Tradisi Dugderan di Tengah Corona, Begini Konsepnya
loading...
A
A
A
SEMARANG - Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang tetap akan menggelar tradisi dugderan menyambut Ramadan meski saat ini masih dalam kondisi pandemi corona. Hanya saja, perayaan tahunan ini akan sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Perayaan dugderan kali ini tidak akan ada lagi arak-arakan Warak Ngendhog yang menjadi ciri khas tradisi ini. “Diskusinya ada dua hal. Pertama adalah sebuah prosesi yang ingin menyampaikan kepada masyarakat bahwa sebentar lagi Ramadan datang tapi di tengah situasi COVID-19,” tandas Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, Kamis (16/4/2020). (Baca juga: Kabar Baik, Pasien Sembuh Lebih Banyak dari Korban Corona Meninggal)
“Maka dalam pandangan saya dan insya Allah ini menjadi keputusan kami nanti. Prosesi dugderan ini, cukup saya sama bu wakil wali kota yang datang ke Masjid Agung Kauman Semarang, diterima 1 atau 2 kiai takmir masjid tersebut. Kemudian takmir itu akan woro-woro atau menyampaikan kepada masyarakat lewat pengeras masjid,” lanjutnya.
Dengan prosesi sederhana itu, maka tradisi tetap berjalan sekaligus mematuhi anjuran pemerintah untuk tidak menciptakan kerumunan. Sebab, pada tradisi dugderan tahun-tahun sebelumnya selalu dipadati ribuan orang dari berbagai daerah.
“Jadi tetap dilakukan (dugderan), tapi konsepnya sangat sederhana. Tidak ada arak-arakan, tidak ada masyarakat yang terlibat, tapi bahwa upaya untuk mengumumkan kepada masyarakat sebentar lagi Ramadan tetap akan dilaksanakan,” jelasnya.
Dugderan merupakan tradisi menyambut datangnya bulan suci Ramadan di Kota Semarang. Asal muasal dugderan dari suara bedug yang berbunyi “dug” serta suara meriam yang menggelegar “der”. Dua bunyi itu lazim terdengar di Semarang pada zaman dulu untuk memberitahu saatnya memasuki bulan puasa Ramadan.
Karenanya dalam setiap tradisi dugderan akan dilakukan pemukulan bedug serta menyalakan meriam. “Suara meriamnya tetap (ada),” tandasnya.
Perayaan dugderan kali ini tidak akan ada lagi arak-arakan Warak Ngendhog yang menjadi ciri khas tradisi ini. “Diskusinya ada dua hal. Pertama adalah sebuah prosesi yang ingin menyampaikan kepada masyarakat bahwa sebentar lagi Ramadan datang tapi di tengah situasi COVID-19,” tandas Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, Kamis (16/4/2020). (Baca juga: Kabar Baik, Pasien Sembuh Lebih Banyak dari Korban Corona Meninggal)
“Maka dalam pandangan saya dan insya Allah ini menjadi keputusan kami nanti. Prosesi dugderan ini, cukup saya sama bu wakil wali kota yang datang ke Masjid Agung Kauman Semarang, diterima 1 atau 2 kiai takmir masjid tersebut. Kemudian takmir itu akan woro-woro atau menyampaikan kepada masyarakat lewat pengeras masjid,” lanjutnya.
Dengan prosesi sederhana itu, maka tradisi tetap berjalan sekaligus mematuhi anjuran pemerintah untuk tidak menciptakan kerumunan. Sebab, pada tradisi dugderan tahun-tahun sebelumnya selalu dipadati ribuan orang dari berbagai daerah.
“Jadi tetap dilakukan (dugderan), tapi konsepnya sangat sederhana. Tidak ada arak-arakan, tidak ada masyarakat yang terlibat, tapi bahwa upaya untuk mengumumkan kepada masyarakat sebentar lagi Ramadan tetap akan dilaksanakan,” jelasnya.
Dugderan merupakan tradisi menyambut datangnya bulan suci Ramadan di Kota Semarang. Asal muasal dugderan dari suara bedug yang berbunyi “dug” serta suara meriam yang menggelegar “der”. Dua bunyi itu lazim terdengar di Semarang pada zaman dulu untuk memberitahu saatnya memasuki bulan puasa Ramadan.
Karenanya dalam setiap tradisi dugderan akan dilakukan pemukulan bedug serta menyalakan meriam. “Suara meriamnya tetap (ada),” tandasnya.
(nbs)