Kisah Tongggak Kayu Jati Penyangga Benteng Pendem, Diguncang Gempa Tetap Utuh
loading...
A
A
A
Benteng Pendem atau Gedung Fort Willem I di Lodoyong, Ambarawa , Kabupaten Semarang, Jateng merupakan saksi bisu kolonialisme Belanda hingga tekad bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. (Baca juga: KH Anwar Musaddad, Ulama Besar yang Kerap Merepotkan Pasukan Belanda)
Bangunan yang pernah jadi markas serdadu Belanda itu kini masih tegap berdiri meski masih berselimut misteri. Akses menuju lokasi benteng pendem dapat melalui jalur lingkar Ambarawa atau dekat RSUD dr Gunawan Mangunkusumo. Patokannya, ada gapura berwarna kuning. Jika dari Kota Semarang, dapat ditempuh sekitar 1,5 jam, berkendara motor atau mobil. (Baca juga: Mengungsi dari Amukan Merapi, Warga Tlogolele Sebut "Simbah Buyut Mau Punya Gawe")
Setelah sampai di tempat tersebut, pengunjung harus melalui Jalan Kyai Mahfudh Salam atau Jalan Benteng Dalam. Jalan tersebut terbilang kecil, kendaraan roda empat tak bisa jalan bersisihan. Bila tidak melewati tempat itu, bisa juga melewati kompleks militer dan Lapas Ambarawa. Namun tentu saja, harus diperiksa dengan ketat.
(Baca juga: Misteri Pusaka-pusaka Kerajaan Mataram yang Dibuat dari Batu Meteor)
Sekitar satu kilometer dari gerbang berwarna kuning, warga setempat telah menyediakan tempat parkir. Untuk retribusinya, cukup membayar Rp5.000 per orang dan Rp5.000 untuk parkir.
Dari lahan parkir, yang langsung terlihat adalah lengkungan gerbang seperti lorong. Bangunan tersebut terlihat begitu kuno. Bagian dinding sudah nampak mengelupas di kanan kiri. Ada kesan seram namun, tak menghilangkan kesan kokoh, elok sekaligus menakjubkan.
Ketua RT 07 Desa Lodoyong Mahmudi mengungkapkan, warga sekitar menyebut bangunan itu sebagai beteng pendem atau benteng terpendam. Selain karena konstruksinya, lokasi benteng ini pun berada di areal persawahan dan dipenuhi belukar.
Konon, saat pembangunannya, pondasi benteng pendem ditopang oleh balok-balok kayu jati berukuran besar. “Ceritanya seperti itu, jadi bangunan ini layaknya kapal. Karena berdiri di tengah rawa. Jadi pas gempa Yogya, hampir tidak terasa, bangunannya pun masih utuh,” ungkapnya.
Pensiunan sipir Lapas Ambarawa itu menyebut, peruntukan benteng ini berubah seiring zaman. Di awal pembangunannya, benteng ini diperuntukkan sebagai barak, gudang logistik sekaligus penjara. Ketika Jepang menduduki Jawa, bangunan ini dijadikan sebagai tahanan.
Seorang tokoh yang pernah ditahan di sini adalab seorang pejuang sekaligus ulama, yakni Kiai Mahfud Salam. Ia mendiami salah satu blok di benteng pendem, hingga akhirnya meninggal dunia dan dikebumikan di luar kompleks benteng.
“Ada kisah lain, saat pertempuran di Ambarawa atau Palagan Ambarawa yang dipimpin Soedirman (Jenderal Besar TNI), kawasan ini direbut oleh TKR (Tentara Keamanan Rakyat),” beber Mahmudi.
Kini, kompleks benteng pendem masih digunakan sebagai Lapas IIA Ambarawa, rumah dinas sipir dan tentara, sekaligus tempat wisata. Ada sekitar 77 orang yang menghuni lantai dua benteng pendem. Sedangkan, di sisi lain ada ratusan narapidana kriminal dan narkoba yang menghuni lembaga pemasyarakatan.
“Kalau mau ke benteng pendem, hanya bayar Rp5.000 ribu per orang dan ongkos parkir. Setiap hari pasti ada pengunjung. Yang mengelola warga-warga yang tinggal di sini,” sebutnya.
Ia menjelaskan, nama benteng ini diambil dari nama Raja Belanda Willem Frederik Prins Vans Oranje-Nassau (1815-1840). Perlu 11 tahun (1834-1845) dengan ribuan pekerja, untuk menyelesaikan barak sekaligus gudang logistik yang mampu menampung 12.000 prajurit itu.
Keterangan Mahmudi, juga dikuatkan dengan penelitian ilmiah dari Jurnal ‘Ruang’ milik Universitas Diponegoro (Undip) pada 2016.
Selain menampung serdadu, tempat ini juga untuk menyimpan logistik perang, mulai dari mimis, bedil, meriam, hingga kendaraan berat. Adapula, kebutuhan makanan bagi ribuan narapidana yang ditahan di benteng itu.
Bangunan yang pernah jadi markas serdadu Belanda itu kini masih tegap berdiri meski masih berselimut misteri. Akses menuju lokasi benteng pendem dapat melalui jalur lingkar Ambarawa atau dekat RSUD dr Gunawan Mangunkusumo. Patokannya, ada gapura berwarna kuning. Jika dari Kota Semarang, dapat ditempuh sekitar 1,5 jam, berkendara motor atau mobil. (Baca juga: Mengungsi dari Amukan Merapi, Warga Tlogolele Sebut "Simbah Buyut Mau Punya Gawe")
Setelah sampai di tempat tersebut, pengunjung harus melalui Jalan Kyai Mahfudh Salam atau Jalan Benteng Dalam. Jalan tersebut terbilang kecil, kendaraan roda empat tak bisa jalan bersisihan. Bila tidak melewati tempat itu, bisa juga melewati kompleks militer dan Lapas Ambarawa. Namun tentu saja, harus diperiksa dengan ketat.
(Baca juga: Misteri Pusaka-pusaka Kerajaan Mataram yang Dibuat dari Batu Meteor)
Sekitar satu kilometer dari gerbang berwarna kuning, warga setempat telah menyediakan tempat parkir. Untuk retribusinya, cukup membayar Rp5.000 per orang dan Rp5.000 untuk parkir.
Dari lahan parkir, yang langsung terlihat adalah lengkungan gerbang seperti lorong. Bangunan tersebut terlihat begitu kuno. Bagian dinding sudah nampak mengelupas di kanan kiri. Ada kesan seram namun, tak menghilangkan kesan kokoh, elok sekaligus menakjubkan.
Ketua RT 07 Desa Lodoyong Mahmudi mengungkapkan, warga sekitar menyebut bangunan itu sebagai beteng pendem atau benteng terpendam. Selain karena konstruksinya, lokasi benteng ini pun berada di areal persawahan dan dipenuhi belukar.
Konon, saat pembangunannya, pondasi benteng pendem ditopang oleh balok-balok kayu jati berukuran besar. “Ceritanya seperti itu, jadi bangunan ini layaknya kapal. Karena berdiri di tengah rawa. Jadi pas gempa Yogya, hampir tidak terasa, bangunannya pun masih utuh,” ungkapnya.
Pensiunan sipir Lapas Ambarawa itu menyebut, peruntukan benteng ini berubah seiring zaman. Di awal pembangunannya, benteng ini diperuntukkan sebagai barak, gudang logistik sekaligus penjara. Ketika Jepang menduduki Jawa, bangunan ini dijadikan sebagai tahanan.
Seorang tokoh yang pernah ditahan di sini adalab seorang pejuang sekaligus ulama, yakni Kiai Mahfud Salam. Ia mendiami salah satu blok di benteng pendem, hingga akhirnya meninggal dunia dan dikebumikan di luar kompleks benteng.
“Ada kisah lain, saat pertempuran di Ambarawa atau Palagan Ambarawa yang dipimpin Soedirman (Jenderal Besar TNI), kawasan ini direbut oleh TKR (Tentara Keamanan Rakyat),” beber Mahmudi.
Kini, kompleks benteng pendem masih digunakan sebagai Lapas IIA Ambarawa, rumah dinas sipir dan tentara, sekaligus tempat wisata. Ada sekitar 77 orang yang menghuni lantai dua benteng pendem. Sedangkan, di sisi lain ada ratusan narapidana kriminal dan narkoba yang menghuni lembaga pemasyarakatan.
“Kalau mau ke benteng pendem, hanya bayar Rp5.000 ribu per orang dan ongkos parkir. Setiap hari pasti ada pengunjung. Yang mengelola warga-warga yang tinggal di sini,” sebutnya.
Ia menjelaskan, nama benteng ini diambil dari nama Raja Belanda Willem Frederik Prins Vans Oranje-Nassau (1815-1840). Perlu 11 tahun (1834-1845) dengan ribuan pekerja, untuk menyelesaikan barak sekaligus gudang logistik yang mampu menampung 12.000 prajurit itu.
Keterangan Mahmudi, juga dikuatkan dengan penelitian ilmiah dari Jurnal ‘Ruang’ milik Universitas Diponegoro (Undip) pada 2016.
Selain menampung serdadu, tempat ini juga untuk menyimpan logistik perang, mulai dari mimis, bedil, meriam, hingga kendaraan berat. Adapula, kebutuhan makanan bagi ribuan narapidana yang ditahan di benteng itu.