A.M Thalib, Rela Bumi Hanguskan Semua Fasilitas Demi Pertahankan Wilayah Sumsel dari Belanda
loading...
A
A
A
Pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, penjajah Indonesia yang dulu pernah menguasai tanah Indonesia kembali datang. Belanda dengan berbagai kekuatan tempurnya melancarkan agresi militer di beberapa wilayah Indonesia, salah satunya di Sumatera Selatan.
Pada pagi tanggal 29 Desember 1948, informasi datang dari Intel pusat bahwa akan terjadi penyerangan besar-besaran yang dilakukan oleh Belanda. Pasalnya, Belanda sudah melancarkan agresinya di Pulau Jawa. Maka tidak menutup kemungkinan juga akan menyerang wilayah lain di Indonesia. Akhirnya terbukti benar, Belanda menyerang Sumsel dengan menurunkan pasukan dari angkatan darat dan angkatan udaranya.
Namun sebelum Belanda datang untuk melancarkan agresi di Sumatera Selatan, AM Thalib beserta jajaran teras militer di Sumatra Selatan telah bersepakat untuk melakukan strategi bumi hangus, yaitu dengan slogan ‘Kita Bakar Sumatra Selatan’.
Artinya, semua fasilitas yang bisa digunakan oleh Belanda akan dihancurkan secara total, baik itu gedung-gedung, jalan raya, jembatan, bahkan sejumlah perkebunan juga tidak luput dibumihanguskan. Secara tidak langsung perekonomian yang dikelola oleh kaum kapitalis, juga sebagian dari sisa-sisa juragan Belanda menjadi kolaps dan gulung tikar.
Sementara itu, Belanda akhirnya datang dan menyerang Sumsel dengan membabi buta. Namun, A.M Thalib dengan semua pejuang di sana tetap gigih berjuang melawan penjajah Belanda hingga titik darah penghabisan.
A.M Thalib yang juga menjadi kepala Intel di militer Sumatra Selatan berhasil menguasai radio setempat dan menyiarkan jika di Sumatera Selatan telah terjadi perang besar-besaran antara para pejuang RI dengan agresor Belanda. Saat itu, ibukota Indonesia berada di Kota Yogyakarta.
Perpindahan tersebut bertujuan untuk menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Hal itu dikarenakan, sebuah negara dapat diakui jika memiliki ibukota negara. Oleh karena itu, pemerintah yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Yogyakarta.
Berita tersebut hingga tersiar ke luar negeri, yaitu India. Mengetahui terjadi agresi seperti itu yang dilancarkan Belanda, Perdana Menteri India saat itu, yaitu Jawaharlal Nehru mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengutuk tindakan agresi militer yang dilancarkan Belanda tersebut.
Pada pagi tanggal 29 Desember 1948, informasi datang dari Intel pusat bahwa akan terjadi penyerangan besar-besaran yang dilakukan oleh Belanda. Pasalnya, Belanda sudah melancarkan agresinya di Pulau Jawa. Maka tidak menutup kemungkinan juga akan menyerang wilayah lain di Indonesia. Akhirnya terbukti benar, Belanda menyerang Sumsel dengan menurunkan pasukan dari angkatan darat dan angkatan udaranya.
Namun sebelum Belanda datang untuk melancarkan agresi di Sumatera Selatan, AM Thalib beserta jajaran teras militer di Sumatra Selatan telah bersepakat untuk melakukan strategi bumi hangus, yaitu dengan slogan ‘Kita Bakar Sumatra Selatan’.
Artinya, semua fasilitas yang bisa digunakan oleh Belanda akan dihancurkan secara total, baik itu gedung-gedung, jalan raya, jembatan, bahkan sejumlah perkebunan juga tidak luput dibumihanguskan. Secara tidak langsung perekonomian yang dikelola oleh kaum kapitalis, juga sebagian dari sisa-sisa juragan Belanda menjadi kolaps dan gulung tikar.
Sementara itu, Belanda akhirnya datang dan menyerang Sumsel dengan membabi buta. Namun, A.M Thalib dengan semua pejuang di sana tetap gigih berjuang melawan penjajah Belanda hingga titik darah penghabisan.
A.M Thalib yang juga menjadi kepala Intel di militer Sumatra Selatan berhasil menguasai radio setempat dan menyiarkan jika di Sumatera Selatan telah terjadi perang besar-besaran antara para pejuang RI dengan agresor Belanda. Saat itu, ibukota Indonesia berada di Kota Yogyakarta.
Perpindahan tersebut bertujuan untuk menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Hal itu dikarenakan, sebuah negara dapat diakui jika memiliki ibukota negara. Oleh karena itu, pemerintah yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Yogyakarta.
Berita tersebut hingga tersiar ke luar negeri, yaitu India. Mengetahui terjadi agresi seperti itu yang dilancarkan Belanda, Perdana Menteri India saat itu, yaitu Jawaharlal Nehru mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengutuk tindakan agresi militer yang dilancarkan Belanda tersebut.