Sebelum Jemput Paksa Pasien COVID-19, Rahman Pukul Meja Lalu Tuding RS Cari Untung
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Sidang penjemputan paksa pasien COVID-19 di RS Bhayangkara Makassar berlangsung cepat, Rabu kemarin. Jaksa Penuntut Umum Kejati Sulsel dalam dakwaannya mengungkap kelakuan terdakwa, yang diketahui merupakan anak kandung pasien.
Nurfitriyani dalam dakwaannya mengatakan, awalnya pasien saat dilakukan rapid test di RS Bhayangkara memang dinyatakan reaktif. Sehingga pada 26 Juli, pasien yang telah berstatus PDP itu di swab test, namun hasilnya negatif.
Tapi karena dianggap belum cukup akurat dan pasien menderita gejala mirip COVID-19, pasien kemudian diswab test ulang untuk kedua kalinya, dan hasilnya positif.
Mengetahui hal itu, anak kandung pasien yang saat ini juga menjadi terdakwa, Rahman Akbar bin Jafar Dg Tayang kata Fitri, melalui lift naik menuju ruangan polibri (ruang isolasi pasien COVID-19) di lantai III, di sana saksi Asriani (perawat yang bertugas) sempat melarang, namun Rahman marah, memukul meja sembari mengeluarkan kata-kata kasar.
Bahkan kala itu, Rahman yang tidak terima dengan status positif pasien juga sempat menuding, rumah sakit menjadikan COVID-19 sebagai lahan bisnis dan menganggap ada modus politik di balik penetapan COVID-19.
"Terdakwa sempat marah-marah dan berkata-kata kotor dalam bahasa Makassar, terdakwa Rahman juga menuding RS mencari untung dan menjadikan status COVID-19 sebagai lahan bisnis dan politis," bebernya.
Setelah itu, tersangka kemudian menelepon rekan-rekannya, saksi mengatakan rekan-rekan Rahman berjumlah sekira 20 orang.
"Saya dengar saat menelepon, pak Rahman minta teman-temannya untuk naik, katanya, naik mi semua, sudah waktunya," ujar Asriani, salah seorang perawat RS Bhayangkara yang dihadirkan JPU sebagai saksi.
Nurfitriyani dalam dakwaannya mengatakan, awalnya pasien saat dilakukan rapid test di RS Bhayangkara memang dinyatakan reaktif. Sehingga pada 26 Juli, pasien yang telah berstatus PDP itu di swab test, namun hasilnya negatif.
Tapi karena dianggap belum cukup akurat dan pasien menderita gejala mirip COVID-19, pasien kemudian diswab test ulang untuk kedua kalinya, dan hasilnya positif.
Mengetahui hal itu, anak kandung pasien yang saat ini juga menjadi terdakwa, Rahman Akbar bin Jafar Dg Tayang kata Fitri, melalui lift naik menuju ruangan polibri (ruang isolasi pasien COVID-19) di lantai III, di sana saksi Asriani (perawat yang bertugas) sempat melarang, namun Rahman marah, memukul meja sembari mengeluarkan kata-kata kasar.
Bahkan kala itu, Rahman yang tidak terima dengan status positif pasien juga sempat menuding, rumah sakit menjadikan COVID-19 sebagai lahan bisnis dan menganggap ada modus politik di balik penetapan COVID-19.
"Terdakwa sempat marah-marah dan berkata-kata kotor dalam bahasa Makassar, terdakwa Rahman juga menuding RS mencari untung dan menjadikan status COVID-19 sebagai lahan bisnis dan politis," bebernya.
Setelah itu, tersangka kemudian menelepon rekan-rekannya, saksi mengatakan rekan-rekan Rahman berjumlah sekira 20 orang.
"Saya dengar saat menelepon, pak Rahman minta teman-temannya untuk naik, katanya, naik mi semua, sudah waktunya," ujar Asriani, salah seorang perawat RS Bhayangkara yang dihadirkan JPU sebagai saksi.