Mas-mas TRIP Berjuang Hingga Akhir Zaman...

Minggu, 01 November 2020 - 05:46 WIB
loading...
Mas-mas TRIP Berjuang Hingga Akhir Zaman...
Para pejuang mantan anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), bersama anak, dan cucunya, melakukan ziarah serta penghormatan di Taman Makam Pahlawan (TMP) TRIP. Foto/SINDOnews/Yuswantoro
A A A
MALANG - Sebuah makam besar, dengan dua batu nisan berwarna putih menyisakan ketegaran dan semangat yang masih terus menyala di bawah kibaran Sang Merah Putih. Makam itu menjadi persitirahan terakhir bagi 35 anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar ( TRIP ).

Waktu itu, mereka masih berusia belasan tahun. Tetapi, berani mengangkat senjata bersama-sama. Berjuang secara fisik, menjaga kedaulatan nusantara dari kembalinya para penjajah. (Baca juga: Di Patirtan Ini, Cinta Pandangan Pertama Arok-Dedes Bersemi )

Para prajurit TRIP , yang masih belia. Bertugas menjaga pertahanan di dalam Kota Malang. Mereka harus berjibaku, menghadapi tentara aggressor Belanda, yang bersenjata lengkap. Para prajurit belia ini, sempat membumihanguskan Kota Malang, untuk menghadang laju dari pasukan lawan.

Pertempuran heroik itu terjadi 31 Juli 1947. Tepatnya terjadi di Jalan Salak, Kota Malang, yang kini menjadi Jalan Pahlawan TRIP . Jalan yang langsung terhubung dengan Jalan Ijen ini, pada saat terjadi pertempuran, berdekatan langsung dengan sebuah hamparan luas lapangan pacuan kuda.

Kini, arena pertempuran heroik menghadapi serangan ganas Agresi Militer I Belanda tersebut, nyaris tidak nampak lagi. Himpitan perumahan elit, berharga miliaran rupiah, telah mengerdilkan pengorbanan besar untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia, dengan menumpahkan darah, dan mengorbankan nyawa.

Bahkan, makam yang digunakan untuk memakamkan jenazah anggota TRIP , dalam satu liang lahat itu. Nyaris saja hilang. Tergusur menjadi bangunan rumah toko (Ruko), bagian dari kompleks perumahan elit yang kini memenuhi seluruh bekas lapangan pacuan kuda.

Beruntung, di tahun 2008 silam. Saat Wali Kota Malang, dijabat oleh Peni Suparto, dengan berani Pemkot Malang, menetapkan kawasan itu sebagai kawasan cagar budaya, dan bersejarah, sehingga tidak bisa digusur lagi. (Baca juga: Dwarapala Saksi Bisu Ketangguhan Desa Menjaga Arjuna )

Suara dentuman meriam, dan rentetan tembakan senapan mesin dari pasukan Belanda, dengan dukungan penuh pasukan sekutu. Masih jelas terngiang diingatan para mantan anggota Batalyon 5000 TRIP Jawa Timur.

Pembentukan TRIP sendiri, terjadi pada tahun 1946. Tepatnya, pasca terjadinya pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya. Awalnya, merupakan tentara pelajar. Saat setelah pertempuran di Surabaya, akhirnya dibentuklah TRIP, yang terdiri dari lima batlayon. Semuanya tergabung dalam Brigade 17 Jawa Timur.

Saat Belanda, terus berupaya bergerak menguasai Jawa Timur. Mereka masuk dari Surabaya, dan Panarukan, Banyuwangi. Bergerak masuk menuju ke Malang, dengan kekuatan pasukan besar, yang dilengkapi senjata berat, dan dukungan pesawat tempur.

Mas-mas TRIP Berjuang Hingga Akhir Zaman...


Para pemuda ini ikut terpanggil mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dengan bergabung dalam pasukan TRIP , yang bertugas di garis depan. Saat itu, pemuda dari berbagai daerah yang masih bersatus sebagai pelajar berani berada di garis depan pertempuran.

Saat terjadi pertempuran heroik di Jalan Salak, yang bertugas di pusat pertahanan di dalam Kota Malang, lebih banyak diisi oleh anggota-anggota TRIP yang baru saja dimobilisasi. Mereka rata-rata adalah pelajar setingkat SMP. Tetapi, mereka tidak pernah gentar menghadapi tank-tank Belanda.

Bahkan, Susanto, salah satu komandan TRIP yang turut gugur dalam pertempuran di Jalan Salak. Secara gagah berani melawan tank Belanda, menaikinya, lalu menembaki musuh yang ada di dalam mesin perang tersebut, hanya bersenjatakan pistol. (Baca juga: Mengintip Petilasan Ken Dedes, Ibu Para Raja Nusantara )

Pasca perang mempertahankan kemerdekaan, para prajurit TRIP ini tidak putus untuk terus berjuang menjaga kedaulatan Indonesia. Mereka bukan hanya melanjutkan perjuangan melalui jalur militer, banyak juga yang menyebar menjadi guru, dan berbagai profesi untuk mengisi kemerdekaan.

Bahkan tidak sedikit yang akhirnya melanjutkan sekolah, dan menjadi tenaga ahli di pabrik-pabrik gula. Pabrik-pabrik gula yang sebelumnya dikuasai Belanda, masuk ke pangkuan ibu pertiwi, untuk menyejahterakan rakyat.

Pada tahun 1957, pemerintah Indonesia, mengambil alih pengelolaan pabrik-pabrik gula dari orang-orang Belanda. Sejumlah mantan prajurit TRIP yang melanjutkan pendidikan tentang gula, menjadi bagian dari orang-orang pribumi yang pertama kali bertugas untuk mengoperasikan pabrik-pabrik gula tersebut di bawah kibaran Merah Putih.

Sebagian lagi ada yang menjadi guru. Para prajurit TRIP ini memilih jalur mencerdaskan anak bangsa, melalui pendirian sejumlah sekolah. Perjuangan Indonesia, bagi para prajurit TRIP ini belumlah tuntas. (Baca juga: Jejak Bhatara Katong, Putra Brawijaya V Raja Terakhir Majapahit )

Perjuangan, masih panjang. Tantangannya juga semakin berat. Apabila dahulu TRIP memperjuangkan kemerdekaan dengan senjata, dan bertaruh nyawa. Kini, tantangannya adalah globalisasi yang bisa membuat anak-anak bangsa hanya menjadi penonton.

Anak-anak dan cucu-cucu para pejuang TRIP sering menggelar acara untuk menandai riwayat perjuangan TRIP tersebut. Biasanya mereka menggelar napak tilas pertempuran bumi hangus Kota Malang, yang terjadi pada 31 Juli 1947 silam.

Tetesan keringat, air mata, dan darah, telah dipersembahkan oleh para pahlawanan untuk Indonesia. Para anggota TRIP , tidak lagi muda. Tangan yang dahulu gagah mengokang senjata, telah berubah menjadi keriput. Tetapi, mereka terus berjuang mengabdikan seluruh jiwa dan raganya untuk Indonesia. Perjuangan yang tidak pernah putus, sebagai wujud semboyan dari TRIP , yakni Berjuang Kuteruskan Sampai Akhir Jaman...
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4274 seconds (0.1#10.140)