebagian besar adalah rombongan yang ikut bersama Sunan Ampel dari wilayah Majapahit pada abad 14. Berdasarkan Babad Ngampeldenta, Sunan Ampel melakukan aktivitas di Surabaya sekitar tahun 1331 M hingga 1400 M. Jumlah rombongan Sunan Ampel itu berkisar antara 800 hingga 1.000 keluarga.
Dalam buku Oud Soerabaia (1931) karangan GH von Faber, halaman 288 dinyatakan Raden Rahmat pindah bersama 3.000 keluarga (drieduezend huisgezinnen}
Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of java (1817), halaman 117 menulis saat kepindahan Raden Rachmad dari keraton Majapahit ke Ampel, dia disertai 3.000 keluarga (three thousand families).
Sementara itu menurut Babad Ngampel Denta, jumlah orang yang boyongan bersama Raden Rahmat ke Ampel Surabaya sebanyak 800 keluarga (sun paringi loenggoeh domas). “Domas” menurut S.Prawiroatmodjo dalam buku Bausastra [awa Indonesia (1981) artinya 800.
Sejak berdirinya permukiman di Surabaya, pertumbuhan penduduk berkembang cukup pesat. Ada yang datang melalui laut maupun transportasi melalui sungai. Umumnya yang melewati sungai adalah warga yang datang dari arah Blitar, Madiun, Tulungagung, dan Kediri.
Mojokerto yang merupakan pusat kerajaan Majapahit, menjadikan Surabaya sebagai pelabuhan lautnya. Mereka mendirikan pemukiman di sepanjang Kalimas, anak Kali Brantas yang dijadikan poros lalu lintas utama saat itu. Kemudian menyebar sampai ke Keputran, Kaliasin, Kedungdoro, Kampung Malang, Surabayan dan Tegalsari.
Setelah koloni dagang dari Eropa yang dimotori bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda datang dan menetap di Surabaya, di tahun 1500-an, mereka mendirikan gudang dan tempat tinggal di sekitar pusat pemerintahan Adipati Surabaya, yakni di sekitar Alun-alun Contong, Bubutan, Gemblongan, Blauran, Pasar Besar dan wilayah sekitarnya.
Belanda yang merupakan koloni dagang rempah-rempah terbesar saat itu, mulai membentuk pemerintahan. Tanpa disadari oleh Bangsa Indonesia, Belanda mulai mencengkeramkan “kukunya” di Bumi Pertiwi ini sebagai penjajah. Termasuk di Surabaya.
Ketika pemerintahan kota pertama kali dibentuk tanggal 1 April 1906, penduduk Kota Surabaya berjumlah 150.000 orang lebih. Limabelas tahun kemudian, dalam cacah jiwa atau sensus penduduk tahun 1920, penduduk Surabaya tercatat 192.180 orang. Sepuluh tahun kemudian pada sensus penduduk tahun 1930, warga Kota Surabaya sudah berkembang menjadi 341.675 orang.
Pada zaman Jepang, di bulan September 1943 diselenggarakan cacah jiwa, Jumlah penduduk Surabaya waktu itu tercatat 518.729 orang. Lalu dalam sensus penduduk tahun 1961 tercatat resmi 1.007.945 jiwa dan tahun 1971 naik lagi menjadi 1.556.255 jiwa.
Tahun 1980 penduduk resmi yang terdaftar sebagai penduduk Surabaya berkembang menjadi 2.027.913 jiwa dan tahun 1990 naik menjadi 2.473.272 jiwa. Di tahun 2020 ini, Badan Pusat Statistik (BPS) Surabaya mencatat, jumlah penduduk Surabaya sebanyak 3,15 juta.
Di samping penduduk tetap, ada penduduk tetap tetapi tidak terdaftar. Di kota Surabaya juga bermukim penduduk musiman. Akhir 2008 jumlahnya mencapai 20.000 jiwa. Kecuali itu, sebagai sebuah kota dengan kegiatan ekonomi dan pemerintahan di berbagai sektor, ada penduduk siang dan penduduk malam.
Penduduk pada siang hari di bisa mencapai 5 sampai 6 juta jiwa. Pada malam hari, 'penduduk Surabaya' sebagian besar pulang dan tidur di Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Lamongan, Bangkalan, Pasuruan, bahkan di Malang. Yah, Surabaya ibarat gula, yang akan dikerubuti semut disekitarnya.
Kesenjangan sosial, ekonomi dan budaya akan turut menempel di dalamnya. Puluhan gedung pencakar langit berdiri gagah membentang di setiap sudut kota. Tentu saja, multikultural, multi ras dan bahkan multi agama lah yang menghidupkan kota ini.
(shf)