Kisah Pengungsi Merapi, Sejak 1994 Sudah Empat Kali Merasakan Tinggal di Barak

Sabtu, 07 November 2020 - 20:14 WIB
loading...
Kisah Pengungsi Merapi, Sejak 1994 Sudah Empat Kali Merasakan Tinggal di Barak
Ratinem, 63 saat berada di barak pengungsian Glagaharjo Cangkringan, Sleman, Sabtu (7/11/2020) sore. Foto/SINDOnews/Priyo Setyawan
A A A
SLEMAN - Ratinem (63), tatap matanya kosong saat memandang deretan sekat bilik yang ada di depannya. Sesekali perempuan lanjut usia itu memainkan jari-jari tangannya dan menoleh ke kanan dan ke kiri melihat sekiling dengan diam membisu dibalut masker hitam.

Dia bersama 132 warga kelompok rentan (lansia ibu hamil, anak-anak dan disabilitas) dariKalitengah Lor, Cangkringan, Sleman sejak Sabtu (7/11/2020) sore menempati barak pengungsian Glagaharjo setelah status Gunung Merapi dinaikkan menjadi Siaga atau level III. (Baca juga: Masuk Zona Bahaya, Warga Cangkringan Mulai Mengungsi ke Barak)

Ratinem sendiri mengungsi dengan suaminya, Warno Sumarjo (70). Pasutri ini menempati bilik bilik nomor 39. Bilik tersebut berukruan 2,2 meter kali 3 meter. (Baca juga: Ratusan Warga Magelang Mulai Diungsikan, Antisipasi Erupsi Merapi)

Ratinem menceritakan berada di tempat pengungsian bukan hal yang pertama. Sebelumnya, setiap kali erupsi Gunung Merapi dia mengaku selalu mengungsi. Tercatat sudah empat kali dirinya mengungsi. Pertama tahun 1994, kemudian tahun 2006, 2010 dan kembali mengungsi lagi tahun 2020. Sehingga mengungsi bagi dirinya tidak kaget.

“Tidak ada beda dengan kemarin, perasaan kalau mengungsi itu sama saja karena sudah biasa," katanya saat ditemui SINDOnews di barak pengungsian Glagaharjo, Cangkringan, Sabtu (7/11/2020) sore.

(Baca juga : Menyepelekan Urusan Kencing, Azab Kubur Menanti )

Ratinem mengaku mengungsi dengan kesadaran sendiri, tidak ada paksaan. Apalagi sudah mengetahui apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana erupsi Gunung Merapi. Sehingga saat ada instruksi mengungsi bisa memahaminya. "Sebelumnya kami sudah melakukan musyawarah dengan Pak Dukuh dan disepakati mengungsi mandiri," paparnya.

(Baca juga : Kawasaki Umumkan Akan Lebih Fokus Produksi Kereta Api Mulai 2021 )

Ratinem tinggal di Kalitengah Lor hanya berdua dengan suaminya. Sedangkan akan-anaknya pergi merantau. Saat mengungsi pun hanya membawa pakaian untuk ganti. Selama mengungsi rumahnya kosong. “Harapan saya semoga ini cepat berlalu dan bisa kembali ke rumahnya,” ungkapnya.

Hal yang sama diungkapkan warga Kalitengah Lor lainnya, Kemirah (70) yang mengungsi sendirian. Suaminya, Pawiro Sumarto sudah meninggal dunia. Sedangkan anak-anaknya merantau ke Jakarta dan Sumatera. Karena sudah terbiasa hidup sendiri, sehingga baik di rumah maupun di tempat pengunsian tidak ada bedanya.

Sama seperti Ratinem, Kemirah juga sudah empat kali mengungsi saat erupsi Merapi, yaitu 1994, 2006, 2010 dan 2020. Meski begitu ia juga berharap bencana ini segera berlalu dan kembali pulang ke rumah.

Kepala pelaksana BPBD Sleman, Joko Supriyanto mengatakan tidak mengetahui sampai kapan para warga tersebut berada di barak pengungsian. Semua masih menunggu perkembangan dan rekomendasi dari BPPTKG.

"Kalau status siaga ini sampai dua bulan yang dua bulan ada di sini. Termasuk bila statusnya menjadi awas. Warga yang di atas harus diungsikan semua. Jika status kembali waspada mereka akan kembali ke atas," terangnya.
(shf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1093 seconds (0.1#10.140)