Kisah Mayor Sabarudin, Sosok Prajurit Bengis Berjuluk Macan Sidoarjo
loading...
A
A
A
SIDOARJO - Orang Jawa Timur yang hidup di awal pecahnya revolusi nasional 1945 tentu tahu nama Mayor Sabarudin yang digelari Macan Sidoarjo. Kisah kebingisan Macan Sidoarjo menjadi cerita heroik dan maupun menakutkan bagi warga saat itu.
Mayor Sabarudin diketahui sangat memuja Tan Malaka dianggap sangat berjasa dalam menghabisi tentara yang memberontak dalam Peristiwa Madiun 1948. Namun, catatan hitam kebegundalannya juga menjadi noda hitam revolusi Indonesia.
Kisah Macan Sidoarjo dimulai dalam perang pejuang melawan serdadu Belanda pada tahun 1945-1949. Sebelum Belanda menggelar dua aksi polisionilnya (Agresi I Juli 1947 dan Agresi II Desember 1948), di negeri kita lebih dulu sempat dilanda “Masa/Periode Bersiap”.
Tempochaospasca-proklamasi di mana oknum-oknum pemuda, laskar, hingga tentara republik menjagal banyak orang sipil. Orang sipil yang berafiliasi dengan Belanda tentunya. Orang-orang pribumi maupun peranakan Tionghoa hingga Arab yang pro-Belanda, eks pegawai Belanda.
Hingga pastinya orang-orang Belanda totok di masa akhir 1945 hingga awal 1946. Masa di mana masyarakat, laskar, pemuda, belum tentu mau menuruti instruksi pemerintah yang masih bayi. Elemen-elemen rakyat yang hanya mau bertindak seenak perutnya di berbagai wilayah.
Sejarah kelam negeri kita soal begini jarang diungkap. Entah karena terlalu sensitif atau memang masyarakat kita belum bisa jujur dengan sejarahnya sendiri. Tapi sebagai permulaan, tokoh yang terkenal brutal, bengis nan beringas era Mayor Zainal Sabaruddin Nasution.
“Mayor Sabaruddin sangat terkenal bengis. Ada buku tentang kisahnya, (judulnya) ‘Petualangan Mayor Sabarudin’. Dia pejuang, tepatnya PTKR (Polisi Tentara Keamanan Rakyat, kini Polisi Militer),” kata Aktivis sejarah Komunitas Roodebrug Soerabaia Ady Setiawan.
Dari namanya yang punya marga sama dengan Panglima Divisi Siliwangi Kolonel Abdoel Haris Nasution, Sabaruddin memang berasal dari orangtua asli Batak. Pun begitu, Sabaruddin sendiri lahir di Aceh, tepatnya Kotaraja pada 1922.
Selepas makan bangku sekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau sekolah setingkat menengah pertama, Sabaruddin cari nafkah jadi juru tulis di Kabupaten Sidoarjo dan menangani pembukuan di perkebunan tebu.
Mayor Sabarudin diketahui sangat memuja Tan Malaka dianggap sangat berjasa dalam menghabisi tentara yang memberontak dalam Peristiwa Madiun 1948. Namun, catatan hitam kebegundalannya juga menjadi noda hitam revolusi Indonesia.
Kisah Macan Sidoarjo dimulai dalam perang pejuang melawan serdadu Belanda pada tahun 1945-1949. Sebelum Belanda menggelar dua aksi polisionilnya (Agresi I Juli 1947 dan Agresi II Desember 1948), di negeri kita lebih dulu sempat dilanda “Masa/Periode Bersiap”.
Tempochaospasca-proklamasi di mana oknum-oknum pemuda, laskar, hingga tentara republik menjagal banyak orang sipil. Orang sipil yang berafiliasi dengan Belanda tentunya. Orang-orang pribumi maupun peranakan Tionghoa hingga Arab yang pro-Belanda, eks pegawai Belanda.
Baca Juga
Hingga pastinya orang-orang Belanda totok di masa akhir 1945 hingga awal 1946. Masa di mana masyarakat, laskar, pemuda, belum tentu mau menuruti instruksi pemerintah yang masih bayi. Elemen-elemen rakyat yang hanya mau bertindak seenak perutnya di berbagai wilayah.
Sejarah kelam negeri kita soal begini jarang diungkap. Entah karena terlalu sensitif atau memang masyarakat kita belum bisa jujur dengan sejarahnya sendiri. Tapi sebagai permulaan, tokoh yang terkenal brutal, bengis nan beringas era Mayor Zainal Sabaruddin Nasution.
“Mayor Sabaruddin sangat terkenal bengis. Ada buku tentang kisahnya, (judulnya) ‘Petualangan Mayor Sabarudin’. Dia pejuang, tepatnya PTKR (Polisi Tentara Keamanan Rakyat, kini Polisi Militer),” kata Aktivis sejarah Komunitas Roodebrug Soerabaia Ady Setiawan.
Dari namanya yang punya marga sama dengan Panglima Divisi Siliwangi Kolonel Abdoel Haris Nasution, Sabaruddin memang berasal dari orangtua asli Batak. Pun begitu, Sabaruddin sendiri lahir di Aceh, tepatnya Kotaraja pada 1922.
Selepas makan bangku sekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau sekolah setingkat menengah pertama, Sabaruddin cari nafkah jadi juru tulis di Kabupaten Sidoarjo dan menangani pembukuan di perkebunan tebu.