Ra Tanca Satu-satunya Dharmaputra yang Selamat Setelah Mengkhianati Majapahit
loading...

Sosok Ra Tanca menjadi satu-satunya anggota pasukan Dharmaputra yang selamat setelah pemberontakan besar mengguncang Kerajaan Majapahit di era Raja Jayanegara. Foto/Ilustrasi/Ist
A
A
A
SOSOK Ra Tanca menjadi satu-satunya anggota pasukan Dharmaputra yang selamat setelah pemberontakan besar mengguncang Kerajaan Majapahit. Ia berhasil menghindari maut saat Gajah Mada menumpas komplotan Ra Kuti yang sempat memaksa Raja Jayanegara keluar dari istana.
Setelah Raden Wijaya wafat dan Jayanegara naik takhta, Kerajaan Majapahit dilanda gelombang pemberontakan. Sejak usia 19 tahun, Jayanegara harus menghadapi berbagai ancaman, mulai dari Gajah Biru, Juru Demung, Maudama, Wagol, hingga Nambi - mantan Mahapatih Majapahit yang memiliki hubungan dengan Arya Wiraraja.
Negarakertagama mencatat bagaimana Jayanegara memimpin pasukannya sendiri untuk menghadapi para pemberontak.
"Empu Nambi dan sanak saudaranya dibinasakan, benteng di Pajarakan diduduki," demikian tertulis. Namun, di balik semua itu, Jayanegara dikenal sebagai raja yang lemah dan sewenang-wenang, sehingga mendapat julukan Kalagemet - sebuah sindiran yang tersembunyi.
Jayanegara adalah anak dari pernikahan Raden Wijaya dan Dara Petak, putri dari negeri Melayu. Pernikahan ini sempat memicu persaingan dengan keturunan Kertanegara dari Singasari.
Ketika Jayanegara naik takhta, ia melarang saudari tirinya, Tribuwanatunggadewi dan Radjadewi Maharadjasa, untuk menikah, diduga agar tidak ada pesaing terhadap kedudukannya.
Untuk mengamankan posisinya, Jayanegara membentuk pasukan khusus bernama Dharmaputra yang terdiri dari tujuh senopati pilihan: Ra Tanca, Ra Kuti, Ra Semi, Ra Pangsa, Ra Wedeng, Ra Juju, dan Ra Banyak. Mereka mendapat status istimewa dan disebut sebagai abdi dalem wineh suka, namun akhirnya justru berbalik melawan Jayanegara.
Pemberontakan besar terjadi ketika Ra Kuti memimpin kudeta yang nyaris merenggut nyawa Jayanegara. Dalam serangan mendadak, Raja Majapahit terpaksa melarikan diri ke Bedander, dikawal oleh 15 Bhayangkara di bawah komando Gajah Mada.
Sementara itu, Gajah Mada diam-diam kembali ke ibu kota, menyusun strategi, dan akhirnya berhasil merebut kembali tahta untuk Jayanegara dengan menumpas pemberontak. Semua pemberontak tewas—kecuali Ra Tanca.
Di istana Majapahit, Ra Tanca yang memiliki keahlian obat-obatan (Tabib) mampu bertahan dalam waktu lama.
"Pemberontakan Kuti dan peristiwa Tanca yang mengakibatkan wafatnya Raja Jayanegara berjarak sembilan tahun," tulis Slamet Muljana dalam "Menuju Puncak Kemegahan, Sejarah Kerajaan Majapahit".
Ra Tanca, seorang tabib istana, kembali mengabdi setelah pemberontakan Ra Kuti. Namun, dendam lama terhadap Jayanegara masih membara. Puncaknya terjadi saat penyakit bisul raja kambuh.
Ketika dipanggil untuk melakukan operasi, Ra Tanca melihat kesempatan. Pada pembedahan ketiga, ia tidak hanya mengiris bisul sang raja tetapi juga menikamkan belati ke tubuhnya. Jayanegara tewas seketika.
Namun, Ra Tanca tidak sempat menikmati keberhasilannya. Gajah Mada yang berada di tempat kejadian langsung bertindak dan menikam Ra Tanca hingga tewas di lokasi yang sama. Tragedi ini terjadi pada tahun Saka 1250 atau 1328 Masehi.
"Pemberontakan Kuti dan peristiwa Tanca yang mengakibatkan wafatnya Raja Jayanegara berjarak sembilan tahun," tulis Slamet Muljana dalam "Menuju Puncak Kemegahan, Sejarah Kerajaan Majapahit".
Dengan mangkatnya Jayanegara, Gajah Mada mengangkat Tribuwanatunggadewi sebagai pemimpin Majapahit.
Langkah ini mendapat dukungan luas karena mengembalikan kekuasaan kepada keturunan langsung Kertanegara. Kelak, dari garis ini lahir Hayam Wuruk, raja yang membawa Majapahit ke puncak kejayaannya.
Pembunuhan Ra Tanca juga memperkuat posisi Gajah Mada di mata rakyat dan elite Majapahit. Ia dianggap sebagai tokoh yang mengoreksi ketidakadilan dan menegakkan hak keturunan Singasari, sekaligus menghapus jejak pengaruh Dara Petak dari kerajaan.
Ra Tanca, jadi satu-satunya Dharmaputra yang selamat dari penumpasan terhadap Dharmaputra yang berkhianat. Namun menemui ajal di tangan Gajah Mada, sebuah pengkhianatan yang berujung pada akhir yang tragis.
Setelah Raden Wijaya wafat dan Jayanegara naik takhta, Kerajaan Majapahit dilanda gelombang pemberontakan. Sejak usia 19 tahun, Jayanegara harus menghadapi berbagai ancaman, mulai dari Gajah Biru, Juru Demung, Maudama, Wagol, hingga Nambi - mantan Mahapatih Majapahit yang memiliki hubungan dengan Arya Wiraraja.
Negarakertagama mencatat bagaimana Jayanegara memimpin pasukannya sendiri untuk menghadapi para pemberontak.
"Empu Nambi dan sanak saudaranya dibinasakan, benteng di Pajarakan diduduki," demikian tertulis. Namun, di balik semua itu, Jayanegara dikenal sebagai raja yang lemah dan sewenang-wenang, sehingga mendapat julukan Kalagemet - sebuah sindiran yang tersembunyi.
Jayanegara adalah anak dari pernikahan Raden Wijaya dan Dara Petak, putri dari negeri Melayu. Pernikahan ini sempat memicu persaingan dengan keturunan Kertanegara dari Singasari.
Ketika Jayanegara naik takhta, ia melarang saudari tirinya, Tribuwanatunggadewi dan Radjadewi Maharadjasa, untuk menikah, diduga agar tidak ada pesaing terhadap kedudukannya.
Pasukan Dharmaputra Berbalik Menikam
Untuk mengamankan posisinya, Jayanegara membentuk pasukan khusus bernama Dharmaputra yang terdiri dari tujuh senopati pilihan: Ra Tanca, Ra Kuti, Ra Semi, Ra Pangsa, Ra Wedeng, Ra Juju, dan Ra Banyak. Mereka mendapat status istimewa dan disebut sebagai abdi dalem wineh suka, namun akhirnya justru berbalik melawan Jayanegara.
Pemberontakan besar terjadi ketika Ra Kuti memimpin kudeta yang nyaris merenggut nyawa Jayanegara. Dalam serangan mendadak, Raja Majapahit terpaksa melarikan diri ke Bedander, dikawal oleh 15 Bhayangkara di bawah komando Gajah Mada.
Sementara itu, Gajah Mada diam-diam kembali ke ibu kota, menyusun strategi, dan akhirnya berhasil merebut kembali tahta untuk Jayanegara dengan menumpas pemberontak. Semua pemberontak tewas—kecuali Ra Tanca.
Di istana Majapahit, Ra Tanca yang memiliki keahlian obat-obatan (Tabib) mampu bertahan dalam waktu lama.
"Pemberontakan Kuti dan peristiwa Tanca yang mengakibatkan wafatnya Raja Jayanegara berjarak sembilan tahun," tulis Slamet Muljana dalam "Menuju Puncak Kemegahan, Sejarah Kerajaan Majapahit".
Ra Tanca, seorang tabib istana, kembali mengabdi setelah pemberontakan Ra Kuti. Namun, dendam lama terhadap Jayanegara masih membara. Puncaknya terjadi saat penyakit bisul raja kambuh.
Ketika dipanggil untuk melakukan operasi, Ra Tanca melihat kesempatan. Pada pembedahan ketiga, ia tidak hanya mengiris bisul sang raja tetapi juga menikamkan belati ke tubuhnya. Jayanegara tewas seketika.
Namun, Ra Tanca tidak sempat menikmati keberhasilannya. Gajah Mada yang berada di tempat kejadian langsung bertindak dan menikam Ra Tanca hingga tewas di lokasi yang sama. Tragedi ini terjadi pada tahun Saka 1250 atau 1328 Masehi.
"Pemberontakan Kuti dan peristiwa Tanca yang mengakibatkan wafatnya Raja Jayanegara berjarak sembilan tahun," tulis Slamet Muljana dalam "Menuju Puncak Kemegahan, Sejarah Kerajaan Majapahit".
Awal Kebangkitan Trah Kertanegara
Dengan mangkatnya Jayanegara, Gajah Mada mengangkat Tribuwanatunggadewi sebagai pemimpin Majapahit.
Langkah ini mendapat dukungan luas karena mengembalikan kekuasaan kepada keturunan langsung Kertanegara. Kelak, dari garis ini lahir Hayam Wuruk, raja yang membawa Majapahit ke puncak kejayaannya.
Pembunuhan Ra Tanca juga memperkuat posisi Gajah Mada di mata rakyat dan elite Majapahit. Ia dianggap sebagai tokoh yang mengoreksi ketidakadilan dan menegakkan hak keturunan Singasari, sekaligus menghapus jejak pengaruh Dara Petak dari kerajaan.
Ra Tanca, jadi satu-satunya Dharmaputra yang selamat dari penumpasan terhadap Dharmaputra yang berkhianat. Namun menemui ajal di tangan Gajah Mada, sebuah pengkhianatan yang berujung pada akhir yang tragis.
(shf)