Komando Jihad, Cara Intelijen Soeharto Menjinakkan Gerakan Ekstrim Kanan
loading...
A
A
A
Rezim orde baru juga tengah memperkuat kaki kaki kekuasaannya. Partai politik diringkas menjadi tiga partai. PDI, PPP dan Golkar. Melalui tangan Letnan Kolonel Ali Moertopo, Suharto menyiapkan operasi khusus. Sejumlah tokoh eks DI TII dan PRRI yang masih mendekam di penjara, didekati.
Usai bertemu Ali Moertopo, sejumlah tokoh utama dibebaskan. Beberapa diantaranya bekerja pada unit operasi khusus di bawah komando Ali Moertopo. Tulis Ken Conboy, "Ini karena Moertopo tengah mencari-mencari cari kelompok pemilih yang akan bertindak untuk kepentingan Golkar pada pemilu 1971".
Semacam permainan dakon. Tiket kebebasan yang diberikan kepada para fundamentalis, harus berimbal balik. Yakni menguntungkan kepentingan politik orde baru. Terutama terkait pendulangan suara Golkar di pemilihan umum. Pemilu digelar 3 Juli 1972. Sesuai perkiraaan, Golkar menang telak.
Namun di sisi lain pemerintah semakin sulit mengontrol orang-orang Darul Islam. Haji Ismail Pranoto atau populer dipanggil Hispran, Adah Djaelani dan Dodo Muhammad Darda bin Kartosuwirjo. Hispran dan Dodo menolak keras pendekatan pemerintah.
Baca Juga: Kisah Raden Karlan Pejuang OKD Melawan DI/TII di Pangandaran
Sementara Danu Mohammad Hassan, salah satu tokoh penting Darul Islam yang mendapat amnesti, diam-diam menjadi informan Ali Moertopo. Kemudian Ateng Djaelani juga ikut bergabung ke Golkar. Ateng mendapat job bisnis mengurusi jaringan minyak tanah.
Meski pendekatan terus dilakukan, para veteran Darul Islam tetap sulit dikendalikan. Pada bulan Januari tahun 1974, beberapa veteran terlacak ada di belakang peristiwa kerusuhan penolakan Jepang atau dikenal peristiwa Malari. Jelang pemilu tahun 1977, di wilayah Sumatera muncul gerakan kekerasan yang mengatasnamakan Momok Revolusioner.
Mereka meledakkan gedung bioskop, bar, dan gereja Medan. Termasuk gereja baptis dan masjid di Sumatera Barat. Meski tidak langsung, diduga ada kaitan dengan orang-orang Darul Islam. Gerakan kekerasan ini menyita perhatian pemerintah.
Di waktu yang sama, orang-orang Darul Islam membentuk wadah baru bernama Komando Jihad. Mereka mulai mengisyaratkan, suara mereka tidak lagi utuh ke Golkar. Ada yang mulai bergeser ke PPP. Meskipun pergeseran suara pemilih tersebut, tidak signifikan.
Pembentukan Komando Jihad tidak lepas dari campur tangan Ali Moertopo. Bahkan upaya strategi Moertopo dalam menjinakkan Darul Islam. Tujuannya, aspirasi politik mereka akan tersalurkan, dan selanjutnya melupakan jalan kekerasan.
Usai bertemu Ali Moertopo, sejumlah tokoh utama dibebaskan. Beberapa diantaranya bekerja pada unit operasi khusus di bawah komando Ali Moertopo. Tulis Ken Conboy, "Ini karena Moertopo tengah mencari-mencari cari kelompok pemilih yang akan bertindak untuk kepentingan Golkar pada pemilu 1971".
Semacam permainan dakon. Tiket kebebasan yang diberikan kepada para fundamentalis, harus berimbal balik. Yakni menguntungkan kepentingan politik orde baru. Terutama terkait pendulangan suara Golkar di pemilihan umum. Pemilu digelar 3 Juli 1972. Sesuai perkiraaan, Golkar menang telak.
Namun di sisi lain pemerintah semakin sulit mengontrol orang-orang Darul Islam. Haji Ismail Pranoto atau populer dipanggil Hispran, Adah Djaelani dan Dodo Muhammad Darda bin Kartosuwirjo. Hispran dan Dodo menolak keras pendekatan pemerintah.
Baca Juga: Kisah Raden Karlan Pejuang OKD Melawan DI/TII di Pangandaran
Sementara Danu Mohammad Hassan, salah satu tokoh penting Darul Islam yang mendapat amnesti, diam-diam menjadi informan Ali Moertopo. Kemudian Ateng Djaelani juga ikut bergabung ke Golkar. Ateng mendapat job bisnis mengurusi jaringan minyak tanah.
Meski pendekatan terus dilakukan, para veteran Darul Islam tetap sulit dikendalikan. Pada bulan Januari tahun 1974, beberapa veteran terlacak ada di belakang peristiwa kerusuhan penolakan Jepang atau dikenal peristiwa Malari. Jelang pemilu tahun 1977, di wilayah Sumatera muncul gerakan kekerasan yang mengatasnamakan Momok Revolusioner.
Mereka meledakkan gedung bioskop, bar, dan gereja Medan. Termasuk gereja baptis dan masjid di Sumatera Barat. Meski tidak langsung, diduga ada kaitan dengan orang-orang Darul Islam. Gerakan kekerasan ini menyita perhatian pemerintah.
Di waktu yang sama, orang-orang Darul Islam membentuk wadah baru bernama Komando Jihad. Mereka mulai mengisyaratkan, suara mereka tidak lagi utuh ke Golkar. Ada yang mulai bergeser ke PPP. Meskipun pergeseran suara pemilih tersebut, tidak signifikan.
Pembentukan Komando Jihad tidak lepas dari campur tangan Ali Moertopo. Bahkan upaya strategi Moertopo dalam menjinakkan Darul Islam. Tujuannya, aspirasi politik mereka akan tersalurkan, dan selanjutnya melupakan jalan kekerasan.