Hasil Pertanian dan Maritim Sumber Pendapatan Kerajaan Kediri
loading...
A
A
A
Kerajaan Kediri mengelola pendapatan daerah demi meningkatkan perekonomian di masyarakatnya. Kerajaan Kediri saat itu bergantung kepada pendapatan di sisi agraris atau pertanian, dan maritim.
Banyak dari masyarakat Kediri, menggantungkan sumber pemasukan ekonominya dari usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian untuk masyarakat yang hidup di daerah pedalaman.
Sedangkan, masyarakat yang berada di pesisir, hidupnya bergantung pada perdagangan dan pelayaran. Mereka telah mengadakan hubungan dagang dengan Maluku dan Sriwijaya. Sejak awal kerajaan berdiri Kediri terkenal sebagai daerah penghasil beras, kapas, dan ulat sutra.
"Kerajaan Kediri cukup makmur, hal ini terlihat pada kemampuan kerajaan yang memberikan penghasilan tetap pada para pegawainya, kendati hanya dibayar dengan hasil bumi," demikian dikutip dari buku "Babad Tanah Jawi" dari Soedjipto Abimanyu.
Pemerintahan Kediri kala itu sangat memperhatikan keadaan rakyatnya. Sehingga pertanian, perdagangan, dan peternakan mengalami kemajuan yang cukup pesat. Tercatat Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang mencatat dan mengurus semua penghasilan kerajaan.
Selain itu disebutkan ada tak kurang 1.000 pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan parit kota, serta gedung persediaan makanan. Hal ini membuat kehidupan sosial masyarakat sehingga saat itu masyarakatnya hidup sejahtera dan hidup dengan tenang.
Kehidupan sosial kemasyarakatan pada zaman Kerajaan Kediri ini dapat dilihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 Masehi. Kitab tersebut menyatakan, bahwa masyarakat Kediri memakai kain sampai bawah lutut, dan rambutnya diurai.
Rumah - rumahnya rata-rata sangat bersih dan rapi. Lantainya dibuat dari ubin yang berwarna kuning dan hijau. Sementara masyarakat Kediri digolongkan menjadi tiga berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan.
Pertama adalah golongan masyarakat pusat kerajaan, yakni masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya, serta kelompok pelayannya.
Golongan kedua yakni, masyarakat tani (daerah), yang merupakan masyarakat terdiri atas pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah tani (daerah).
Golongan terakhir yang menjadi bagian di kerajaan adalah masyarakat non-pemerintah. Golongan ini merupakan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintahan secara resmi atau masyarakat wiraswasta.
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
Banyak dari masyarakat Kediri, menggantungkan sumber pemasukan ekonominya dari usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian untuk masyarakat yang hidup di daerah pedalaman.
Sedangkan, masyarakat yang berada di pesisir, hidupnya bergantung pada perdagangan dan pelayaran. Mereka telah mengadakan hubungan dagang dengan Maluku dan Sriwijaya. Sejak awal kerajaan berdiri Kediri terkenal sebagai daerah penghasil beras, kapas, dan ulat sutra.
"Kerajaan Kediri cukup makmur, hal ini terlihat pada kemampuan kerajaan yang memberikan penghasilan tetap pada para pegawainya, kendati hanya dibayar dengan hasil bumi," demikian dikutip dari buku "Babad Tanah Jawi" dari Soedjipto Abimanyu.
Pemerintahan Kediri kala itu sangat memperhatikan keadaan rakyatnya. Sehingga pertanian, perdagangan, dan peternakan mengalami kemajuan yang cukup pesat. Tercatat Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang mencatat dan mengurus semua penghasilan kerajaan.
Selain itu disebutkan ada tak kurang 1.000 pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan parit kota, serta gedung persediaan makanan. Hal ini membuat kehidupan sosial masyarakat sehingga saat itu masyarakatnya hidup sejahtera dan hidup dengan tenang.
Kehidupan sosial kemasyarakatan pada zaman Kerajaan Kediri ini dapat dilihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 Masehi. Kitab tersebut menyatakan, bahwa masyarakat Kediri memakai kain sampai bawah lutut, dan rambutnya diurai.
Rumah - rumahnya rata-rata sangat bersih dan rapi. Lantainya dibuat dari ubin yang berwarna kuning dan hijau. Sementara masyarakat Kediri digolongkan menjadi tiga berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan.
Pertama adalah golongan masyarakat pusat kerajaan, yakni masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya, serta kelompok pelayannya.
Golongan kedua yakni, masyarakat tani (daerah), yang merupakan masyarakat terdiri atas pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah tani (daerah).
Golongan terakhir yang menjadi bagian di kerajaan adalah masyarakat non-pemerintah. Golongan ini merupakan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintahan secara resmi atau masyarakat wiraswasta.
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
(ams)