Komando Jihad, Cara Intelijen Soeharto Menjinakkan Gerakan Ekstrim Kanan
loading...
A
A
A
TUBUH Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo sudah bungkuk digerogoti usia, saat enam orang regu tembak bersiap siaga menarik pelatuk senjata. Kartosuwirjo tetap tenang. Di sebuah kawasan kepulauan seribu, Jakarta. Imam besar Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI TII) tersebut, dieksekusi.
Laki laki kelahiran Cepu, Jawa Tengah, anak pedagang candu yang belajar pergerakan pada HOS Cokroaminoto, mertua Soekarno di Surabaya tersebut, dipaksa menjemput ajal. Kartosuwirjo tamat. Begitu juga dengan Kahar Muzzakar, sekutunya di Sulawesi Selatan. Kahar pernah menjadi pengawal Soekarno di masa perang kemerdekaan.
Baca Juga: Kahar Muzakkar Patriot atau Pemberontak?
Seorang patriot yang dianugerahi pangkat letnan kolonel, dan menjadi wakil komandan pasukan gerilyawan di Jawa Timur itu, juga menyusul tamat (3 Januari 1954). Foto-foto kematiannya yang diberondong peluru, menjadi bagian alat propaganda. Disebar ke publik. Namun keberadaan makamnya sengaja dibiarkan misterius.
"Foto mayatnya disebar luaskan, tetapi lokasi makamnya disembunyikan untuk mencegah dijadikan lokasi berkumpul para simpatisan," tulis Ken Conboy dalam "Intel II Medan Tempur Kedua". Di era rezim Soekarno, yakni sebelum meletus peristiwa 30 September 1965, mereka yang terlibat dengan gerakan makar DI TII, PRRI dan Permesta, digebuk habis.
Bung Karno juga membubarkan Partai Masyumi dan PSI yang ditengarai terlibat dalam upaya makar tersebut. Secara organisasi dan gerakan, DI TII dan PRRI praktis lumpuh. Apalagi pemimpin utama mereka juga sudah dieksekusi. Namun para pengikut yang memperoleh amnesti, diam-diam masih meneguhi nilai yang diyakini : mendirikan negara Islam Indonesia dan anti komunisme.
Begitu juga sejumlah pimpinan Darul Islam dan PRRI yang mendekam di penjara rezim Soekarno. Sikap politiknya tetap tidak berubah. "Untuk PRRI, mereka menyatakan diri sebagai anti komunis jauh sebelum militer (Sebelum September 1965, militer menyatakan diri non komunis, bukan anti komunis)," tulis Ken Conboy.
Baca Juga: Eks DI/TII, Harokah Islam dan NII Ikrar Setia Pancasila
Nasib baik berpihak. G 30 S PKI meletus. Di bawah komando Mayjen Suharto, militer angkatan darat menumpas PKI beserta seluruh pengikutnya. Seluruh gerakan kiri beserta para simpatisannya, yang selama ini dibenci pengikut DI TII, PRRI, Masyumi dan PSI, oleh militer disikat habis. Militer membantu menyingkirkan musuh politik mereka.
Turbulensi politik 1965 mengakibatkan Bung Karno lengser. Secara cepat orde baru naik ke atas dengan Jendral Suharto sebagai presiden, menggantikan orde lama. Awal rezim baru. Dengan hancurnya seluruh gerakan kiri, para eks PRRI, DI TII, Masyumi dan PSI seperti mendapat ruang kembali.
Rezim orde baru juga tengah memperkuat kaki kaki kekuasaannya. Partai politik diringkas menjadi tiga partai. PDI, PPP dan Golkar. Melalui tangan Letnan Kolonel Ali Moertopo, Suharto menyiapkan operasi khusus. Sejumlah tokoh eks DI TII dan PRRI yang masih mendekam di penjara, didekati.
Usai bertemu Ali Moertopo, sejumlah tokoh utama dibebaskan. Beberapa diantaranya bekerja pada unit operasi khusus di bawah komando Ali Moertopo. Tulis Ken Conboy, "Ini karena Moertopo tengah mencari-mencari cari kelompok pemilih yang akan bertindak untuk kepentingan Golkar pada pemilu 1971".
Semacam permainan dakon. Tiket kebebasan yang diberikan kepada para fundamentalis, harus berimbal balik. Yakni menguntungkan kepentingan politik orde baru. Terutama terkait pendulangan suara Golkar di pemilihan umum. Pemilu digelar 3 Juli 1972. Sesuai perkiraaan, Golkar menang telak.
Namun di sisi lain pemerintah semakin sulit mengontrol orang-orang Darul Islam. Haji Ismail Pranoto atau populer dipanggil Hispran, Adah Djaelani dan Dodo Muhammad Darda bin Kartosuwirjo. Hispran dan Dodo menolak keras pendekatan pemerintah.
Baca Juga: Kisah Raden Karlan Pejuang OKD Melawan DI/TII di Pangandaran
Sementara Danu Mohammad Hassan, salah satu tokoh penting Darul Islam yang mendapat amnesti, diam-diam menjadi informan Ali Moertopo. Kemudian Ateng Djaelani juga ikut bergabung ke Golkar. Ateng mendapat job bisnis mengurusi jaringan minyak tanah.
Meski pendekatan terus dilakukan, para veteran Darul Islam tetap sulit dikendalikan. Pada bulan Januari tahun 1974, beberapa veteran terlacak ada di belakang peristiwa kerusuhan penolakan Jepang atau dikenal peristiwa Malari. Jelang pemilu tahun 1977, di wilayah Sumatera muncul gerakan kekerasan yang mengatasnamakan Momok Revolusioner.
Mereka meledakkan gedung bioskop, bar, dan gereja Medan. Termasuk gereja baptis dan masjid di Sumatera Barat. Meski tidak langsung, diduga ada kaitan dengan orang-orang Darul Islam. Gerakan kekerasan ini menyita perhatian pemerintah.
Di waktu yang sama, orang-orang Darul Islam membentuk wadah baru bernama Komando Jihad. Mereka mulai mengisyaratkan, suara mereka tidak lagi utuh ke Golkar. Ada yang mulai bergeser ke PPP. Meskipun pergeseran suara pemilih tersebut, tidak signifikan.
Pembentukan Komando Jihad tidak lepas dari campur tangan Ali Moertopo. Bahkan upaya strategi Moertopo dalam menjinakkan Darul Islam. Tujuannya, aspirasi politik mereka akan tersalurkan, dan selanjutnya melupakan jalan kekerasan.
Pangdam Jawa Barat Jendral Himawan Soetanto meragukan keberhasilan strategi itu. Himawan cenderung mengkhawatirkan. Pada peringatan HUT ABRI di Jakarta 1977, Himawan bersama Pangdam di Jawa lainnya, mengonfrontasi Ali Moertopo.
"Kami semua khawatir ia (Ali Moertopo) membiarkan Komando Jihad berkembang tanpa diawasi di daerah," kata Himawan dalam buku "Intel II Medan Tempur Kedua". Dalam perbincangan itu Ali Moertopo meminta para pangdam untuk tidak merasa khawatir.
Moertopo memakai Komando Jihad untuk melawan kekuatan orang-orang komunis yang tersisa. Mereka juga dipakai untuk pendulangan suara Golkar di pemilu. Sementara Komando Jihad tidak hanya memerangi orang komunis. Mereka diam-diam memanfatkan kesempatan yang ada untuk membangun organisasi.
Kata Himawan, "Ini seperti permainan kendali siapa atas siapa". Entah mengapa. Sebelum pemilu 1977 yang berlangsung bulan Mei, Komando Jihad tiba-tiba dioperasi. Sebanyak 185 orang ditangkap di berbagai provinsi. Perinciannya, 23 orang di Jawa Timur yang menyebut diri dengan nama Barisan Jihad.
Kemudian 105 orang diamankan di Jakarta, 38 orang di Jawa Barat, dan 19 orang di Jawa Tengah. Di Sumatera, petugas menggerebek kelompok Momok Revolusioner. Secara organisasi, Komando Jihad terkapar. Jelang akhir tahun 70, semua yang sebelumnya terinspirasi Komando Jihad, tiarap. Semua bersembunyi.
Di wilayah Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, seorang warga bercerita. Ia menuturkan, orang tuanya pernah ditangkap tentara karena dituduh sebagai anggota Komando Jihad. Seingat dia, orang-orang yang terlibat Komando Jihad mendapat sebutan sampul D.
Laki-laki yang kini berusia lebih 50 tahun itu mengaku tidak tahu pasti. Apa arti sampul D. Mungkin semacam kode ET (eks tapol) di KTP orang-orang eks komunis. "Saat itu anak anak dari mereka yang terlibat gerakan Komando Jihad juga tidak bisa masuk PNS," tuturnya tanpa bersedia menyebut nama. Sumber: Intel II Medan Tempur Kedua, penulis: Ken Conboy
Lihat Juga: Ajaib! Doa Mustajab Bung Karno Bikin Karier Jenderal Kopassus LBP Melesat di Militer dan Politik
Laki laki kelahiran Cepu, Jawa Tengah, anak pedagang candu yang belajar pergerakan pada HOS Cokroaminoto, mertua Soekarno di Surabaya tersebut, dipaksa menjemput ajal. Kartosuwirjo tamat. Begitu juga dengan Kahar Muzzakar, sekutunya di Sulawesi Selatan. Kahar pernah menjadi pengawal Soekarno di masa perang kemerdekaan.
Baca Juga: Kahar Muzakkar Patriot atau Pemberontak?
Seorang patriot yang dianugerahi pangkat letnan kolonel, dan menjadi wakil komandan pasukan gerilyawan di Jawa Timur itu, juga menyusul tamat (3 Januari 1954). Foto-foto kematiannya yang diberondong peluru, menjadi bagian alat propaganda. Disebar ke publik. Namun keberadaan makamnya sengaja dibiarkan misterius.
"Foto mayatnya disebar luaskan, tetapi lokasi makamnya disembunyikan untuk mencegah dijadikan lokasi berkumpul para simpatisan," tulis Ken Conboy dalam "Intel II Medan Tempur Kedua". Di era rezim Soekarno, yakni sebelum meletus peristiwa 30 September 1965, mereka yang terlibat dengan gerakan makar DI TII, PRRI dan Permesta, digebuk habis.
Bung Karno juga membubarkan Partai Masyumi dan PSI yang ditengarai terlibat dalam upaya makar tersebut. Secara organisasi dan gerakan, DI TII dan PRRI praktis lumpuh. Apalagi pemimpin utama mereka juga sudah dieksekusi. Namun para pengikut yang memperoleh amnesti, diam-diam masih meneguhi nilai yang diyakini : mendirikan negara Islam Indonesia dan anti komunisme.
Begitu juga sejumlah pimpinan Darul Islam dan PRRI yang mendekam di penjara rezim Soekarno. Sikap politiknya tetap tidak berubah. "Untuk PRRI, mereka menyatakan diri sebagai anti komunis jauh sebelum militer (Sebelum September 1965, militer menyatakan diri non komunis, bukan anti komunis)," tulis Ken Conboy.
Baca Juga: Eks DI/TII, Harokah Islam dan NII Ikrar Setia Pancasila
Nasib baik berpihak. G 30 S PKI meletus. Di bawah komando Mayjen Suharto, militer angkatan darat menumpas PKI beserta seluruh pengikutnya. Seluruh gerakan kiri beserta para simpatisannya, yang selama ini dibenci pengikut DI TII, PRRI, Masyumi dan PSI, oleh militer disikat habis. Militer membantu menyingkirkan musuh politik mereka.
Turbulensi politik 1965 mengakibatkan Bung Karno lengser. Secara cepat orde baru naik ke atas dengan Jendral Suharto sebagai presiden, menggantikan orde lama. Awal rezim baru. Dengan hancurnya seluruh gerakan kiri, para eks PRRI, DI TII, Masyumi dan PSI seperti mendapat ruang kembali.
Rezim orde baru juga tengah memperkuat kaki kaki kekuasaannya. Partai politik diringkas menjadi tiga partai. PDI, PPP dan Golkar. Melalui tangan Letnan Kolonel Ali Moertopo, Suharto menyiapkan operasi khusus. Sejumlah tokoh eks DI TII dan PRRI yang masih mendekam di penjara, didekati.
Usai bertemu Ali Moertopo, sejumlah tokoh utama dibebaskan. Beberapa diantaranya bekerja pada unit operasi khusus di bawah komando Ali Moertopo. Tulis Ken Conboy, "Ini karena Moertopo tengah mencari-mencari cari kelompok pemilih yang akan bertindak untuk kepentingan Golkar pada pemilu 1971".
Semacam permainan dakon. Tiket kebebasan yang diberikan kepada para fundamentalis, harus berimbal balik. Yakni menguntungkan kepentingan politik orde baru. Terutama terkait pendulangan suara Golkar di pemilihan umum. Pemilu digelar 3 Juli 1972. Sesuai perkiraaan, Golkar menang telak.
Namun di sisi lain pemerintah semakin sulit mengontrol orang-orang Darul Islam. Haji Ismail Pranoto atau populer dipanggil Hispran, Adah Djaelani dan Dodo Muhammad Darda bin Kartosuwirjo. Hispran dan Dodo menolak keras pendekatan pemerintah.
Baca Juga: Kisah Raden Karlan Pejuang OKD Melawan DI/TII di Pangandaran
Sementara Danu Mohammad Hassan, salah satu tokoh penting Darul Islam yang mendapat amnesti, diam-diam menjadi informan Ali Moertopo. Kemudian Ateng Djaelani juga ikut bergabung ke Golkar. Ateng mendapat job bisnis mengurusi jaringan minyak tanah.
Meski pendekatan terus dilakukan, para veteran Darul Islam tetap sulit dikendalikan. Pada bulan Januari tahun 1974, beberapa veteran terlacak ada di belakang peristiwa kerusuhan penolakan Jepang atau dikenal peristiwa Malari. Jelang pemilu tahun 1977, di wilayah Sumatera muncul gerakan kekerasan yang mengatasnamakan Momok Revolusioner.
Mereka meledakkan gedung bioskop, bar, dan gereja Medan. Termasuk gereja baptis dan masjid di Sumatera Barat. Meski tidak langsung, diduga ada kaitan dengan orang-orang Darul Islam. Gerakan kekerasan ini menyita perhatian pemerintah.
Di waktu yang sama, orang-orang Darul Islam membentuk wadah baru bernama Komando Jihad. Mereka mulai mengisyaratkan, suara mereka tidak lagi utuh ke Golkar. Ada yang mulai bergeser ke PPP. Meskipun pergeseran suara pemilih tersebut, tidak signifikan.
Pembentukan Komando Jihad tidak lepas dari campur tangan Ali Moertopo. Bahkan upaya strategi Moertopo dalam menjinakkan Darul Islam. Tujuannya, aspirasi politik mereka akan tersalurkan, dan selanjutnya melupakan jalan kekerasan.
Pangdam Jawa Barat Jendral Himawan Soetanto meragukan keberhasilan strategi itu. Himawan cenderung mengkhawatirkan. Pada peringatan HUT ABRI di Jakarta 1977, Himawan bersama Pangdam di Jawa lainnya, mengonfrontasi Ali Moertopo.
"Kami semua khawatir ia (Ali Moertopo) membiarkan Komando Jihad berkembang tanpa diawasi di daerah," kata Himawan dalam buku "Intel II Medan Tempur Kedua". Dalam perbincangan itu Ali Moertopo meminta para pangdam untuk tidak merasa khawatir.
Moertopo memakai Komando Jihad untuk melawan kekuatan orang-orang komunis yang tersisa. Mereka juga dipakai untuk pendulangan suara Golkar di pemilu. Sementara Komando Jihad tidak hanya memerangi orang komunis. Mereka diam-diam memanfatkan kesempatan yang ada untuk membangun organisasi.
Kata Himawan, "Ini seperti permainan kendali siapa atas siapa". Entah mengapa. Sebelum pemilu 1977 yang berlangsung bulan Mei, Komando Jihad tiba-tiba dioperasi. Sebanyak 185 orang ditangkap di berbagai provinsi. Perinciannya, 23 orang di Jawa Timur yang menyebut diri dengan nama Barisan Jihad.
Kemudian 105 orang diamankan di Jakarta, 38 orang di Jawa Barat, dan 19 orang di Jawa Tengah. Di Sumatera, petugas menggerebek kelompok Momok Revolusioner. Secara organisasi, Komando Jihad terkapar. Jelang akhir tahun 70, semua yang sebelumnya terinspirasi Komando Jihad, tiarap. Semua bersembunyi.
Di wilayah Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, seorang warga bercerita. Ia menuturkan, orang tuanya pernah ditangkap tentara karena dituduh sebagai anggota Komando Jihad. Seingat dia, orang-orang yang terlibat Komando Jihad mendapat sebutan sampul D.
Laki-laki yang kini berusia lebih 50 tahun itu mengaku tidak tahu pasti. Apa arti sampul D. Mungkin semacam kode ET (eks tapol) di KTP orang-orang eks komunis. "Saat itu anak anak dari mereka yang terlibat gerakan Komando Jihad juga tidak bisa masuk PNS," tuturnya tanpa bersedia menyebut nama. Sumber: Intel II Medan Tempur Kedua, penulis: Ken Conboy
Lihat Juga: Ajaib! Doa Mustajab Bung Karno Bikin Karier Jenderal Kopassus LBP Melesat di Militer dan Politik
(nic)