A.M Thalib, Rela Bumi Hanguskan Semua Fasilitas Demi Pertahankan Wilayah Sumsel dari Belanda
loading...
A
A
A
Pahlawan adalah sosok yang menonjolkan sisi patriotisme, pemberani dan gigih membela negara. Mereka berani menyerahkan hidup hingga titik darah penghabisan demi membela bangsa menuju kebebasan.
Bumi Sriwijaya juga memiliki sejumlah pahlawan kemerdekaan. Salah satunya yakni A.M Thalib, pejuang asal Palembang yang lahir pada 23 Februari 1922.
Bersama rakyat, A.M Thalib berjuang di Sumsel mengangkat senjata melawan pasukan Belanda yang sedang melakukan agresi militer di tahun 1949. Ketika itu, dia dan jajaran militer Sumsel melakukan gerakan bumi hangus. Semua fasilitas yang dapat dimanfaatkan Belanda akan dihancurkan termasuk gedung, jalan raya, jembatan, bahkan perkebunan.
Semasa hidup, A.M Thalib tak kenal lelah melawan serangan Belanda. Dirinya dan semua pejuang gigih memperjuangkan Bumi Sriwijaya hingga titik darah penghabisan. Ketika menjabat sebagai Kepala Intel di militer, A.M Thalib berhasil menguasai radio setempat dan menyiarkan perang besar-besaran antara pejuang Republik Indonesia dan agresor Belanda di Sumsel.
Pada tahun 1957, di Sumatra Selatan terjadi sejumlah pergerakan yang dilakukan oleh beberapa kelompok kecil yang sporadis dengan tujuan disintegrasi bangsa. Oleh karenanya, A.M Thalib beserta Mr Malikuswari Mochtar dapat meyakinkan Letkol Barlian (Panglima) dan Mayor Alamsyah yang pada saat itu akan berangkat ke Sungai Dareh Sumatera Barat. Dengan begitu, tentara Sriwijaya/Sumsel tidak ikut dalam gerakan PRRI.
A.M Thalib bersama dengan delegasi dan tokoh-tokoh Sumatra Selatan, seperti Letkol Barlian selaku Panglima TT II Sriwijaya, Mr M Ali Amin selaku pejabat Gubernur Sumsel, Residen Rozak, Mr Malikuswari Mochtar dan lainnya berangkat ke Kota Padang.
Pertemuan tersebut dilakukan atas ajakan dewan Banteng yang ingin memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat (Jakarta). Namun, AM Thalib beserta rombongan tidak ingin hal tersebut terjadi karena hanya akan menyengsarakan penduduk Sumsel secara keseluruhan.
Pada saat itu, A.M Thalib berbicara langsung mewakili delegasi dan atas nama rakyat Sumsel menolak ajakan tersebut. AM Thalib secara detail dan gamblang menerangkan tentang kerugian bila rencana Dewan Banteng dilanjutkan. Akhirnya, A.M Thalib bersama rombongannya secara tegas menolak ajakan Dewan Banteng.
Pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, penjajah Indonesia yang dulu pernah menguasai tanah Indonesia kembali datang. Belanda dengan berbagai kekuatan tempurnya melancarkan agresi militer di beberapa wilayah Indonesia, salah satunya di Sumatera Selatan.
Pada pagi tanggal 29 Desember 1948, informasi datang dari Intel pusat bahwa akan terjadi penyerangan besar-besaran yang dilakukan oleh Belanda. Pasalnya, Belanda sudah melancarkan agresinya di Pulau Jawa. Maka tidak menutup kemungkinan juga akan menyerang wilayah lain di Indonesia. Akhirnya terbukti benar, Belanda menyerang Sumsel dengan menurunkan pasukan dari angkatan darat dan angkatan udaranya.
Namun sebelum Belanda datang untuk melancarkan agresi di Sumatera Selatan, AM Thalib beserta jajaran teras militer di Sumatra Selatan telah bersepakat untuk melakukan strategi bumi hangus, yaitu dengan slogan ‘Kita Bakar Sumatra Selatan’.
Artinya, semua fasilitas yang bisa digunakan oleh Belanda akan dihancurkan secara total, baik itu gedung-gedung, jalan raya, jembatan, bahkan sejumlah perkebunan juga tidak luput dibumihanguskan. Secara tidak langsung perekonomian yang dikelola oleh kaum kapitalis, juga sebagian dari sisa-sisa juragan Belanda menjadi kolaps dan gulung tikar.
Sementara itu, Belanda akhirnya datang dan menyerang Sumsel dengan membabi buta. Namun, A.M Thalib dengan semua pejuang di sana tetap gigih berjuang melawan penjajah Belanda hingga titik darah penghabisan.
A.M Thalib yang juga menjadi kepala Intel di militer Sumatra Selatan berhasil menguasai radio setempat dan menyiarkan jika di Sumatera Selatan telah terjadi perang besar-besaran antara para pejuang RI dengan agresor Belanda. Saat itu, ibukota Indonesia berada di Kota Yogyakarta.
Perpindahan tersebut bertujuan untuk menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Hal itu dikarenakan, sebuah negara dapat diakui jika memiliki ibukota negara. Oleh karena itu, pemerintah yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Yogyakarta.
Berita tersebut hingga tersiar ke luar negeri, yaitu India. Mengetahui terjadi agresi seperti itu yang dilancarkan Belanda, Perdana Menteri India saat itu, yaitu Jawaharlal Nehru mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengutuk tindakan agresi militer yang dilancarkan Belanda tersebut.
Atas desakan Konferensi New Delhi pada tanggal 29 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB, akhirnya mengeluarkan resolusi keras terhadap Belanda, diantaranya yakni melakukan gencatan senjata di Indonesia. Kemudian, Belanda harus secepatnya membebaskan para pemimpin RI yang ditangkap. Termasuk pemerintahan di Yogyakarta sebagai ibukota RI saat itu harus pulih kembali. Serta mendesak pihak Belanda untuk segera mempersiapkan persidangan Meja Bundar yang bertujuan untuk mengesahkan kedaulatan Indonesia.
Sementara itu, selaku jawatan intel SUB-KOSS, pada tahun 1948, A.M Thalib ditugaskan oleh markas besar TNI yang berkedudukan di Yogyakarta melalui Panglima Kolonel Simbolon, untuk mempersatukan kelompok-kelompok laskar pejuang yang bermunculan di berbagai daerah di Sumsel. Akhirnya beberapa laskar pejuang, seperti Napindo, Pesindo, Hisbullah, dan TKR melebur menjadi TNI.
Tidak hanya dikenal sebagai mantan tokoh militer Indonesia dan pengusaha, A.M Thalib juga diketahui pernah menjadi jurnalis sekaligus wirausahawan.
Selama meniti karir, A.M Thalib juga sempat menjadi Kepala Penerangan Gubernur Militer Sumatera Selatan (Sumsel) sembari merangkap di bidang Intel, hingga akhirnya wafat di usia 78 tahun pada 17 Juni 2000 silam di Jakarta. (berbagai sumber/wikipedia)
Lihat Juga: Kisah Pangeran Diponegoro Marah Besar ke Sultan Muda Keraton Yogyakarta Akibat Hilangnya Tradisi Jawa
Bumi Sriwijaya juga memiliki sejumlah pahlawan kemerdekaan. Salah satunya yakni A.M Thalib, pejuang asal Palembang yang lahir pada 23 Februari 1922.
Bersama rakyat, A.M Thalib berjuang di Sumsel mengangkat senjata melawan pasukan Belanda yang sedang melakukan agresi militer di tahun 1949. Ketika itu, dia dan jajaran militer Sumsel melakukan gerakan bumi hangus. Semua fasilitas yang dapat dimanfaatkan Belanda akan dihancurkan termasuk gedung, jalan raya, jembatan, bahkan perkebunan.
Baca Juga
Semasa hidup, A.M Thalib tak kenal lelah melawan serangan Belanda. Dirinya dan semua pejuang gigih memperjuangkan Bumi Sriwijaya hingga titik darah penghabisan. Ketika menjabat sebagai Kepala Intel di militer, A.M Thalib berhasil menguasai radio setempat dan menyiarkan perang besar-besaran antara pejuang Republik Indonesia dan agresor Belanda di Sumsel.
Pada tahun 1957, di Sumatra Selatan terjadi sejumlah pergerakan yang dilakukan oleh beberapa kelompok kecil yang sporadis dengan tujuan disintegrasi bangsa. Oleh karenanya, A.M Thalib beserta Mr Malikuswari Mochtar dapat meyakinkan Letkol Barlian (Panglima) dan Mayor Alamsyah yang pada saat itu akan berangkat ke Sungai Dareh Sumatera Barat. Dengan begitu, tentara Sriwijaya/Sumsel tidak ikut dalam gerakan PRRI.
A.M Thalib bersama dengan delegasi dan tokoh-tokoh Sumatra Selatan, seperti Letkol Barlian selaku Panglima TT II Sriwijaya, Mr M Ali Amin selaku pejabat Gubernur Sumsel, Residen Rozak, Mr Malikuswari Mochtar dan lainnya berangkat ke Kota Padang.
Pertemuan tersebut dilakukan atas ajakan dewan Banteng yang ingin memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat (Jakarta). Namun, AM Thalib beserta rombongan tidak ingin hal tersebut terjadi karena hanya akan menyengsarakan penduduk Sumsel secara keseluruhan.
Pada saat itu, A.M Thalib berbicara langsung mewakili delegasi dan atas nama rakyat Sumsel menolak ajakan tersebut. AM Thalib secara detail dan gamblang menerangkan tentang kerugian bila rencana Dewan Banteng dilanjutkan. Akhirnya, A.M Thalib bersama rombongannya secara tegas menolak ajakan Dewan Banteng.
Pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, penjajah Indonesia yang dulu pernah menguasai tanah Indonesia kembali datang. Belanda dengan berbagai kekuatan tempurnya melancarkan agresi militer di beberapa wilayah Indonesia, salah satunya di Sumatera Selatan.
Pada pagi tanggal 29 Desember 1948, informasi datang dari Intel pusat bahwa akan terjadi penyerangan besar-besaran yang dilakukan oleh Belanda. Pasalnya, Belanda sudah melancarkan agresinya di Pulau Jawa. Maka tidak menutup kemungkinan juga akan menyerang wilayah lain di Indonesia. Akhirnya terbukti benar, Belanda menyerang Sumsel dengan menurunkan pasukan dari angkatan darat dan angkatan udaranya.
Namun sebelum Belanda datang untuk melancarkan agresi di Sumatera Selatan, AM Thalib beserta jajaran teras militer di Sumatra Selatan telah bersepakat untuk melakukan strategi bumi hangus, yaitu dengan slogan ‘Kita Bakar Sumatra Selatan’.
Artinya, semua fasilitas yang bisa digunakan oleh Belanda akan dihancurkan secara total, baik itu gedung-gedung, jalan raya, jembatan, bahkan sejumlah perkebunan juga tidak luput dibumihanguskan. Secara tidak langsung perekonomian yang dikelola oleh kaum kapitalis, juga sebagian dari sisa-sisa juragan Belanda menjadi kolaps dan gulung tikar.
Sementara itu, Belanda akhirnya datang dan menyerang Sumsel dengan membabi buta. Namun, A.M Thalib dengan semua pejuang di sana tetap gigih berjuang melawan penjajah Belanda hingga titik darah penghabisan.
A.M Thalib yang juga menjadi kepala Intel di militer Sumatra Selatan berhasil menguasai radio setempat dan menyiarkan jika di Sumatera Selatan telah terjadi perang besar-besaran antara para pejuang RI dengan agresor Belanda. Saat itu, ibukota Indonesia berada di Kota Yogyakarta.
Perpindahan tersebut bertujuan untuk menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Hal itu dikarenakan, sebuah negara dapat diakui jika memiliki ibukota negara. Oleh karena itu, pemerintah yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Yogyakarta.
Berita tersebut hingga tersiar ke luar negeri, yaitu India. Mengetahui terjadi agresi seperti itu yang dilancarkan Belanda, Perdana Menteri India saat itu, yaitu Jawaharlal Nehru mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengutuk tindakan agresi militer yang dilancarkan Belanda tersebut.
Atas desakan Konferensi New Delhi pada tanggal 29 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB, akhirnya mengeluarkan resolusi keras terhadap Belanda, diantaranya yakni melakukan gencatan senjata di Indonesia. Kemudian, Belanda harus secepatnya membebaskan para pemimpin RI yang ditangkap. Termasuk pemerintahan di Yogyakarta sebagai ibukota RI saat itu harus pulih kembali. Serta mendesak pihak Belanda untuk segera mempersiapkan persidangan Meja Bundar yang bertujuan untuk mengesahkan kedaulatan Indonesia.
Sementara itu, selaku jawatan intel SUB-KOSS, pada tahun 1948, A.M Thalib ditugaskan oleh markas besar TNI yang berkedudukan di Yogyakarta melalui Panglima Kolonel Simbolon, untuk mempersatukan kelompok-kelompok laskar pejuang yang bermunculan di berbagai daerah di Sumsel. Akhirnya beberapa laskar pejuang, seperti Napindo, Pesindo, Hisbullah, dan TKR melebur menjadi TNI.
Tidak hanya dikenal sebagai mantan tokoh militer Indonesia dan pengusaha, A.M Thalib juga diketahui pernah menjadi jurnalis sekaligus wirausahawan.
Selama meniti karir, A.M Thalib juga sempat menjadi Kepala Penerangan Gubernur Militer Sumatera Selatan (Sumsel) sembari merangkap di bidang Intel, hingga akhirnya wafat di usia 78 tahun pada 17 Juni 2000 silam di Jakarta. (berbagai sumber/wikipedia)
Lihat Juga: Kisah Pangeran Diponegoro Marah Besar ke Sultan Muda Keraton Yogyakarta Akibat Hilangnya Tradisi Jawa
(nic)